Ilustrasi menstruasi

Mengapa Menstruasi Masih Dianggap Tabu Oleh Banyak Orang?

28 Mei 2021 19:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Itu merupakan salah satu ungkapan pilu seorang perempuan asal India, Manju Baluni, saat diwawancarai oleh BBC pada 2014 silam. Dalam tulisan berjudul 100 Women 2014: The taboo of menstruating in India, jurnalis Rupa Jha memaparkan cerita dan pengalaman memilukan beberapa perempuan di India soal menstruasi yang kerap dianggap tabu di negara tersebut. Perempuan yang sedang menstruasi dianggap sebagai perempuan yang kotor, tidak suci, sakit, bahkan dikatakan terkutuk.
Masih dalam tulisan yang sama, Rupa Jha juga menceritakan pengalaman pribadinya terkait menstruasi. Ia mengungkapkan bahwa dirinya tumbuh di lingkungan yang penuh perempuan, namun sayangnya mereka tidak pernah membahas secara terbuka mengenai menstruasi.
Film dokumenter Period. End of Sentence yang menggambarkan kondisi menstruasi di India. Foto: Netflix
Lebih lanjut, Jha juga mengatakan bahwa ia kerap menggunakan potongan kain seprai lama yang dipakai sebagai pembalut. Tradisi ini kabarnya berasal dari sang ibu yang biasa memotong kain seprai lama untuk anak-anak perempuannya. Namun, saat memakai potongan kain tersebut, Jha mengaku merasa khawatir dan takut karena ia harus menjemur potongan kain itu tanpa diketahui oleh laki-laki. Jha pun diberi kiat oleh kakak-kakaknya untuk menjemur potongan kain itu di bawah pakaian lain, sehingga ia tidak ketahuan sedang menstruasi.
“Karena diletakkan di bawah pakaian, potongan kain itu tidak pernah benar-benar kering. Alhasil meninggalkan bau busuk yang menyengat. Kain yang tidak higienis pun digunakan berulang kali,” tulis Rupa Jha.
Berbeda dengan Rupa Jha dan Manju Baluni, seorang perempuan asal Uttarakhasi, India, bernama Margdarshi bahkan mengaku pernah berhenti sekolah karena menstruasi. Margdarshi menyebut bahwa kejadian itu bermula ketika ia mendapat menstruasi pertama kalinya.

Tabu menstruasi tak hanya terjadi di negara berkembang

Ilustrasi menstruasi. Foto: Shutter Stock
Banyak yang beranggapan bahwa tabu seputar menstruasi hanya ditemukan di India dan negara-negara berkembang lainnya, termasuk di Indonesia. Asumsi ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab, di negara-negara Barat yang tergolong maju pun, tabu seputar menstruasi ini masih sering dijumpai. Lewat bahasa misalnya, tersimpan pesan bahwa menstruasi merupakan hal yang dihindari untuk diungkapkan dalam ruang-ruang publik terbuka.
Di beberapa negara, kata menstruasi sendiri kerap diganti atau diperhalus dengan istilah tersirat lain seperti ‘Aunt Flo’, ‘Bloody Mary’, ‘The Curse’, ‘The Time of The Month (TTOTM)’, hingga ‘Code Red’. Sedangkan di Indonesia, kata ‘menstruasi’ kerap diganti dengan istilah seperti ‘Datang Bulan’, ‘Dapet’, ‘Tamu Bulanan’ hingga ‘Halangan’ saat dibicarakan di ruang terbuka atau di sekitar lawan jenis.
“Kayaknya seluruh dunia masih lumayan tabu ya kalau berbicara soal menstruasi. Contohnya kalau aku pergi ke tempat publik, enggak mungkin aku tiba-tiba mengeluarkan tampon atau pembalut. Itu harus tetap ditutup-tutupi gitu. Padahal kan seharusnya ya sudah kalau semua orang tahu aku sedang menstruasi ya whatever, kayak I’m on period you know,” ungkap Monica Pranatajaya, Co-Founder nona woman atau sebuah platform yang dibuat untuk melawan tabu dan memulai diskusi mengenai isu seputar menstruasi.
Ilustrasi Remaja Perempuan Foto: Shutterstock
Pernyataan Monica ini rupanya bukanlah isapan jempol belaka. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga riset Plan International UK pada 2017 lalu, disebutkan bahwa 48 persen perempuan berusia 14 hingga 21 tahun di Inggris masih menganggap menstruasi sebagai hal yang memalukan. Lebih lanjut, survei itu juga menyebut bahwa kurang dari 1/4 anak perempuan merasa nyaman saat membahas menstruasi dengan teman laki-laki mereka.
Tak jauh berbeda dengan Inggris, sebuah studi yang dilakukan oleh produsen handuk sanitasi di India pada 2014 lalu juga menemukan bahwa 75 persen perempuan yang tinggal di kota-kota India masih membeli pembalut dengan cara dibungkus tas atau koran berwarna cokelat karena rasa malu terkait dengan menstruasi. Bahkan, mereka juga hampir tidak pernah meminta anggota keluarga laki-laki untuk membeli produk menstruasi; seperti pembalut, atau tampon.
Dari temuan-temuan itu, bisa disimpulkan bahwa masih banyak perempuan dan remaja perempuan yang merasa malu dan takut saat membahas menstruasi di ruang publik. Bahkan, mereka juga tidak nyaman saat membicarakan topik tersebut dengan laki-laki dan teman mereka.

Lantas, mengapa menstruasi masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan?

Sebelum membahas hal itu, ada baiknya kita harus memahami mengenai tabu menstruasi. Mengutip Whiteboard Journal, tabu menstruasi adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kebiasaan masyarakat atau agama untuk melarang diskusi mengenai menstruasi perempuan.
Tabu seputar menstruasi sendiri terjadi karena kurangnya edukasi dan awareness seputar topik tersebut. Tabu itu kemudian diperparah ketika berbagai adat atau kebudayaan menganggap menstruasi sebagai hal yang ‘kotor’. Alhasil, topik mengenai menstruasi pun jarang dibahas di kalangan masyarakat, bahkan di kalangan perempuan sekalipun.
Film dokumenter Period. End of Sentence yang menggambarkan kondisi menstruasi di India. Foto: Netflix
Kurangnya percakapan tentang menstruasi tergambar jelas di India. Masyarakat di sana jarang sekali membahas topik mengenai topik tersebut. Karena kurangnya percakapan mengenai menstruasi ini. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh organisasi Dasra India pada 2017 menyebut bahwa 71 persen gadis remaja di India tidak menyadari menstruasi hingga mereka mengalaminya sendiri.
Sama seperti di India, di Indonesia topik mengenai menstruasi juga jarang diperbincangkan. Hal itu diperkuat lewat sebuah data yang dirilis oleh Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia pada 2017 lalu. Dalam data tersebut, disebutkan bahwa 1 dari 5 remaja perempuan tidak pernah mendiskusikan menstruasi sebelum mereka mengalaminya untuk yang pertama kali. Angka itu lebih tinggi di kawasan perdesaan, termasuk wilayah timur Indonesia, seperti Provinsi Papua.
Ilustrasi menstruasi. Foto: Shutter Stock
Namun sayangnya, penyensoran seputar menstruasi ini malah menyebabkan masalah baru. Sebuah studi yang dilakukan oleh International Women’s Health Coalition menunjukkan bahwa penyensoran seputar topik tersebut telah menyebabkan beberapa kesalahpahaman mengenai menstruasi. Karenanya, perempuan di seluruh dunia mendapatkan pengetahuan yang minim soal menstruasi karena penolakan dari masyarakat untuk membahas topik itu secara terbuka. Dalam beberapa kasus, perempuan tidak memiliki akses untuk mendapatkan pemahaman tentang menstruasi, yang mengakibatkan kebingungan atau rasa malu ketika mereka mengalami menstruasi untuk pertama kali.
Pemahaman yang minim seputar menstruasi ini bahkan membuat remaja-remaja perempuan terpaksa tinggal di rumah. Penelitian UNICEF Indonesia pada tahun 2015 menemukan fakta 1 dari 6 anak perempuan terpaksa tidak masuk sekolah selama satu hari atau lebih, pada saat menstruasi. Ketidakhadiran siswi perempuan di sekolah disebabkan oleh beberapa alasan; seperti nyeri haid (dismenore), pihak sekolah tidak menyediakan obat pereda nyeri, tidak adanya toilet yang layak di sekolah, tidak tersedianya air untuk membersihkan diri dan rok yang ternoda darah, tidak tersedianya pembalut cadangan ketika dibutuhkan, dan tidak tersedianya tempat sampah dan pembungkus untuk membuang pembalut bekas. Selain itu, perlakuan siswa laki-laki yang kadang mengejek juga membuat siswi perempuan enggan ke sekolah.

