Kontroversi Perjalanan Hidup Permaisuri Jepang, Masako Owada

8 Juli 2019 17:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Permaisuri Jepang, Masako Owada. Foto: Kazuhiro NOGI / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Permaisuri Jepang, Masako Owada. Foto: Kazuhiro NOGI / AFP
Pada 1 Mei 2019 lalu, Naruhito, putra pertama dari Kaisar Akihito resmi menggantikan ayahnya untuk menjadi kaisar Jepang. Kenaikan Naruhito sebagai kaisar ini secara otomatis membuat istrinya Masako Owada menjadi permaisuri Kekaisaran Jepang.
Kehadiran Masako sebagai permaisuri baru Jepang begitu menarik perhatian dunia. Pasalnya, sejak menikah 25 tahun lalu dengan Naruhito yang saat itu menjadi putra mahkota Kekaisaran Jepang, Masako jarang sekali tampil ke publik.
Hal ini terjadi karena Putri Masako mengalami gangguan kesehatan mental akibat komentar negatif yang terus ditujukan kepadanya. Banyak media lokal yang menggambarkan bahwa pernikahan Naruhito dan Masako yang terlihat seperti dongeng berubah menjadi petaka karena Putri Masako tidak bisa melahirkan anak laki-laki yang nantinya diharapkan menjadi penerus tahta dinasti Jepang.
Putra Mahkota Jepang Naruhito (kanan) dan istrinya Putri Mahkota Masako (kiri) menghadiri upacara turun tahta Kaisar Akihito di ruang negara Matsu-no-Ma di Istana Kekaisaran di Tokyo. Foto: STR / Japan Pool / AFP
“Masyarakat tidak ingin keluarga yang tidak sehat menjadi kaisar dan permaisuri,” ungkap Akira Hashimoto, mantan teman sekolah Kaisar Akihito yang telah menulis beberapa buku tentang keluarga kekaisaran seperti dikutip dari The New York Times.
Peristiwa tersebut sangat berdampak besar pada kesehatan mental Putri Masako. Di tahun 2004, dokter mendiagnosa bahwa ia mengalami depresi berat dan setelah itu Putri Masako memilih menarik dari segala kegiatan publik.
Tetapi dengan peran baru yang diembannya sebagai Permaisuri Jepang saat ini, Masako Owada tampaknya secara pelan-pelan mulai muncul lagi di hadapan publik.
Dari seorang diplomat ke istri pangeran Jepang
Putri Masako saat masih muda. Foto: YOSHIKAZU TSUNO / AFP
Lahir di Tokyo pada 1963, Masako Owada adalah putri seorang diplomat. Ia menghabiskan masa kecilnya di Moskow dan New York.
Dengan latar belakang keluarga diplomat terkemuka di Jepang, Masako memiliki pendidikan terbaik. Ia tumbuh menjadi perempuan muda yang cerdas dan berhasil lulus kuliah dengan gelar magna cum laude dari jurusan ekonomi di Universitas Harvard pada Maret 1985. Tak hanya itu, Masako pun menguasai tiga bahasa selain Jepang, yaitu Inggris, Prancis dan Jerman.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Masako mengikuti jejak sang ayah di kementerian luar negeri Jepang. Di awal kariernya, ia telah mengukir prestasi dengan keterlibatannya dalam menyelesaikan perselisihan dagang antara Jepang dan Amerika Serikat.
Pertemuan pertama antara Masako dan Pangeran Naruhito terjadi pada Oktober 1986 di sebuah pesta untuk menyambut kunjungan Putri Elena dari Spanyol.
Pertemuan pertama antara Masako dan Naruhito bukanlah sebuah kebetulan. Peristiwa itu telah diatur sedemikian rupa oleh pemerintah Jepang dan pihak kerajaan yang merasa sudah saatnya bagi sang pangeran untuk menikah.
Tim Petinggi Badan Rumah Tangga Kekaisaran saat itu telah mengatur undangan untuk Masako Owada setelah mereka mengetahui bahwa ia adalah satu dari tiga perempuan yang lulus ujian di Kemenlu Jepang yang kala itu dianggap sangat sulit. Kabarnya, undangan untuk Masako dibuat dadakan dan penulisan namanya ditulis tangan.
Putri Masako dan Pangeran Naruhito Foto: Pool/ AFP
Dalam acara pesta tersebut, sang Pangeran yang sedang sibuk menyambut tamu tiba-tiba berhenti di depan Masako dan memberikan sambutan hangat. Pangeran Naruhito mengatakan senang atas kehadiran Masako. Ia pun jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Masako.
Setelah pertemuan pertama itu, beberapa kali keduanya sempat bertemu untuk berbincang santai. Namun pada 1986 hingga 1992, Naruhito dan Masako tidak pernah bertemu karena Masako harus melanjutkan sekolah di Oxford.
Saat Masako pulang ke Jepang di tahun 1993, Pangeran Naruhito pun memantapkan diri untuk melamar dan menikahi Masako. Awalnya Masako sempat ragu menerima pinangan sang pangeran. Ia tahu bahwa masuk ke keluarga Kekaisaran Jepang bukanlah hal yang mudah. Selain itu, ia juga harus rela melepaskan karier cemerlangnya sebagai calon diplomat.
Namun karena Pangeran Naruhito menunjukkan kegigihannya untuk menikah dengan Masako (ia pernah berucap, jika tidak dengan Masako Owada, ia mungkin tidak akan pernah menikah), akhirnya ia menerima lamaran tersebut. Pernikahan keduanya disambut bahagia oleh masyarakat Jepang.
Menghadapi tekanan sebagai putri kerajaan
Foto resmi pernikahan Pangeran Naruhito dan Putri Masako. Foto: PALACE HANDOUT / AFP
Hal yang ditakutkan oleh Masako sejak awal rupanya jadi kenyataan. Ia pun menghadapi kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup anggota kerajaan, apalagi ia tumbuh dalam didikan keluarga diplomat dan bersekolah di berbagai negara. Keluarga kerajaan dan penggemar kerajaan menganggap Masako tidak cocok untuk mendampingi Pangeran Naruhito.
Bahkan pada saat mereka mengumumkan pernikahan mereka melalui konferensi pers, Masako telah dikritik publik karena ia berbicara 11 detik lebih lama dari Pangeran Naruhito. Hal ini dianggap sebagai sikap yang tidak pantas dari seorang perempuan pendamping keluarga kerajaan.
Setelah menikah, Masako terus menjadi bahan kritik bagi media lokal dan para penggemar Kerajaan Jepang, yang pelan-pelan mulai membuatnya tertekan. Karena itu, banyak yang membandingkan nasib Masako Owada dengan Putri Diana.
Foto keluarga Kekaisaran Jepang. Foto: Handout / Imperial Household Agency / AFP
Tekanan terhadap Masako memuncak karena ia tidak bisa menghasilkan keturunan yang diharapkan Kekaisaran Jepang. Setelah menikah selama hampir 7 tahun, pada 2001 Masako Owada akhirnya melahirkan seorang putri yang diberi nama Putri Aiko. Meski disambut sukacita, banyak pihak yang tidak senang karena mereka mengharapkan Masako bisa melahirkan seorang bayi laki-laki yang akan menjadi penerus tahta Kekaisaran Jepang.
Tekanan yang hebat atas ketidakmampuannya melahirkan seorang putra berujung pada depresi berat pada Masako. Ia akhirnya memutuskan untuk benar-benar menarik diri dari kegiatan publik.
Putri Aiko bersama orangtuanya Foto: Issei Kato/Pool Photo via AP
Pangeran Naruhito bahkan sampai mengeluarkan pernyataan dan memohon kepada semua pihak agar memahami kondisi istrinya dan tidak terlalu menekannya.
Keputusan Masako untuk menarik diri dari kegiatan publik berlangsung cukup lama, yaitu dari 2003 hingga 2011. Ia juga tidak pernah melakukan perjalanan ke luar negeri lagi. Hal ini tentu menjadi hal yang sangat berat baginya mengingat latar belakangnya dari keluarga diplomat yang telah mengunjungi banyak negara.
“Situasi di mana saya tidak dapat mengunjungi negara-negara lain selama enam tahun membuat saya membutuhkan upaya besar untuk menyesuaikan diri,” kata Masako pada konferensi pers pada 2002 dilansir english.kyodonews seperti dikutip dari kumparanNEWS.
Menjadi inspirasi perempuan
Putri Masako dan Pangeran Naruhito Foto: JIJI PRESS / AFP
Setelah puluhan tahun bergelut dengan kesulitan menjadi anggota keluarga kerajaan, beberapa tahun belakangan Putri Masako mulai terlihat bangkit.
Ia kembali menghadiri kegiatan-kegiatan kekaisaran, mulai dari mengunjungi lokasi korban bencana Tsunami di tahun 2011, hingga melakukan perjalanan ke luar negeri pertama kalinya ke Belanda setelah 11 tahun hanya tinggal di Jepang.
Pada hari ulang tahunnya di Desember 2018 lalu, Masako menyatakan kesediaannya untuk menyandang peran barunya sebagai permaisuri meskipun ia juga mengaku merasa gugup.
“Saya ingin mengabdikan diri pada kebahagiaan masyarakat, jadi saya akan melakukan berbagai upaya untuk mencapai itu sambil mencari pengalaman yang lebih banyak,” ungkapnya dalam sebuah pernyataan.
Putri Masako dan Pangeran Naruhito bertemu dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan istrinya Brigitte Macron. Foto: LUDOVIC MARIN / AFP / POOL
Perjuangannya sebagai seorang putri telah banyak dimuat di berbagai media lokal dan dunia. Banyak yang berpendapat bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapi Putri Masako sebelumnya akan membantu sang putri dalam menjalani peran barunya sebagai permaisuri.
“Memang adil jika kita menyebut Masako memiliki kehidupan yang tidak menyenangkan dan tidak mudah karena sejak menjadi putri ia tidak memiliki kesempatan untuk mengunjungi negara-negara asing. Ia juga menghadapi banyak tekanan terkait ketidakmampuannya dalam melahirkan seorang pangeran,” begitu tulisan dari surat kabar Mainichi Shimbun.
Padahal sebagai seorang putri, Masako memiliki kesempatan untuk belajar banyak tentang masalah-masalah seperti pelecehan anak, kemiskinan dan pemanasan global.
Beberapa ahli merasa dengan kesulitan yang dihadapi di masa lalu, Masako bahkan bisa menjadi penasihat kesehatan mental. Ada banyak tanggapan lain yang meyakini bahwa Masako akan menjadi permaisuri terbaik yang pernah dimiliki oleh Jepang.
Kecerdasan dan kekuatannya dalam menghadapi tantangan dinilai bisa membuat Masako menjadi sosok perempuan yang dijadikan panutan oleh perempuan Jepang lainnya. Bahkan ia bisa menjadi contoh pendobrak batasan perempuan di Jepang yang selama ini terbelenggu oleh aturan kuno yang melarang mereka untuk mengekspresikan diri dalam berbagai bidang, terutama di dunia pemerintahan.