Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Secara umum, orgasme dianggap sebagai puncak dari gairah seksual. Orgasme merupakan sebuah reaksi berupa kenikmatan fisik dan sensasi dari pelepasan ketegangan organ genital setelah menerima stimulasi.
Jika ditanya rasanya seperti apa, percayalah, banyak perempuan yang benar-benar sudah pernah merasakan orgasme akan mengatakan bahwa rasa orgasme tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sebab, baik perasaan maupun sensasi pada tubuh yang terjadi ketika kita merasakan orgasme bukanlah hal yang bisa dirasakan setiap waktu dan pastinya berbeda-beda juga bagi setiap orang.
“Aku kalau ditanya orang orgasme itu seperti apa, aku cuma bisa jawab ‘enak’,” ungkap Citra Ayu Mustika, penulis buku 'Unsencored: Karena Gak Semua Pasutri Punya Chemistry' yang juga aktif bicara soal seks dan relationship di Instagram.
Namun benarkah setiap perempuan sudah pasti mendapatkan orgasme setiap berhubungan seks? Faktanya, tidak semua perempuan bisa dengan mudah mendapatkan orgasme. Kesulitan untuk meraih orgasme itu kemudian mendorong perempuan untuk tindakan pura-pura orgasme ketika sedang berhubungan seksual.
Sebuah studi yang dirilis pada Archives of Sexual Behaviour tahun 2019 menyatakan bahwa dari 1.008 partisipan perempuan Amerika usia 18-94 tahun yang mengikuti survei, 58.8 persen mengaku pernah melakukan fake orgasm atau memalsukan orgasme.
kumparanWOMAN mencoba untuk bertanya pada teman-teman melalui fitur Question di Instagram tentang pernah atau tidak mereka memalsukan orgasme, meski tidak banyak yang menjawab, namun sebagian besar mengaku pernah memalsukan orgasme.
Alasannya bermacam-macam. Ziza (bukan nama sebenarnya) misalnya, perempuan 33 tahun ini kadang-kadang memilih melakukan fake orgasm karena ingin hubungan seks cepat selesai lantaran ‘permainan’ pasangannya dinilai kurang menyenangkan dan kadang pasangannya terlalu memikirkan dirinya sendiri.
“Kalau dihitung dari awal berhubungan seks, sepertinya 10 kali mungkin. Tapi enggak semua karena permainannya kurang, kadang juga karena si pria terlalu mementingkan egonya, so self-centered. So to make it fast, I fake it karena mood-nya sudah jelek duluan,” ungkap Ziza kepada kumparanWOMAN.
Lain halnya dengan Dinda (22), ia terpaksa pura-pura orgasme karena kelelahan sebab pasangannya tak kunjung orgasme. Namun ini tidak terjadi setiap waktu. Dinda mengatakan bahwa dia akan pura-pura orgasme untuk membantu pasangannya agar lebih cepat selesai.
Berbeda lagi dengan Isa (bukan nama sebenarnya). Ibu dua anak berusia 33 tahun ini mengaku tidak pernah melakukan fake orgasm dan justru tidak terlalu mementingkan orgasme ketika berhubungan seks dengan pasangan. Ia sendiri tidak yakin mengapa, tapi yang jelas ia dan pasangannya sepakat untuk memiliki waktu khusus untuk menjaga kualitas seks mereka.
“Entah mungkin karena sudah punya anak dua atau gimana, tapi aku sekarang sudah enggak terlalu mementingkan orgasme. Jadi yang penting suami sudah orgasme. Tapi saya dan suami sudah sepakat, sebulan sekali kami akan menginap di hotel tanpa anak-anak untuk menjaga kualitas seks. Dan saat di hotel saya pasti orgasme. Tapi kalau di rumah jarang, mungkin karena suasana yang kurang mendukung,” ceritanya.
Jadi sebenarnya seberapa penting orgasme untuk perempuan, apa pengaruhnya untuk kesehatan fisik dan psikologi, dan apa yang membuat mereka cenderung fake orgasm?
Alasan Perempuan Sering Fake Orgasm
Menurut Psikolog & Sexpert, Elizabeth Santosa ada banyak alasan mengapa perempuan memutuskan untuk memalsukan orgasmenya. Beberapa diantaranya adalah agar hubungan seksual cepat selesai, demi kepuasan pasangan, dan karena insecurity perempuan itu sendiri.
Elizabeth menjelaskan bahwa di Barat ada budaya bagi pria bahwa mereka harus membuat pasangan merasa puas saat bercinta. Sehingga, laki-laki di Barat tidak akan ejakulasi duluan kalau perempuannya belum orgasme. Namun saat bercinta, kadang perempuan merasa lelah karena belum bisa meraih orgasme, sehingga jalan pintas agar hubungan seksualnya cepat selesai yaitu dengan fake orgasm.
