Nasib Perempuan Afghanistan saat Taliban Berkuasa, Terancam Mengalami Kemunduran

18 Agustus 2021 19:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perempuan Afghanistan berpakaian burqa berdiri dengan barang-barang bantuan yang diterima dari sebuah badan amal di Herat. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan Afghanistan berpakaian burqa berdiri dengan barang-barang bantuan yang diterima dari sebuah badan amal di Herat. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Sejak pemerintahan Afghanistan diambil alih Taliban, kondisi di negara tersebut terus menjadi perhatian masyarakat dunia. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani bahkan mengakui kemenangan Taliban dan pergi meninggalkan negaranya pada Minggu (15/8). Hal ini ia nyatakan dalam akun media sosial miliknya.
ADVERTISEMENT
"Taliban sudah menang lewat penghakiman dengan pedang dan senjata," tulis Ghani dalam media sosialnya seperti dikutip dari AFP.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani. Foto: REUTERS/Stringer/File Photo
Dengan pendudukan Taliban di Afghanistan ini, kelompok perempuan menjadi yang paling rentan dan mengkhawatirkan. Dikutip dari Al Jazeera, melihat sejarah masa lalu, ketika Taliban berkuasa di Afghanistan pada 1996 hingga 2001, perempuan di Afghanistan mengalami opresi di berbagai lini kehidupan. Perempuan tidak diperbolehkan bekerja, anak perempuan tak boleh bersekolah, dipaksa menikah, mereka diwajibkan memakai burqa untuk menutup wajah, hingga tak boleh bepergian sendiri tanpa ditemani laki-laki. Semua perempuan yang melanggar akan dipermalukan dan mendapat hukuman cambuk dari polisi syariah.
Kondisi dilaporkan membaik ketika pada 2001 PBB membentuk pemerintahan baru untuk Afghanistan yang dipimpin oleh Hamid Karzai. Dalam pemerintahan baru pascahengkangnya Taliban ini, 27 persen dari 250 kursi di House of the People di Afghanistan diduduki oleh perempuan. Meski begitu, nasib perempuan di bawah pimpinan Hamid Karzai tak begitu mujur. Sebab ia membuat peraturan agar perempuan tak bepergian tanpa didampingi laki-laki dengan alasan mengikuti hukum Islam.
Perempuan berjalan melalui jalan di Ghazni, Afghanistan. Foto: Wakil Kohsar / AFP
Lalu pada 2013 PBB mengeluarkan data statistik yang menunjukkan angka kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 20 persen. Di tahun-tahun berikutnya, perempuan banyak dilarang melakukan berbagai hal, mulai dari berkompetisi di Olimpiade hingga menyetir mobil.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini mulai berubah ketika Presiden Ashraf Ghani memimpin pada 2014. Di bawah kepemimpinannya, perempuan Afghanistan boleh menyertakan namanya dalam akta kelahiran anak, bisa bekerja, hingga bisa mendapatkan pendidikan yang layak.
Namun 20 tahun setelah Taliban meninggalkan Afghanistan, dan ketika banyak perempuan mulai merasakan kehidupan yang jauh lebih baik, kini ketakutan masa lalu kembali menghantui perempuan Afghanistan.
Para siswi menghadiri kelas di Herat pada 17 Agustus 2021, menyusul pengambilalihan negara yang menakjubkan oleh Taliban. Foto: Aref Karimi / AFP
Salah satu kejadiannya terjadi pada Minggu (15/8). Menurut laporan Reuters, anggota Taliban memasuki kantor Azizi Bank di Kandahar. Mereka memerintahkan sembilan perempuan yang tengah bekerja untuk meninggalkan tempat. Para perempuan ini dikawal oleh pasukan bersenjata dari kantor sampai ke rumah. Tak hanya itu, mereka juga diperintahkan untuk tidak kembali bekerja. Reuters juga melaporkan bahwa para Taliban menjelaskan bahwa anggota keluarga laki-laki bisa menggantikan posisi para perempuan tersebut di kantor.
ADVERTISEMENT
"Sangat aneh rasanya tak bisa kembali bekerja, tapi itu yang terjadi sekarang. Saya belajar Bahasa Inggris dan menggunakan komputer, tapi sekarang saya harus mencari pekerjaan yang pegawainya perempuan semua," ungkap Noor Khatera, salah satu pekerja Azizi Bank kepada Reuters.
Kondisi ini menandakan bahwa hak-hak yang sudah didapatkan oleh perempuan Afghanistan selama lebih dari 20 tahun akan kembali direnggut. Para pemimpin Taliban berusaha meyakinkan pihak Barat bahwa mereka akan memberikan keadilan bagi para perempuan sesuai hukum Islam, termasuk adanya kesempatan untuk bekerja dan menempuh pendidikan.
Bahkan beberapa perwakilan Taliban di beberapa wilayah pada akhir pekan lalu mengatakan pada UNICEF bahwa mereka akan mendukung adanya pendidikan untuk perempuan. Kepala Operasional UNICEF di Afghanistan, Mustapha Ben Messaoud, berharap di masa depan mereka bisa bekerja sama dengan Taliban. Messaoud menjelaskan, kini Taliban sedang menunggu pedoman dari pemimpinnya bagaimana bentuk dukungan pendidikan perempuan. Beberapa anggota Taliban bahkan berkomitmen pendirian dan pengelolaan pendidikan dan sekolah.
ADVERTISEMENT
"Kami terus berdiskusi, kami cukup optimis berdasarkan diskusi-diskusi ini (dengan Taliban)... Kantor kami di lapangan tidak mempunyai masalah dengan Taliban," pungkas Mustapha Ben Messaoud seperti dikutip Reuters.
Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid berbicara pada konferensi pers pertamanya, di Kabul, Afghanistan, Selasa (17/8/2021). Foto: Rahmat Gul/AP Photo
Sementara itu, dalam konferensi pers terbaru mereka pada Selasa (17/8), Taliban menyatakan memiliki kerangka kerja tersendiri untuk memastikan hak-hak perempuan tetap sesuai syariat Islam.
"Kami akan mengizinkan perempuan untuk bekerja dan mengenyam pendidikan. Tentu saja, kami memiliki kerangka kerja sendiri. perempuan akan memiliki peran yang sangat aktif di tengah masyarakat, tetapi tetap dalam kerangka Islami," ungkap Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid seperti dikutip dari Al Jazeera.
Zabihullah Mujahid mengatakan, tak akan ada lagi diskriminasi terhadap perempuan dan mereka akan bekerja sama membangun Afghanistan. “Akan ada perbedaan dalam tindakan-tindakan yang kami lakukan jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT

