Isu Perempuan Bukan Hanya Tanggung Jawab Perempuan

26 Oktober 2019 10:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
5 menteri perempuan di Kabinet Indonesia Maju Foto: Kumparan dan Antara
zoom-in-whitePerbesar
5 menteri perempuan di Kabinet Indonesia Maju Foto: Kumparan dan Antara
ADVERTISEMENT
Secara global diakui bahwa keberadaan perempuan dalam sektor pemerintahan bisa meningkatkan kesejahteraan suatu negara.
ADVERTISEMENT
Christine Lagarde, mantan Managing Director dari International Monetary Fund (IMF), mengatakan bahwa bukti menunjukkan apabila negara-negara yang peduli dengan isu kesetaraan gender, seperti Islandia, Norwegia, dan Swedia memiliki pertumbuhan yang tinggi dan perekonomian yang lebih kuat.
Oleh karena itu, dibutuhkan banyak perempuan untuk duduk di posisi strategis dalam berbagai sektor, termasuk sektor pemerintahan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan, I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
Tetapi pertanyaannya; apakah jumlah perempuan yang banyak di pemerintahan secara otomatis mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sehingga lebih ramah perempuan?
Aktivis dan Konsultan Gender, Tunggal Pawestri, mengatakan sejauh ini hal tersebut belum terjadi di Indonesia. Karena sebenarnya menurut dia tidak ada korelasi positif antara jumlah perempuan dalam kabinet dengan kebijakan-kebijakan yang pro perempuan.
Tunggal melihat selama ini menteri-menteri perempuan di Indonesia tidak menunjukkan hasil yang signifikan dalam membuat kebijakan yang lebih ramah perempuan. Terutama bagi kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang seharusnya bisa lebih mementingkan isu-isu perempuan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak RI, Yohana Yembise di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (26/12). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ia berpendapat bahwa Yohana Yembise sebagai Menteri PPPA pada kabinet sebelumnya tidak melakukan gebrakan yang signifikan untuk memberikan perubahan terkait perempuan.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak melihat ada gebrakan yang signifikan dari Yohana Yembise untuk isu perempuan. Malahan dia tidak begitu memiliki gender sensitivitas yang baik atau keberpihakan terhadap isu-isu yang menjadi perhatian perempuan. Misalnya soal penghapusan kekerasan seksual; tim dari pemerintah tidak bergerak secara aktif dan mendesak supaya RUU PKS disahkan atau ikut membantu mendorong banyak pihak agar membahas lebih serius soal isu yang berpihak pada korban kekerasan seksual. Saya tidak melihat itu selama periode kemarin. Paling hanya satu dan itu dilakukan pada detik-detik akhir, yaitu meningkatkan usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Padahal langkah ini sebenarnya bisa dilakukan sejak awal dia menjabat. Selain itu ada banyak isu perempuan lainnya yang seharusnya mendapat perhatian lebih serius dari dia,” ungkap Tunggal Pawestri.
Konsultan dan Aktivis Perempuan, Tunggal Pawestri. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Meski begitu, menurut Tunggal, untuk bisa menjadi negara yang ramah gender dibutuhkan keterlibatan dari banyak pihak. Bukan hanya satu menteri yang bertugas menangani isu-isu perempuan.
ADVERTISEMENT
Tunggal menilai pemerintah harus adil. Tidak serta merta karena ini menyangkut perempuan, maka yang bekerja keras harus perempuan saja. Sebab dibutuhkan juga kerja sama dari laki-laki dan pihak lain untuk bisa mewujudkan kebijakan yang ramah perempuan dan negara yang melek gender.
“Kita harus adil. Kenapa beban untuk peduli pada urusan perempuan itu seolah-olah hanya diletakkan pada perempuan? Padahal kan itu harusnya jadi tanggung jawab keduanya, baik laki-laki ataupun perempuan,” jelas Tunggal.
Mantana Direktur Pelaksana IMF, Christine Lagarde di Seminar Empowering Women in Workplace di Annual Meeting IMF-WB, Nusa Dua, Bali, Selasa (9/10/2018). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Hal ini juga dibenarkan oleh Christine Lagarde bahwa isu-isu perempuan tidak hanya menjadi tanggung jawab perempuan saja.“Feminis bukan hanya untuk perempuan saja. Saya kenal beberapa laki-laki feminis, mereka membantu dan berjuang untuk memastikan tidak ada diskriminasi,” ungkap Christine Lagarde seperti dikutip dari The Guardian.
ADVERTISEMENT