Maria Gabriella Berdayakan Perempuan Korban Kekerasan Lewat Kain Tenun

2 Oktober 2019 14:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Maria Gabriella Isabella, founder Copa de Flores. Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Maria Gabriella Isabella, founder Copa de Flores. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Nusa Tenggara Timur dikenal dengan karya kerajinan tangan kain tenun ikat yang kebanyakan dibuat oleh perempuan. Mereka biasa disebut nona untuk perempuan muda dan mama untuk perempuan yang sudah berkeluarga.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, NTT pun juga dikenal dengan kasus kekerasan pada perempuan hingga human trafficking yang cukup tinggi. Dari 2002 sampai dengan 2017, berdasarkan data yang dikeluarkan Rumah Perempuan Kupang, sudah terjadi 3.621 kasus kekerasan. Sementara sepanjang 2018, tercatat sebanyak 300 kasus.
Dua hal ini menarik perhatian Maria Gabriella Isabella atau yang akrab disapa Bella, perempuan muda berusia 24 tahun yang berasal dari NTT. Bella berkeinginan membantu dan melindungi para perempuan korban kekerasan melalui pelestarian budaya menenun.
Di samping keinginan untuk melindungi perempuan sekaligus melestarikan budaya daerah, ada hal lain yang menginspirasi Bella untuk memilih tenun sebagai fokus usahanya.
Sang ibu yang hampir bangkrut saat berbisnis kain tenun khas NTT menjadi alasannya. Melihat kondisi ibu yang sudah mulai tua, dan tidak bisa mempertahankan bisnisnya, Bella ingin menggunakan kemampuannya untuk menolong sang ibu.
ADVERTISEMENT
Bella yang mempelajari Ilmu Bisnis di Universitas Prasetiya Mulya, bertekad untuk mengambil alih usaha ibunya. Bermula dari situ, Bella pun mengajak teman-teman dekatnya sesama perempuan untuk ikut membangun kembali usaha sang ibu dan membangun visi dan misi demi pemberdayaan perempuan di NTT.
Lahirlah Copa de Flores, sebuah brand fashion lokal yang berkonsep social enterprise pada 2015. Bella sebagai CEO dan tujuh temannya menjabat sebagai Co-Founder, melakukan pemberdayaan perempuan korban kekerasan lewat meditasi visual dengan menenun.
Meskipun mewarisi bisnis ibunya yang sudah lama berdiri, konsep penjualan Copa de Flores lebih mengikuti zaman. Bella dan para co-founder-nya memanfaatkan media sosial Instagram untuk memasarkan produk mereka. Selain lewat media sosial, Copa juga membuka toko di e-commerce. Meski begitu, Copa juga menjalankan konsep penjualan yang konvensional melalui toko di pusat perbelanjaan dan pameran.
ADVERTISEMENT
Bukah hal mudah untuk menjalankan sebuah social enterprise. Copa de Flores kerap mengalami krisis keuangan, dan tantangan bisnis lainnya. Namun ada satu hal yang membuat Bella dan teman-temannya tetap bersemangat terus menjalani bisnis ini; yaitu misi untuk memberdayakan perempuan di NTT.
Seperti apa perjalanan Bella menjalani bisnis berkonsep social enterprise? Simak obrolannya bersama kumparanWOMAN beberapa waktu lalu.
Awalnya Copa de Flores terbentuk dari krisis keuangan yang dialami orang tua, bagaimana ceritanya?
Keluarga saya memang keluarga penenun di Flores. Mama, tante hingga sepupu sudah jadi penenun sejak SMA. Tenun keluarga dijual di Jakarta, yaitu di Thamrin City. Waktu itu kesulitan yang dihadapi ada di bagian distribusi, namun usaha masih tetap berjalan dan usaha tenun keluarga pun terus berkembang.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, setelah berjalan lima tahun, pendapatan mulai menurun. Saat itu saya sudah kuliah bisnis. Saya pelajari bagaimana cara penjualan Mama, saya bilang usaha ini sudah tidak bisa dilanjutkan. Istilahnya, cash flow sudah keropos sekali. Toko sudah sangat sepi, jadi uang habis untuk membayar sewa toko dan pegawai.
Ada faktor-faktor yang membuat usaha Mama mulai menurun. Hambatan utamanya itu pemasaran dan model baju yang tidak sesuai zaman. Jadi orang hanya mau membeli kainnya saja. Melihat usaha mama yang semakin surut, akhirnya saya ingin turun tangan membantu usaha ini.