Perempuan Afghanistan meminta pertolongan

Para perempuan Afghanistan pun menyuarakan pemikiran mereka di media sosial untuk meminta pertolongan. "Saat kota-kota runtuh, banyak yang terbunuh, mimpi hancur, sejarah dan masa depan hancur, kesenian dan budaya hancur, kehidupan dan keindahan hancur, dunia kami hancur... Seseorang harus menghentikan ini," tulis salah satu pengguna Twitter asal Afghanistan, Rada Akbar.
Anggota parlemen Afghanistan, Farzana Kochai, pun turut menyuarakan isi hati dan kekhawatirannya. Dalam sebuah video, Farzana mengatakan saat ini dirinya tengah mengurangi aktivitas dan tetap berada di rumah.
"Sebagai anggota parlemen, sebagai perempuan, masyarakat sipil yang punya latar belakang aktivis, pejuang hak asasi manusia, hak-hak perempuan, saya takut akan keselamatan diri saya, kehidupan saya, kebebasan saya untuk bekerja dan bersuara," ungkap Farzana Kochai seperti dikutip dari Reuters.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, saat ini ada dua kemungkinan yang akan dihadapi perempuan Afghanistan. Pertama, mereka bisa belajar dan bekerja namun dengan pembatasan seperti yang dikatakan oleh pihak Taliban. Mereka juga mengatakan bahwa perempuan harus memakai penutup kepala tapi tidak perlu pakai cadar.
Skenario kedua, ada kemungkinan perempuan tidak akan dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosial. Tak diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa didampingi laki-laki, tak boleh bekerja, dan tidak boleh sekolah.
Saat ini, Dewan Keamanan PBB tengah melakukan perundingan untuk membuat pemerintahan baru di Afghanistan. Ini dilakukan setelah Sekjen PBB Antonio Guterres mengingatkan bahwa akan ada banyak ancaman terkait hak asasi manusia dan pelanggaran meningkat terhadap perempuan dan anak perempuan.