Asal Mula Tabu Menstruasi

Lalu, dari mana asal mula tabu menstruasi ini? Tidak diketahui secara pasti dari mana asal mula tabu menstruasi, namun menurut dokter spesialis kebidanan dan kandungan di RS Pondok Indah - Bintaro Jaya, Jakarta, dr. M. Charnaen Ibrahim, Sp. OG, tabu menstruasi ini tidak lepas dari pandangan adat istiadat dan agama.
“Ketika kita berbicara dari segi adat istiadat dan agama maka sebaiknya sikap kita adalah menghormatinya, dan seharusnya kata tabu tidaklah selalu diinterpretasikan negatif,” kata dr. M. Charnaen Ibrahim kepada kumparanWOMAN.
Ilustrasi Menstruasi Foto: Shutterstock
Selain adat istiadat, pandangan agama juga memiliki pengaruh yang besar terhadap tabu pada menstruasi. Hampir seluruh kepercayaan (baik itu Islam, Kristen, Buddha, hingga Hindu) menganggap menstruasi sebagai kotor atau tidak suci, membatasi perempuan untuk menginjakkan kaki di tempat-tempat keagamaan, hingga melarang untuk mengambil bagian dalam praktik keagamaan, demikian dikutip dari Whiteboard Journal.
Perempuan di Nepal harus tinggal di Chhaupadi saat mereka menstruasi. Foto: Prakash Mathema/ AFP
Dalam beberapa kasus, ada juga yang dilaporkan mengurung perempuan di sebuah gubuk saat sedang menstruasi. Praktik ini kerap disebut dengan Chhaupadi. Chhaupadi sendiri adalah tradisi masyarakat Hindu Nepal yang mengharuskan perempuan yang sedang haid untuk dipisahkan tempat tinggalnya di sebuah gubuk kecil tanpa ventilasi. Praktik ini dilakukan, karena perempuan yang sedang haid dianggap kotor dan dikhawatirkan akan memberi bencana pada manusia, lahan, serta ternak di sekitarnya. Oleh karena itu, mereka diusir dari rumah dan diasingkan hingga siklus menstruasinya berakhir.

Mendobrak tabu menstruasi

Berkembangnya tabu seputar menstruasi rupanya mendorong sebagian pihak untuk membuat sejumlah kampanye dan sosialisasi. Pada 2014 lalu misalnya, sekelompok orang India mencetuskan situs Menstrupedia untuk mematahkan mitos dan kesalahpahaman mengenai menstruasi. Situs ini dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian remaja-remaja putri, termasuk di dalamnya terdapat komik yang menjelaskan mengenai pubertas, menstruasi, dan pengelolaan masalah manajemen kebersihan menstruasi.
Upaya mematahkan tabu menstruasi lewat budaya populer juga dilakukan oleh perusahaan panduan warna, Pantone Color Institute atau yang biasa dikenal Pantone. Pada akhir 2020 lalu, Pantone merilis sebuah shade warna merah terbaru yang diberi nama ‘Period’. Sesuai namanya, Period memiliki warna merah menyala mirip dengan darah menstruasi ketika sedang mengalir lancar. Mengutip Insider, kampanye itu dilakukan untuk mendorong semua pihak, baik perempuan maupun pria, agar tidak segan atau malu ketika membicarakan soal menstruasi.
Ilustrasi menstruasi. Foto: Shutter Stock
Untuk mendobrak stigma dan tabu seputar menstruasi, sebuah organisasi non-pemerintah asal Jerman, Wash United, lantas menggagas Hari Kebersihan Menstruasi atau Menstrual Hygiene Day (MH Day) yang diperingati setiap tanggal 28 Mei di seluruh dunia. Perayaan ini diinisiasi pada 2013 dan baru dirayakan setahun setelahnya, yakni pada 28 Mei 2014 hingga sekarang.
Mengutip laman resmi Menstrual Hygiene Day, angka ‘28’ sendiri dipilih sebab rata-rata periode menstruasi setiap 28 hari sekali. Dengan demikian, untuk mempermudah peringatan Hari Kebersihan Menstruasi, maka dipilihlah angka 28.
Sementara itu, perayaan itu digagas untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya informasi kebersihan menstruasi bagi masyarakat. MH Day juga dilakukan untuk mengurangi stigma dan tabu terhadap isu menstruasi.
Nah, Ladies dari kisah-kisah soal tabu menstruasi di berbagai negara dan upaya-upaya mendobrak tabu tersebut, apakah Anda masih berpikir bahwa menstruasi sebagai hal yang tabu?
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten