Kisah Esther Gayatri Saleh, dari Fotografer Istana Jadi Pilot Penguji Pesawat

23 April 2021 4:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Captain Test Pilot Esther Gayatri. Foto: Elsa Toruan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Captain Test Pilot Esther Gayatri. Foto: Elsa Toruan/kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi banyak perempuan, bekerja di bidang yang didominasi oleh laki-laki memang bukan perkara yang mudah. Namun, ketika bisa bertahan di bidang itu, Anda akan menjadi orang yang bisa membuka kesempatan dan peluang untuk perempuan lain masuk ke dunia pekerjaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang setidaknya dirasakan oleh Captain Esther Gayatri Saleh, Pilot Uji di PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Bagi Captain Esther, perjalanannya untuk bisa meraih posisi tersebut tidaklah mudah. Sebab, ia harus mengalami beragam bentuk diskriminasi dari rekan sejawatnya.
Kisah Captain Esther sendiri bermula ketika ia lulus dari bangku SMA di Jakarta pada 1981. Pada 1982, ia kemudian mencoba melamar untuk masuk sekolah penerbangan di Indonesia. Namun sayang, ia tidak diterima karena merupakan lulusan IPS, sementara yang diterima adalah lulusan IPA.
Kendati demikian, hal itu lantas tidak memupus cita-citanya untuk menjadi seorang pilot. Dia lalu mengumpulkan uang hasil dari profesinya sebelumnya, yakni fotografer di lingkungan Istana Negara, untuk mendaftar sekolah penerbangan di Arizona, Amerika Serikat. Setelah itu ia lulus pada 1983 dan kembali ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Esther bercerita, ketika kembali ke Indonesia ia sempat tidak diterima menjadi pilot karena pilot perempuan kurang diminati. Akhirnya ia memberanikan diri untuk menulis surat langsung kepada Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie atau B.J. Habibie.
“Singkat cerita, saya diterima di PT Nurtanio (yang kemudian dikenal dengan nama PT Dirgantara Indonesia). Saya mulai masuk dan berbakti di sana sejak 1984,” kata Captain Esther dalam acara Dialog Interaktif Peringatan Hari Kartini 2021 yang digelar Kemenristek/BRIN, pada Rabu (21/4).
Meski sudah bergabung di PT Dirgantara Indonesia, ia menyebut bahwa penerimaan dari lingkungan kerja tidak serta muncul begitu saja. Captain Esther merasa keadaannya tidak mudah dan kerap menghadapi berbagai diskriminasi, terutama karena ia merupakan seorang pilot perempuan. Bahkan, ia juga sempat berpikir untuk keluar dari PT Dirgantara Indonesia pada 1990, namun hatinya justru menolak.
ADVERTISEMENT
“Saat itu, saya berpikir kalau saya keluar berarti saya tidak menyelesaikan pekerjaan dan tidak membuktikan bahwa saya bisa bertahan di bidang itu. Saya kemudian memutuskan untuk bertahan hingga kini,” tambahnya.
Captain Esther Gayatri Saleh di Uji terbang pertama pesawat N219. Foto: ANTARA/Rosa Panggabean
Captain Esther menyebut bahwa untuk menjadi seorang pilot uji tidaklah mudah. Selain itu, pilot uji juga cukup berbeda dengan pilot yang menerbangkan pesawat komersial. Menurutnya, pilot uji harus memiliki kualifikasi dalam uji coba pesawat dan membutuhkan latar belakang engineering yang bisa menekuni bidangnya dan memberikan analisa-analisa khusus mengenai pesawat yang baru diproduksi atau keluar dari hanggar.
“Awalnya saya tidak mengerti, tapi saya tekuni dari bawah hingga saya menjadi Kapten Pilot Uji di PT Dirgantara Indonesia pada 1996. Kapten pilot perempuan memang sudah banyak ya. Tapi, kalau pilot uji, saya rasa saya yang pertama kali mendapatkan ini,” terang perempuan kelahiran Palembang, Sumatera Selatan itu.
ADVERTISEMENT
Di samping menguji pesawat prototipe, Captain Esther menyebut pekerjaan sehari-harinya adalah melakukan penerbangan untuk mengirimkan pesawat yang sudah jadi kepada pembeli, dan memberikan pelatihan kepada pilot yang menerbangkan pesawat itu.

Ingin memotivasi perempuan muda untuk bisa berkarya di dunia penerbangan

Pada 2016, Captain Esther menyelesaikan pendidikan di sekolah pilot uji di luar negeri yakni di International Test Pilot School di London, Ontario, Kanada, dan kembali ke Indonesia.
Tak lama setelah itu, ia ditugaskan untuk menerbangkan pesawat prototipe pertama N219 buatan PT Dirgantara Indonesia. Ia berhasil menerbangkan pesawat itu pada 16 Agustus 2017. Setahun kemudian, ia juga sukses menerbangkan pesawat prototipe kedua N219.
“Pesawat prototipe itu belum pernah ada yang menerbangkan. Meskipun Anda bisa menerbangkannya, Anda harus memiliki keahlian khusus dan memastikan bahwa pesawat itu bisa terbang dan kembali lagi mendarat dengan safe,” terang perempuan yang hobi bermain musik tersebut.
Captain Esther Gayatri Saleh di Uji terbang pertama pesawat N219 Foto: Antara
Hingga saat ini, Captain Esther sudah memiliki 8.000 jam terbang. Selain itu, ia juga sudah menerbangkan berbagai tipe pesawat terbang; seperti CN 295, CN 235 Series, NC 212-200, NC 212i, C 172, C 152, KODIAK, Decathlon, Beechcraft Duchess 76, N250, dan N219.
ADVERTISEMENT
Bahkan, pada 2017, Captain Esther juga pernah menjadi satu-satunya perempuan Asia yang menjadi anggota Society of Experimental Test Pilot, sebuah organisasi internasional yang berbasis di Amerika Serikat.
“Saya mungkin tidak berlatar belakang hebat. Tapi ketika bendera Indonesia berkibar dan saya menjadi member di organisasi itu, saya mengucap rasa syukur. Sebab, semua anggota di sana hampir semuanya adalah astronaut,” ungkap perempuan berusia 58 tahun itu.
Lewat ketangguhan dan perjuangannya, kini Captain Esther pun berharap bahwa ia bisa menginspirasi dan memotivasi generasi berikutnya, terutama perempuan muda untuk bisa berkarya di dunia penerbangan.
“Selain itu, saya juga ingin meng-encourage para perempuan muda dan operator penerbangan untuk bisa mengoperasikan pesawat dengan safety, sehingga dunia penerbangan itu angka safety-nya lebih tinggi,” tutup Captain Esther Gayatri Saleh.
ADVERTISEMENT