Saya melihat tenun itu seperti barang tua, makanya jadi terlihat kurang menarik. Saya ingin tenun itu dibuat jadi lebih modern dan tentunya menarik. Saya tidak jago mendesain, tapi saya ingat punya teman-teman yang mempunyai keahlian tersebut. Kami ingin membuat sesuatu yang baru. Akhirnya Mama menutup tokonya pada 2015. Lalu saya mulai ambil alih bersama teman-teman.
ADVERTISEMENT
Mengurus Copa bersama teman-teman, dan memiliki tujuh Co-Founder, apakah sering ada perbedaan pendapat? Bagaimana menghadapinya?
Wah itu sering sekali, karena kami berdelapan spesialisasinya berbeda-beda. Biasanya kami berdebatnya lebih ke masalah advertising dan pengeluaran uang. Prosesnya panjang, diskusi, lebih banyak ide dan brainstorming. Untuk mengambil keputusan kami melakukan voting.
Maria Gabriella Isabella, founder Copa de Flores. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Kalau voting biasanya masalah tema photoshoot atau penentuan model. Tapi kalau krusial menyangkut bisnis, sosial, sama LSM itu tetap dari saya keputusannya. Kalau menurut saya itu tidak baik dari segi sosial dan bisnis, itu saya cut. Atau ada marketing plan yang nyasar ke komunitas, influencer, itu juga saya yang memutuskan. Kami berdelapan sering berantem waktu meeting, tapi bagusnya setelah meeting tidak memendam rasa kesal satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Copa menghadapi berbagai masalah dan hambatan yang ada?
Kami membangun usaha bersama-sama tanpa adanya sokongan dana dari luar. Jadi pendanaan dari uang kami sendiri. Sekali gagal menjual produk, itu bisa habis semua. Waktu itu kami pernah sampai pinjam uang ke teman dan keluarga.
Kedua, masalah tim. Berdelapan harus pintar mengeluarkan pendapat, nggak perlu baper. Apalagi challenge-nya itu, dari berdelapan cuma dua orang yang full time, saya dan Creative Director.
Masalahnya itu kebanyakan dari financial. Kalau sudah begitu, kami dorong untuk bagian marketing, atau bikin produksi lain seperti Artisan Trip, Workshop, Zero Wasted Project, pokoknya sesuatu yang mendatangkan penghasilan untuk Copa. Jadi pada akhirnya, muncul juga berbagai inovasi projek itu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masalah kami juga di manajemen waktu. Akhirnya saya dan Creative Director ikut pelatihan inkubator yang namanya Instellar. Di situ kami belajar dan jadi lebih tahu tentang social enterprise. Sehingga kami tahu langkah demi langkah usaha ini, dan dilatih kapasitas building. Jadi kami bisa tahu apa yang harus dilakukan menghadapi masalah social enterprise. Salah satunya manajemen waktu, karena kami kan banyak dan tentunya punya kesibukan masing-masing.
Penjualan dari kain tenun akan disumbangkan untuk pemberdayaan perempuan, sedangkan co-founder terdiri dari tujuh orang. Apakah Bella dan rekan benar-benar mendapat keuntungan?
Selama tiga tahun kami belum gajian. Kami putar uang terus karena masih bootstrapping kan, artinya belum ada investasi dari eksternal. Kami mengadaptasi model bisnisnya Microsoft. Bill Gates tidak pernah memberikan dividen ke co-foundernya sampai 15 tahun. Jadi sebisa mungkin kami bisa mengembangkan ke beberapa desa sehingga value-nya naik.
ADVERTISEMENT
Setiap co-founder itu sahamnya berbeda dan mereka part time. Saya dan Creative Director itu full time jadi sudah pasti mendapat gaji perbulannya. Kalau sekali kami sudah dapat pendanaan dari luar, baru kami bisa gajian. Jadi pemasukan ada, tapi dialokasikan untuk produksi dan membeli produk penenun. Selain itu ada yang kami alokasikan untuk marketing, penjahit, dan untuk projek lainnya.
Membuat kain tenun tidak bisa dikerjakan dengan instan, perlu proses berbulan-bulan. Apakah itu sempat menghambat produksi busana Copa de Flores?
Menghambat iya, karena itu buatan tangan. Belum lagi masalah cuaca. Kalau cuaca nggak bagus, nggak bisa kerja, karena tidak bisa menjemur. Sebab posisi matahari mempengaruhi warna motifnya. Kalau sudah begitu, kami melakukan build up produk baru, dan mencari cari agar bisa mengefisiensikan waktu untuk meluncurkan produk baru.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kami mengembangkan ke desa-desa lain. Sudah ada 13 desa yang kami berdayakan. Awalnya kami hanya mengharapkan satu desa. Makanya dulu kami jualnya agak mahal. Sekarang ada belasan desa, starting point-nya agak cepat, kalau misalkan di desa A hasil tenunnya jadi Januari, desa B Februari. Jadi mengaturnya juga lebih luas.
Lalu kenapa menjadikan usaha ini sebagai salah satu sarana untuk memberdayakan perempuan NTT?
Di sana identik yang menenun cuma perempuan. Jadi filosofinya kebutuhan sandang itu perempuan yang mengolah. Dari zaman dulu, perempuan NTT sudah biasa membuat selimut, pakaian anak-anaknya, dan itu memang tanggung jawabnya ibu, perempuan.
Copa de Flores fokus memberdayakan perempuan yang mengalami kekerasan bahkan human trafficking melalui metode meditasi visual berbasis tenun. Boleh dijelaskan prosesnya?
ADVERTISEMENT
Proses itu hasil diskusi dengan komunitas dan aktivis perempuan di Komnas Perempuan dan LSM lain. Kami dapat satu proses di mana penenunnya harus diam lalu merefleksikan batin sendiri. Itu ditangani oleh penggerak komunitas di sana.
Berdasarkan proses yang mereka lakukan, lambat laun bisa jadi healing, karena jarang sekali orang-orang yang mengalami kekerasan seksual bisa bicara.
Dengan cara ini mereka bisa bercerita tentang perlakuan yang diterima sebelumnya. Cerita itu tidak disampaikan secara lisan, tapi dituangkan dalam motif tenun yang mereka kerjakan. Makanya baru terkuak cerita seperti; "Suami saya pernah begini”, atau “Pernah diperkosa sama ayah sendiri”, ini terkuak dari motif kain itu.
Ini sangat membantu, karena di NTT, Kita membicarakan kekerasan seksual saja sudah tabu, sehingga susah untuk menggalinya. Salah satu cara untuk mengetahui adalah melalui proses diam dan menenun itu.
ADVERTISEMENT
Kekerasan yang dialami diceritakan lewat proses menenun kain. Mereka bercerita lewat motif yang dihasilkan. Jadi lebih ke arah kontemplasi diri, bercerita, dan menuangkannya dalam bentuk karya.
Misalnya, ada perempuan muda usia 15 tahun menenun motif bunga warna warni. Kami tanyakan alasan membuat motif tersebut. Ternyata dia pernah jadi korban trafficking. Dia korban oknum yang mengumpulkan perempuan cantik untuk dijadikan PSK.
Menguaknya cukup lama. Ada orang-orang terlatih untuk membuka cerita tersebut. Minimal prosesnya enam bulan, sangat lama. Itu baru proses membuat, belum proses penyembuhan.
Bagaimana perkembangan hidup penenun setelah bergabung dengan Copa de Flores?
Mereka jadi lebih merasa aman. Saat mereka menenun, mereka sudah tahu kainnya akan dijual kemana dan tentu mendapat pemasukan. Mereka lebih percaya diri dan lebih yakin bikin tenunnya. Sebelumnya mereka khawatir menenun karena bisa jadi dibeli murah oleh tengkulak atau hanya tersimpan di rumah tanpa sempat dijual.
ADVERTISEMENT
Menjalankan usaha ini tidak mudah, apa yang menjadi support system Bella?
Mama. Beberapa kali saya ikut pameran besar malah nggak untung, di saat itu saya merasa demotivasi, dan berat menjalaninya. Karena menjadi pengusaha tiga kali lebih susah daripada kerja profesional, gajinya pun tergantung penjualan.
Ketika sudah demotivasi, saya curhat ke Mama. Pernah sepintas berpikir untuk menjual Copa, karena sempat mau dibeli investor. Lalu mama bilang, proses membuat tenun saja lama bisa mencapai enam bulan tapi hasilnya sangat bagus. Nah, Copa bisa jadi akan seperti itu. Harus tekun, teliti, dan sabar. Hasilnya mahal, value-nya bagus, seperti kain tenun yang dibuat. Itu filosofi yang mama sering berikan.
Apa rencana selanjutnya untuk Copa de Flores dan perempuan NTT?
ADVERTISEMENT
Tahun depan akan membuat Branda Nona. Ini semacam sekolah budaya sebagai rumah para penenun untuk anak dan keluarganya. Jadi generasi muda bisa belajar tentang tenun, bisa dapat pelatihan, tapi on the other hand mereka juga bisa menabung dengan koperasi.
Kami juga mau bikin website Copa tahun ini, customize tenun. Kalau bikin website terus cuma bisa fitur orang buat belanja aja buat apa, harus ada yang beda. Di sini orang bisa customize atau orang bisa chatting sama penenun.