Komnas Perempuan: Transportasi Umum Masih Rawan Pelecehan Seksual

16 Oktober 2019 10:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan menangis. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan menangis. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Transportasi umum semakin banyak diminati masyarakat karena dianggap cepat dan murah. Tapi, bagaimana dengan kenyamanannya? Ya, hal ini masih menjadi polemik terutama menyangkut kondisi kenyamanan pada perempuan sehingga tak jarang terjadi pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja, saat jam-jam sibuk di Kereta Rel Listrik (KRL) atau bus Transjakarta, terkadang kita terpaksa harus berdesak-desakan. Belum lagi, kalau kereta khusus perempuan sudah penuh. Mau tidak mau kita mesti satu gerbong dengan lelaki. Dari sana terkadang muncul rasa risih atau kekhawatiran tindakan terkena pelecehan seksual.
Ilustrasi pelecehan seksual di transportasi umum. Foto: Shutter Stock
Tidak hanya pada moda transportasi massal seperti KRL, pelecehan seksual juga bisa terjadi pada transportasi online. Misalnya saja, menumpangi ojek online atau taksi online, lalu diberikan pertanyaan atau ucapan yang kurang sopan yang menjurus ke arah pelecehan seksual.
Kekhawatiran itu dibenarkan oleh Ketua Komnas (Komisi Nasional) Perempuan, Azriana Manalu yang akrab disapa Nana. Ia mengakui pelecehan seksual paling sering terjadi di transportasi umum.
ADVERTISEMENT
“Pelecehan seksual itu memang hampir di banyak tempat, dari yang kontak fisik sampai non kontak fisik. Bahkan kalau di kendaraan umum paling sering kontak fisik. Jadi bukan sekadar menyentuh terkadang, ada yang sampai menyentuh, meremas, dan mencolek,” jelasnya saat ditemui di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, pada Selasa (15/10).
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019 mencatat ada sebanyak 406.178 kasus kekerasan perempuan sepanjang 2018. Di antaranya merupakan pelecehan seksual dan kekerasan seksual di ranah publik.
Ilustrasi pelecehan seksual di transportasi umum. Foto: Shutter Stock
Bahkan, baru-baru ini kabar korban pelecehan seksual pada perempuan bawah umur terjadi di KRL. Menurut laporan, pelecehan terjadi pada Minggu (14/10), saat itu korban dan orang tuanya dalam perjalanan Tanah Abang - Depok. Awalnya korban tidak merasakan kejanggalan karena keadaan kereta yang penuh, sampai akhirnya korban sadar bagian bokongnya diraba.
ADVERTISEMENT
“Awalnya dipegang-pegang bokong korban, karena berdesakan korban awalnya enggak ngira, sampai akhirnya pelaku menggesekkan kemaluannya ke bokong korban,” terang Argo Yuwono, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono dalam keterangannya, Selasa (15/10).
Diperlukan CCTV untuk mencegah pelecehan seksual
Pelaku pelecehan seksual di KRL pada bocah perempuan telah ditangkap dan diproses Subdit Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Namun, bagi Azriana Manalu masih banyak korban pelecehan seksual di transportasi umum tidak mengadu karena menganggap rumitnya proses hukum.
“Sistem hukum kita masih sederhana sekali menyikapi kekerasan seksual yang perkembangannya cepat sekali. Kenapa pelecehan seksual sangat cepat berulang karena sistem penanganan masih tidak membantu untuk menjerat pelaku,” tuturnya.
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Bisa saja perempuan melaporkan kejadian pelecehan seksual ke pihak berwajib. Hanya saja terkadang korban tidak mengenali pelaku sehingga pelaku mudah melarikan diri. Selain itu, ada pula perempuan yang berani menegur langsung bila ia merasa telah dilecehkan namun tetap saja itu kurang membuat pelaku jera.
ADVERTISEMENT
“Kalau melakukan pelecehan seksual hanya diomelin saja sama korban, itu juga kalau korbannya berani. Setelah itu tidak ada sanksi lagi, jadi pelaku (merasa) bisa dengan mudah melakukan hal sama ke orang lain,” ucapnya.
Ilustrasi Pelecehan Seksual Foto: Pixabay
Menurut Azriana, dokumentasi pelecehan seksual sangat perlu untuk mengenali siapa pelaku. Maka itu, salah satunya CCTV di transportasi sangat penting, penebalan keamanan, dan banyaknya pengawasan dapat mengedukasi masyarakat untuk tidak lagi memiliki pengalaman buruk seperti pelecehan seksual saat menaiki transportasi umum.
“Jadi tidak ada lagi perempuan itu objek pelecehan seksual. Sarana dan infrastruktur itu mudah mendeteksi pelecehan seksual sehingga pelaku akan mudah diupayakan,” tandas Azriana.