Perempuan juga cenderung melakukan orgasme palsu agar suami merasa aman dan secure. Karena ada anggapan kalau laki-laki merasa tidak mampu memberikan kepuasan kepada pasanganya, maka dikhawatirkan ia mencari kepuasan di tempat lain. Sehingga perempuan pun merasa insecure, dan memutuskan untuk pura-pura orgasme.
“Selain itu, perempuan juga kerap merasa takut atau insecure karena sulit untuk mendapatkan orgasme. Biasanya hal ini disebabkan karena mereka tidak berani mengungkapkan pada pasangannya kalau mereka tidak bisa orgasme, sehingga lagi-lagi mereka memalsukan orgasme,” jelas Elizabeth.
Hingga saat ini memang belum ada penelitian yang menunjukkan secara pasti seperti apa tanda-tanda saat perempuan melakukan fake orgasm. Namun Elizabeth Santosa mengatakan bahwa biasanya orgasme palsu ditandai dengan keluarnya desahan yang lebih intens dari orgasme sesungguhnya dan biasanya perempuan akan memberikan kode-kode tertentu yang menunjukkan bahwa mereka sudah orgasme.
“Yang pasti suara. Suaranya itu lebih intens dari sesungguhnya. Selain itu, perempuan yang melakukan orgasme palsu juga biasanya akan memberikan semacam kode secara verbal bahwa ia akan orgasme atau ejakulasi,” ungkap Elizabeth Santosa kepada kumparanWOMAN.
Orgasme Bisa Diraih dengan Berbagai Cara
Menurut data dari penelitian Advances in Psychosomatic Medicine yang dirilis pada 2011 menyatakan bahwa 11-41 persen perempuan sulit mencapai orgasme dari hubungan seks yang hanya melakukan penetrasi antara penis dan vagina. Kondisi ini biasanya disebut dengan Female Orgasmic Disorder (FOD).
Sementara mengutip situs International Society for Sexual Medicine, gangguan orgasme pada perempuan ini disebut sebagai sebuah disfungsi seksual kedua yang umum terjadi pada perempuan. Menurut data yang sama, 28 persen perempuan di Amerika Serikat, Eropa, dan Amerika Tengah dan Selatan mengalami gangguan orgasme dan di Asia terdapat 30-40 persen perempuan yang mengalami kesulitan orgasme.
Hal ini juga diungkapkan oleh Susanti Rendra, (39), Founder Laci Asmara, e-commerce dewasa yang menjual berbagai sex toys. Ia mengungkapkan bahwa banyak perempuan berusia 30-35 yang menanyakan bagaimana caranya bisa orgasme.
“Kalau saya ketemu dengan teman-teman yang berusia 30-35 tahunan atau seumuran dengan saya, memang permasalahan seputar seks yang mereka ungkapkan adalah seputar bagaimana cara meraih orgasme,” ungkap Susanti dalam sesi syuting konten Women to Women bersama kumparanWOMAN.
Pada kenyatannya, penetrasi penis bukanlah satu-satunya cara bagi perempuan untuk mencapai orgasme. Ada berbagai cara lain untuk merangsang perempuan hingga akhirnya bisa mencapai klimaks, salah satunya dengan rangsangan di bagian klitoris.
Orgasme karena rangsangan di bagian klitoris ini disebut dengan istilah clitoral orgasm. Selain itu, perempuan juga bisa merasakan orgasme setelah melakukan rangsangan pada payudaranya. Orgasme ini disebut dengan orgasme payudara atau breast orgasm.
Seperti dilansir dari Women's Health, Dr. Janet Brito, PhD, seksolog dan psikolog klinis di Honolulu, Hawaii, menjelaskan bahwa orgasme payudara atau breast orgasm adalah pelepasan gairah seksual atau orgasme karena stimulasi yang dilakukan pada puting dan area payudara lainnya tanpa sama sekali melibatkan stimulasi pada organ genital secara langsung.
Hal lain yang juga dapat membantu perempuan bisa terangsang maksimal adalah dengan penggunaan sex toys walaupun sifatnya hanya untuk memberi variasi pada permainan.
"Tingkat kenikmatannya (tentu) berbeda dengan apa yang kita dapatkan dari pasangan dan ini memang tidak bisa menggantikan pasangan. Dari dulu saya selalu bilang sex toy tidak bisa menggantikan penis. Sebab penis memiliki kehangatan, dan ada emosi yang tersalurkan saat kita bercinta, sedangkan sex toys tidak. Jadi alat ini bisa digunakan sebagai foreplay yang menyenangkan,” ungkap Susanti Rendra pendiri Laci Asmara, toko online yang menjual sex toy.
Komunikasi Jadi Kunci Penting dalam Hubungan Seks
Meski orgasme merupakan bagian klimaks dari sebuah hubungan seks yang ingin dirasakan, namun hal tersebut sebaiknya tidak selalu dijadikan tujuan ketika kita berhubungan intim dengan pasangan. Hal ini diungkapkan oleh Influencer dan Sexual Health Activist Andrea Gunawan atau yang lebih dikenal dengan akun Instagram @catwomanizer.
“Selain orgasme, ada juga tujuan lain yang harus dicapai oleh kita dan pasangan, yaitu menjaga keintiman. Bukan semata-mata mencari kepuasan, sebab kalau orgasme saja, kesannya harus puas banget. Padahal dari perjalanan ke tujuannya, kita harus tetap bisa menikmati. Karena menurut saya orgasme itu adalah tanggung jawab kita juga. Kita enggak bisa menyerahkan semua tanggung jawab itu pada pasangan kita,” jelas Andrea.
Untuk bisa menikmati hubungan seks yang berkualitas perempuan maupun pria sebaiknya memang berada dalam kondisi yang rileks. Sebab menurut Inez Kristanti, seorang Psikolog Klinis Dewasa, apa yang dipikiran oleh otak itu justru akan sangat mempengaruhi sensasi yang dirasakan oleh tubuh. Jadi kalau kita merasa terobsesi untuk mencapai orgasme dan memiliki tuntutan untuk diri sendiri, bisa jadi kita semakin sulit mencapainya.
“Salah satu hal yang menghambat kita untuk bisa mendapatkan kepuasan seksual adalah terlalu banyak tuntutan ke diri sendiri yang menimbulkan kecemasan. Jadi kalau di awal sudah ada tekanan, kenikmatan akan sulit didapat. Jadi selain menganggap orgasme adalah hak perempuan dalam hubungan seksual, jangan lupa untuk tetap enjoy the process dan tidak terlalu menaruh banyak tuntutan,” ungkap Inez pada kumparanWOMAN.
Andrea menambahkan bahwa, jika kita selalu bohong kepada pasangan, terutama soal berhubungan seks dan orgasme, hubungan yang dijalani tidak akan berkembang. “Kalau bohong terus, kan kita sendiri tidak bisa puas dan pasangan tidak tahu soal hal itu. You cannot expect what you don’t communicate. Kalau pasangan kita tidak tahu, ya kita harus kasih tahu mereka,” tuturnya.
Komunikasi memang menjadi hal paling krusial dalam segala hal, termasuk hubungan. Tak hanya untuk menyelesaikan masalah-masalah biasa, komunikasi juga bisa menjadi salah satu cara untuk mengatasi fake orgasm.
Namun sayangnya, banyak perempuan yang masih menganggap bahwa seks itu adalah hal yang tabu untuk dibicarakan. Maka tak heran jika tidak sedikit perempuan yang memalsukan orgasme karena tidak berani bilang pada pasangan bahwa mereka belum terpuaskan saat bercinta.
Hal ini juga dibuktikan sendiri oleh Citra yang kala itu tidak bisa mendapatkan orgasme pada pengalaman pertamanya berhubungan seks setelah menikah. Ia merasa informasi soal bercinta yang menyatakan bahwa seks itu enak dan menyenangkan dari cerita teman maupun film tidak sesuai dengan pengalamannya sendiri. Ia pun sempat merasa insecure pada diri sendiri.
“Setelah menikah, saya mencoba dan tidak mendapatkan apa yang saya ekspektasikan. Hal itu membuat saya bertanya-tanya, apakah ada yang salah dengan diri saya. Akhirnya saya disarankan untuk banyak membaca dan berkomunikasi dengan pasangan. Intinya sih memang kita perlu trial error beberapa kali,” ungkap Citra.
Ia pun kemudian mencoba untuk berkomunikasi dengan pasangan setelah bercinta. Ini ia lakukan agar suaminya tahu apa yang ia rasakan selama berhubungan seks, dengan begitu pasangan jadi lebih mengerti dan mengutamakan keinginan Citra agar keduanya bisa meraih kepuasan saat bercinta.
“Menurut saya, bercerita soal berbagai hal yang kita rasakan saat bercinta dengan pasangan itu penting sekali. Sehingga dia pun tahu apa yang saya rasakan. Dia jadi bisa menerima apa yang saya inginkan dan akhirnya kita berusaha lagi karena buat dia kepuasan saya itu juga penting. Saya jadi merasa dihargai dan setelah saya bisa mencapai orgasme, rasanya enggak bisa dijelaskan dengan kata-kata,” tutur Citra.
Lebih dari itu, ada juga beberapa perempuan yang menganggap bahwa kepuasan pasangannya itu adalah hal paling penting sehingga mereka mau mengorbankan kepuasannya sendiri. Padahal orgasme memiliki peran yang penting bagi kesehatan fisik maupun mental perempuan .
“Kalau secara general menurut science, ketika perempuan mencapai klimaks maka tubuh akan memproduksi hormon bernama oksitosin. Oksitosin sendiri bisa membuat seseorang jadi lebih rileks, tidur lebih pulas, hingga pereda stres,” tutur Elizabeth Santosa.