Laporan HAM: Pernikahan Dini Perempuan Afghanistan Meroket di Bawah Taliban

3 Agustus 2022 13:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak-anak perempuan Afghanistan kembali ke sekolah. Foto: Ahmad SAHEL ARMAN/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak perempuan Afghanistan kembali ke sekolah. Foto: Ahmad SAHEL ARMAN/AFP
ADVERTISEMENT
Belum genap satu tahun kekuasaan kelompok Taliban di Afghanistan, kehidupan perempuan dan anak perempuan di sana semakin terpuruk. Dalam laporan terbaru yang dirilis oleh organisasi hak asasi manusia (HAM) nonpemerintah Amnesty International, tercatat adanya peningkatan pernikahan dini dan pernikahan paksa pada perempuan dan anak perempuan di bawah umur.
ADVERTISEMENT
Laporan berisi 100 halaman tersebut diluncurkan pada Rabu (27/7) lalu. Pernikahan dini dan paksa hanya salah satu bagian dari banyaknya tantangan perempuan yang dilaporkan oleh Amnesty International, Ladies. Sejak pengambilalihan kekuasaan Afghanistan oleh Taliban pada 15 Agustus 2021, kekerasan terhadap pengunjuk rasa perempuan, kekerasan berbasis gender, penahanan, dan pembatasan pergerakan menjadi “santapan” sehari-hari para perempuan.
Dikutip dari laporan berjudul Death in Slow Motion: Women and Girls Under Taliban Rule, dijelaskan bahwa sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan, angka pernikahan dini dan paksa di Afghanistan sudah menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Contohnya, sekitar 28 persen dari total perempuan dan anak perempuan Afghanistan usia 15–49 tahun sudah menikah sebelum menginjak usia 18 tahun.
Presenter wanita untuk TOLOnews, Thamina Usmani, bersiap untuk siaran langsung di stasiun TV Tolo di Kabul, Afghanistan pada Minggu (22/5/2022). Foto: Wakil Kohsar/AFP
Sejak Agustus tahun lalu, memang belum ada asesmen atau survei khusus yang dilakukan untuk mengungkap angka peningkatan pernikahan dini dan paksa. Namun, peningkatan kejadiannya memang bisa disaksikan langsung di lapangan. Pada Maret 2022, UNICEF (badan PBB untuk hak-hak anak dunia) menjelaskan, pernikahan anak kian meningkat di wilayah perkotaan, pedesaan, dan di antara keluarga-keluarga yang tergusur akibat konflik.
ADVERTISEMENT
Organisasi internasional yang berfokus pada pernikahan dini dan paksa di Afghanistan, Too Young to Wed, melaporkan bahwa di tiga provinsi yaitu Ghor, Herat, dan Badghis, dari total keluarga yang mereka wawancara dalam survei terbaru, setidaknya sepertiga (1/3) dari mereka tengah mempertimbangkan untuk menikahkan anak-anak perempuan.
“Di Afghanistan, ini adalah badai yang sempurna untuk terjadinya pernikahan dini. Anda memiliki pemerintahan yang patriarkis, perang, kemiskinan, kekeringan, perempuan tidak bisa bersekolah. Dengan kombinasi seluruh faktor tersebut, kami tahu bahwa angka pernikahan dini akan meroket,” ujar Direktur Too Young to Wed, Stephanie Sinclair.

Bahaya pernikahan dini dan paksa bagi perempuan

Anak-anak Afghanistan naik kendaraan saat mereka melarikan diri dari rumah mereka setelah pertempuran sengit di Provinsi Ghazni, Afganistan (14/8/2018). Foto: REUTERS/Mohammad Ismail
Dikutip dari laporan Amnesty International, para perempuan yang dipaksa menikah berisiko tinggi keluar dari sekolah atau universitas; mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh suami mereka, termasuk perkosaan dalam pernikahan dan kekerasan domestik lainnya; serta menderita penyakit-penyakit dan komplikasi reproduktif.
ADVERTISEMENT
Komplikasi saat kehamilan dan persalinan berisiko besar terjadi pada usia dini. Bahkan, ini merupakan penyebab kematian utama pada perempuan usia 15–19 tahun di negara-negara berpendapatan rendah seperti Afghanistan. Perempuan yang menjalani pernikahan dini juga menghadapi risiko mengalami fistula obstetrik, yaitu lubang yang terbentuk antara rektum dan vagina yang disebabkan oleh cedera saat persalinan.

Mengapa pernikahan dini dan paksa di Afghanistan semakin meningkat?

Amnesty International memaparkan lima pemicu terjadinya pernikahan dini dan paksa. Selain kemiskinan dan penutupan sekolah bagi perempuan, ternyata pemaksaan pernikahan oleh anggota Taliban juga menjadi faktor besar. Padahal, pada Desember 2021 lalu, pemerintahan Afghanistan di bawah Taliban telah mengeluarkan dekrit khusus yang menolak adanya pernikahan paksa.
Bagaimana penjelasan lebih mendetail terkait pemicu-pemicu pernikahan dini dan paksa tersebut? Simak laporan Amnesty International yang sudah kumparanWOMAN rangkum berikut ini.
ADVERTISEMENT

1. Krisis ekonomi dan kemanusiaan

Seorang wanita dan anak-anak etnis Hazara berdiri di depan guanya, di Bamiyan, Afghanistan. Foto: Bulent Kilic/AFP
Krisis ekonomi dan kemanusiaan di Afghanistan kian memburuk sejak Taliban mengambil alih kekuasaan. Hal ini disebabkan oleh pembekuan aset-aset Pemerintah Afghanistan oleh negara-negara Barat, sebagai bentuk sanksi terhadap Taliban. Pada April 2022, PBB menilai, sekitar 95 persen populasi Afghanistan tidak memiliki cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Akibatnya, banyak keluarga yang memutuskan untuk menikahkan anak perempuan mereka—bahkan sejak anak berusia 7 tahun—agar bisa memperoleh mahar. Dengan mahar tersebut, keluarga akan bisa memberi makan anak-anaknya yang lain.
Selain itu, ada juga keluarga yang menikahkan anaknya demi bisa membayar utang. Mahar yang diterima menjadi dana bagi mereka menutup utang-utang yang menggunung.

2. Rendahnya prospek edukasi dan profesional bagi perempuan

Siswa menghadiri kelas mereka setelah universitas swasta dibuka kembali di Kabul, Afghanistan, Senin (6/9/2021). Foto: Aamir Qureshi/AFP
Perempuan dan anak perempuan yang tidak bisa melanjutkan sekolah berisiko besar mengalami pernikahan dini atau paksa. Sebab, tidak ada prospek menjanjikan atau jaminan masa depan bagi mereka. Pemerintahan Afghanistan di bawah Taliban menutup sekolah untuk para perempuan, sehingga mereka tidak bisa mengenyam pendidikan sesuai dengan hak mereka.
ADVERTISEMENT
“Ini selalu soal perempuan dan anak perempuan yang dinilai hanya untuk tubuh mereka. Dengan rendahnya akses ke pendidikan dan tidak adanya kemampuan untuk berkontribusi secara finansial untuk masyarakat, sistem patriarki memindahkan eksistensi perempuan sepenuhnya untuk pernikahan, keibuan, dan kenikmatan seksual belaka,” ucap Stephanie Sinclair.
“Kita harus menggeser paham ini, sehingga perempuan akan dinilai dengan cara yang berbeda. Sekolah menciptakan keahlian bagi perempuan untuk menyokong diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Sekolah juga mengawasi apa yang terjadi pada para perempuan. Ketika Anda menjauhkan sekolah dari mereka, semakin mudahlah untuk menikahkan anak perempuan,” lanjutnya.

3. Menghindari pernikahan dengan anggota Taliban

Anggota pasukan Taliban menghentikan wanita Afghanistan saat protes di Kabul. Foto: REUTERS/Ali Khara
Akibat khawatir anak-anak perempuan mereka akan mengalami kehidupan yang berat jika menikahi anggota Taliban, banyak orang tua yang memutuskan menikahkan anak-anaknya dengan laki-laki lain. Seorang kepala sekolah dasar dan menengah di Provinsi Panjshir, Jamila, menjelaskan bahwa pola ini merebak di wilayahnya.
ADVERTISEMENT
“Rumornya, Taliban mungkin akan datang ke rumah dan membawa anak-anak perempuan mereka bersamanya, sehingga banyak teman saya yang bertunangan dengan sepupu mereka,” ujar Jamila.

4. Keluarga memaksa menikahi anak dengan anggota Taliban

Wanita Afghanistan meneriakkan slogan-slogan selama protes di Kabul. Foto: REUTERS/Ali Khara
Karena Pemerintahan Afghanistan saat ini diisi oleh anggota-anggota Taliban, otomatis mereka memiliki kekuasaan besar. Banyak keluarga yang ingin memperoleh “keamanan” dengan cara mendekatkan Taliban dengan mereka. Alhasil, anak-anak perempuan pun dipaksa menikah dengan para anggota Taliban.
Tak jarang, perempuan yang menolak akan menerima ancaman dan siksaan dari anggota keluarganya. Jadi, pilihan para perempuan yang dihadapkan dengan situasi ini adalah menerima pernikahan tersebut, atau melarikan diri dan mencari perlindungan.

5. Anggota Taliban memaksa menikahi perempuan

Siswa menghadiri kelas mereka setelah universitas swasta dibuka kembali di Kabul, Afghanistan, Senin (6/9). Foto: Aamir Qureshi/AFP
Untuk laporan ini, Amnesty International mewawancarai para perempuan dan keluarga anak perempuan yang sudah menikah atau berhasil menghindari pernikahan dengan anggota Taliban.
ADVERTISEMENT
Kendati Pemerintah Afghanistan sudah mengeluarkan dekrit khusus yang menolak pernikahan paksa, faktanya masih ada anggota Taliban yang mendatangi kediaman perempuan dan memaksa dia untuk menikah.
Seorang perempuan bernama Siddiqa (33) menceritakan, seorang komandan Taliban menikahi kakaknya, Farzana (34), pada 2021 lalu. Sang kakak sudah menolak lamarannya, tetapi komandan tersebut mengancam Farzana dan keluarganya. Kini, setelah menikah, Farzana menjadi korban kekerasan domestik, seperti dipukuli dan dihina.
“Ketika kehilangan anggota keluarga dengan cara seperti ini, dan Anda tahu bahwa ia perlahan-lahan sekarat, rasanya berat sekali,” ucap Siddiqa.