Lipsus Gaduh Pasal LGBT- Palu Sidang

Pasal KDRT terhadap Istri dalam UU Nomor 23 Tahun 2004

21 Mei 2024 17:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pasal KDRT terhadap Istri. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pasal KDRT terhadap Istri. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pasal KDRT terhadap istri sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini memuat berbagai aturan tentang tindak pidana KDRT, termasuk ketentuan hukuman, hingga sanksi bagi pelaku.
ADVERTISEMENT
Korban KDRT yang terjadi di Indonesia memang kebanyakan adalah perempuan, khususnya kekerasan yang dilakukan oleh pihak suami terhadap istri. Tindakan tersebut digolongkan sebagai perbuatan pidana karena terdapat perilaku yang dilarang dan bersifat hukum.
Artikel ini akan mengungkap pasal dalam undang-undang tentang KDRT terhadap istri yang dilakukan suami, lengkap dengan ketentuan sanksi pidana yang akan diterima oleh pelaku.

Pasal KDRT terhadap Istri

Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
Menurut data Kementerian PPPA dalam laman kekerasan.kemenpppa.go.id, data kasus KDRT yang diinput pada tanggal 1 Januari 2024 hingga saat ini menunjukkan jumlah kasus KDRT terhadap istri lebih banyak dari jumlah kasus KDRT terhadap suami.
Dari total 7.721 kasus kekerasan, korban perempuan mencapai 6.758. Artinya, dari data tersebut kasus KDRT terhadap istri yang terjadi di Indonesia hampir mencapai 80% dibanding kasus KDRT terhadap suami.
ADVERTISEMENT
Peluang terjadinya kasus KDRT terhadap istri yang ada di masyarakat disebabkan paham patriarki yang mengandung ketimpangan relasi gender antar laki-laki dan perempuan. Hal tersebut juga ditambah dengan kesalahpahaman bahwa istri harus tunduk dan patuh melayani suami dalam rumah tangga setiap saat.
Dari kesalahan tafsir tersebut, pihak suami seolah-olah mempunyai hak untuk melakukan tindak kekerasan terhadap istri, baik dalam fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran. Atas dasar itu, negara mengesahkan UU nomor 23 tahun 2004 yang secara tegas mengatur sanksi bagi pelaku.
Pengesahan UU Penghapusan KDRT juga bertujuan untuk melindungi pihak-pihak yang rentan terhadap kekerasan, seperti perempuan dan anak-anak. Secara khusus, pasal KDRT terhadap istri tertuang dalam UU nomor 23 tahun 2004 pada pasal 44 sampai 53. Berikut rinciannya.
ADVERTISEMENT

1. Sanksi Kekerasan Fisik terhadap Istri

Ilustrasi KDRT. Foto: charnsitr/Shutterstock
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, hingga luka berat. Suami yang terbukti melakukan KDRT fisik terhadap istri akan mendapat sanksi pidana yang tertuang dalam pasal 44 ayat 1 sampai dengan ayat 4. Berikut ketentuan dari pasal tersebut.
Pasal 44 ayat 1
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”
Pasal 44 ayat 2
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).”
ADVERTISEMENT
Pasal 44 ayat 3
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).”
Pasal 44 ayat 4
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)”

2. Sanksi Kekerasan Psikis terhadap Istri

Ilustrasi KDRT. Foto: TORWAISTUDIO/Shutterstock
Kekerasan psikis adalah bentuk kekerasan yang mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan berat pada istri.
ADVERTISEMENT
Adapun sanksi kekerasan psikis terhadap istri yang dilakukan suami diatur dalam pasal 45 ayat 1 dan 2, yang menyatakan:
Pasal 45 ayat 1
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).”
Pasal 45 ayat 2
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)”
ADVERTISEMENT

3. Sanksi Kekerasan Seksual terhadap Istri

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kekerasan seksual adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri dalam lingkup rumah dan pemaksaan hubungan seksual terhadap istri dengan orang lain yang mengandung tujuan tertentu, seperti komersil. Sanksi kekerasan seksual tersebut diatur dalam pasal 46 sampai 48.
Pasal 46
"Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)."
Pasal 47
"Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)."
ADVERTISEMENT
Pasal 48
"Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."

4. Sanksi Penelantaran Istri oleh Suami

Ilustrasi KDRT. Foto: Opat Suvi/Shutterstock
Dikutip dari buku Penyelesaian Perkara Tindakan Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Melalui Mekanisme Mediasi Penal oleh I Made Agus Mahendra Iswara dan Arya Agung Iswara, penelantaran yang dimaksud dalam UU PKDRT yaitu kekerasan yang bersifat multi-dimensi, baik secara fisik, seksual, emosional, dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Contoh penelantaran fisik, yaitu tidak memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, pengobatan, juga meninggalkan anak sendirian di rumah. Contoh lainnya, membiarkan anak dan istri terlantar tanpa uang dan mempertahankan sikap tidak acuh untuk tidak berusaha mencari nafkah.
Dari tindakan tersebut pelaku mendapat sanksi pidana yang diatur dalam pasal 49, yakni, “Dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”

5. Sanksi Tambahan

Ilustrasi KDRT. Foto: otnaydur/Shutterstock
Selain sanksi pidana yang dimaksud di atas, hakim yang menangani kasus KDRT terhadap istri dapat menjatuhkan hukuman berupa pidana tambahan yang diatur dalam pasal 50 (a) dan (b), berupa:
Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku.
ADVERTISEMENT
Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

6. Penjelasan Pasal 51 sampai 53 UU PKDRT

Ilustrasi KDRT. Foto: Africa Studio/Shutterstock
Dalam pasal 51 sampai 52 pada UU Penghapusan KDRT, semua bentuk kekerasan di atas digolongkan dalam kategori delik aduan. Pada dasarnya, suatu perkara pidana, pelaporan perkara tergantung dari jenis deliknya.
Menurut informasi dari buku Penyelesaian Perkara Tindakan Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Melalui Mekanisme Mediasi Penal, delik aduan adalah delik yang hanya bisa diproses apabila pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban KDRT.
Selain itu, penuntutan dalam delik tersebut tergantung pada persetujuan korban. Jadi, korban KDRT dapat mencabut laporannya kepada pihak berwenang apabila di antara yang bersangkutan telah terjadi perdamaian.
Apabila mengalami atau melihat tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), segera hubungi hotline pengaduan kekerasan pada perempuan dan anak di nomor 129 (telepon) atau 081111129129 (WhatsApp).
ADVERTISEMENT
(IPT)
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten