Laki-laki Ngga Boleh Nangis? Mengenal Toxic Masculinity & Dampak Negatifnya

29 Agustus 2020 12:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi laki-laki toxic masculinity. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi laki-laki toxic masculinity. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, netizen di media sosial ramai membahas sosok Ivan Gunawan yang dianggap berhasil 'mengentaskan' toxic masculinity saat menjadi bintang tamu dalam podcast Deddy Corbuzier. Saat itu, Ivan ditanya mengenai olahraga yang sering dilakukannya dan ia menjawab Ivan rutin melakukan kardio.
ADVERTISEMENT
Namun, Deddy mengatakan bahwa olahraga kardio (membakar kalori) tersebut biasanya hanya dilakukan oleh perempuan saja. Mendengar perkataan tersebut, Ivan kesal dan bertanya mengapa Dedy gemar mengkotak-kotakan sesuatu sesuai gendernya.
Deddy Corbuzier dan Ivan Gunawan. Foto: Munady dan kumparan
"Lu kenapa sih demen banget ngotak-ngotakin. Perempuan, laki, perempuan, laki. Ded, yang pakai eyeliner sama eyeshadow ke kantor itu cuma perempuan. Laki-laki enggak ada!," balas Ivan dengan nada menyindir Deddy secara langsung, mengingat dulu sebelum menjadi presenter, Deddy Corbuzier adalah seorang pesulap yang terkenal dengan ciri khas riasan mata smokey eyes dengan eyeshadow dan eyeliner hitam.
Melihat cuplikan video tersebut, netizen mengapresiasi Ivan karena ia dianggap mampu menghentikan toxic masculinity. Bahkan tak sedikit yang akhirnya berani berbicara tentang perlakuan toxic masculinity yang diterima mereka di kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Lantas sebenarnya, apakah toxic masculinity tersebut dan mengapa hal ini penting untuk dibahas? Berikut ulasan selengkapnya.

Mengenal istilah toxic masculinity dan kaitannya dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan

Dituturkan oleh Psikolog Tara de Thouars, toxic masculinity dimulai dari konstruksi sosial masyarakat patriarki yang mengacu pada perilaku sikap dominan dan agresif yang diidentikkan dengan laki-laki. Ada anggapan bahwa seorang laki-laki diidentitaskan bahwa mereka harus kuat, dominan dan tidak boleh lemah atau cengeng, sedangkan perempuan harus menjadi feminin, sabar hingga rela berkorban.
Ilustrasi Pria Berotot. Foto: Shutterstock
Hal ini merupakan deskripsi sempit tentang kejantanan yang didefinisikan sebagai kekerasan dan agresivitas yang lahir dari ide budaya kejantanan di mana kekuatan dianggap segalanya, sementara emosi dianggap kelemahan.
Istilah ini berasal dari psikolog bernama Shepherd Bliss pada tahun 1990. Menurut Bliss, istilah ini dipakai untuk membedakan nilai positif dan negatif dari laki-laki. Dalam penelitiannya, Shepherd menemukan bahwa adanya dampak negatif dari maskulinitas yang bisa merusak hidup seorang lelaki.
ADVERTISEMENT
"Ketika menjadi toxic, akhirnya akan ada dampak negatif ke orang lain, diri sendiri atau orang di sekitarnya, terutama pihak perempuan. Dimana laki-laki tidak boleh menunjukkan sikap yang bertentangan dengan maskulinitas yang sudah dikonstruksikan tadi. Misalnya, laki-laki tak boleh terlihat lemah, gak boleh nurut dengan istri, yang ada justru istri nurut dengan suami," jelas Tara saat diwawancarai kumparanWOMAN, Jumat (28/8).
Sehingga, dengan adanya paham tersebut akhirnya menimbulkan tekanan tersendiri, baik kepada laki-laki maupun perempuan. Menurut Tara, idealnya manusia adalah manusia. Tidak ada yang mengharuskan untuk menjadi maskulin atau feminin.

Perkataan yang termasuk toxic masculinity

Tanpa disadari, dalam kehidupan sehari-hari kita pun sering mendengar bentuk perkataan yang mengarah ke toxic masculinity. Beberapa di antaranya seperti:
ADVERTISEMENT
"Kamu kan laki-laki, masa kalah sama perempuan?"
"Kamu kan laki-laki, malu dong kalau nangis"
"Jangan lemah dong, kan kamu laki-laki masa angkat meja saja tidak bisa?"
"Lo jangan mau diatur-atur sama istri, justru lo harus dominan jadi suami"
"Aku kepala keluarga di rumah tangga ini, jadi kamu harus penuhi semua kebutuhanku,"
"Kalau kamu mau jadi istri yang baik, kamu harus nurut sama saya,"
Ilustrasi toxic masculinity. Foto: Shutterstock
Kata-kata tersebut tak hanya diucapkan oleh laki-laki untuk laki-laki saja, tetapi juga seringkali terlontar dari mulut perempuan tanpa tersadar. Misalnya, "Anak laki-laki gak boleh cengeng, malu tuh diliat perempuan" atau "Aku nggak suka ya punya suami lemah". Intinya, perkataan dalam toxic masculinity menggunakan kata-kata 'laki-laki' untuk merugikan orang lain atau dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Tara mengatakan bahwa salah satu ciri laki-laki yang melakukan toxic masculinity adalah ia berusaha terlihat sangat dominan, agresif dan sangat demanding.
"Kuncinya adalah dia menggunakan kata 'laki-laki' yang mengatasnamakan gender," lanjut Tara lagi.

Mengubah persepsi toxic masculinity

Tara melanjutkan, pada prinsipnya manusia adalah manusia, terlepas dari dirinya seorang laki-laki atau perempuan. Sudah sewajarnya, seorang manusia memiliki emosi dan perasaan seperti senang, sedih, marah, kecewa, menangis, tersenyum, merengut, dan lain-lain. Kebutuhan dasar inilah yang seharusnya tidak boleh diganggu gugat.
"Semua manusia punya perasaan sedih, laki-laki juga boleh sedih. Terlepas dari dia laki-laki atau perempuan, seharusnya punya empati. Kalau lihat laki-laki sedih atau murung, ya tidak apa-apa mungkin kita nggak bisa bantu tapi kita punya empati dan mengerti," imbuhnya.
Ilustrasi toxic relationship. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Di akhir perbincangan, Tara mengatakan bahwa laki-laki maupun perempuan harus menyadari bahwa kita jangan terjebak dalam pemikiran toxic masculinity. Jangan biarkan hal itu terjadi di sekitar kita dan waspada dengan perkataan yang kita ucapkan.
ADVERTISEMENT
"Kita semua perlu jaga diri dan mengingatkan dengan baik bahwa hidup tak ada kata 'harus'. Semua bergantung pada konteksnya. Ok, laki-laki tak boleh terlihat lemah. Tapi kalau orang tercintanya meninggal, masa dia nggak boleh nangis?," demikian pungkas Tara de Thouars.