Poligami di Kerajaan Thailand, Ada Raja yang Punya 32 Istri dan Selir

31 Maret 2020 22:15 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn (kiri) bersama Jenderal Sineenat Wongvajirapakdi. Foto: Royal Household Bureau/Handout via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn (kiri) bersama Jenderal Sineenat Wongvajirapakdi. Foto: Royal Household Bureau/Handout via REUTERS
ADVERTISEMENT
Belum lama ini, Raja Thailand Vajiralongkorn tengah menjadi kontroversi lantaran dianggap memberikan contoh yang tidak baik pada rakyatnya. Di tengah isu wabah Corona yang melanda hampir di seluruh dunia, Raja 67 tahun ini dilaporkan mengisolasi diri di Grand Hotel Sonnenbichl, sebuah hotel mewah berbintang empat di Jerman, bersama selir-selirnya. Tak tanggung-tanggung, ada 20 orang selir yang dikabarkan ikut dalam rombongan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejak Februari lalu, Raja Vajiralongkorn sudah tak pernah tampil di hadapan publik. Ia diketahui banyak menghabiskan waktu di luar negeri, khususnya Jerman yang merupakan rumah keduanya. Namun, bukan itu yang menarik perhatian publik, melainkan selir-selir raja yang mencapai 20 orang.
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn (kiri) bersama Jenderal Sineenat Wongvajirapakdi. Foto: REUTERS
Kisah tentang para selir Raja Thailand ini memang menarik perhatian tersendiri karena Raja Vajiralongkorn memang dikenal memiliki banyak selir. Sebelumnya, kehidupan rumah tangganya berantakan dengan tiga pernikahan yang berakhir perceraian. Sampai akhirnya ia menikahi mantan pramugari yang sekarang menjadi Ratunya, Suthida Vajiralongkorn Na Ayudya.
Pada Oktober 2019 lalu, salah satu selir Raja Vajiralongkorn yang bernama Sineenat Wongvajirapakdi dicabut seluruh gelar dan pangkat selirnya lantaran dianggap tidak patuh terhadap peraturan kerajaan dan berusaha menggulingkan Ratu Suthida dari posisinya. Padahal, sang Raja sampai memberikan gelar ‘Chao Kun Phra’ atau Permaisuri Mulia kepada Sineenat dan membuatnya sebagai perempuan pertama yang bergelar Permaisuri Mulia setelah hampir seabad.
ADVERTISEMENT
Usut punya usut, ternyata di Thailand adalah hal legal untuk memiliki banyak istri alias melakukan poligami. Hukum ini telah diatur selama 400 tahun lamanya dalam masa periode Ayuthaya dan akhirnya disahkan pada tahun 1804 oleh Raja Rama I. Hukum yang disebut dengan Kodmai Laksana Pua Mia mengesahkan adanya poligami dengan tiga istri yang terbagi ke dalam tiga kategori.
Raja Maha Vajiralongkorn yang baru dinobatkan terlihat selama prosesi penobatannya, di Bangkok, Thailand. Foto: REUTERS / Soe Zeya Tun
Istri pertama desebut dengan mia luang. Adalah perempuan yang dinikahkan atas seizin orang tua pihak perempuan dengan pengertian bahwa ia akan menjadi istri utama. Karena tidak ada larangan untuk berpoligami maka istri pertama mengetahui bahwa nantinya sang suami dapat memiliki lebih dari satu istri.
Istri yang kedua disebut dengan mia noi. Ia dinikahi dengan diberi pemahaman akan menjadi istri kedua yang hak-haknya akan dipenuhi ketika suami telah memenuhi hak-hak istri pertama.
ADVERTISEMENT
Sedangkan istri yang ketiga disebut dengan thasa phalay alias istri 'budak' (perbudakan merupakan hal legal di Thailand) yang diperlakukan selayaknya istri dan budak. Jika nantinya istri ketiga bisa melahirkan seorang anak atau ketika sang suami meninggal dunia, statusnya akan naik pangkat.
Tujuan dari pengkategorian istri yang terbagi kedalam tiga tingkatan ini adalah untu menentukan pembagian harta warisan ketika suami meninggal. Selain itu, ketika istri-istri ini ketahuan berzinah dengan lelaki lain, maka ia harus membayar denda sejumlah uang kepada sang suami, tergantung dari tingkatan status istrinya.
Raja Mongkut Rama IV. dok. Wikimedia Commons.
Salah satu Raja Thailand yang diketahui melakukan poligami adalah Raja Mongkut Rama IV. Raja yang memimpin pada 1851 hingga 1868 memiliki setidaknya 32 istri dan selir, serta 82 orang anak.
ADVERTISEMENT
Selain istri pertama raja, istri-istri dan selir lainnya disebut dengan permaisuri. Menurut Profesor Sejarah dan Studi Kawasan Asia dari Cornell University Amerika Serikat, Tamara Loos, Ph.D., dalam monarki Thailand, ratu dan para permaisuri lainnya ternyata memiliki peran politik.
"Jika kita kembali sekitar seratus tahun silam, poligami memiliki fungsi politik. Ini bukan tentang seks atau kebobrokan moral, tetapi poligami benar-benar untuk fungsi politik," jelas Tamara seperti dilansir dari Rolling Stone.
Jenderal Sineenat Wongvajirapakdi. Foto: Royal Household Bureau/Handout via REUTERS
Mengingat wilayah Asia Tenggara yang begitu luas, memungkinkan seorang raja memiliki banyak pasangan yang berfungsi sebagai cara untuk mengintegrasikan berbagai pemukiman ke dalam sebuah kerajaan.
Tamara melanjutkan, terakhir kali ada permaisuri untuk melayani tujuang politik adalah pada pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20 saat masa pemerintahan Raja Rama V. Dikabarkan, ia memiliki lebih dari 150 selir.
ADVERTISEMENT
Tetapi secara teknis, raja terakhir yang masih melakukan poligami adalah Raja Rama VI. Kabarnya, ia adalah seorang penyuka sesama jenis yang terpaksa menikahi istri kedua menjelang akhir pemerintahan dengan tujuan memiliki seorang putra untuk menjadi ahli warisnya.
King Vajiravudh (Rama VI). dok. Wikimedia Commons.
Kemudian di awal abad ke-20, ada seruan untuk menghapuskan poligami dengan monogami. Perdebatan ini berlangsung selama beberapa dekade. Raja Vajiravudh (Rama VI) yang menjabat sejak 1910-1925, telah menulis catatan panjang tentang hal ini pada 1913.
Namun, masalah utama yang diperdebatkan adalah status anak laki-laki dari istri-istri yang berbeda. Karena ada usulan bahwa anak laki-laki dari ketiga kategori istri harus mengakui istri pertama sebagai ibu mereka. Rupanya, ia terinspirasi dari kerajaan di Eropa yang lazim untuk memiliki istri simpanan selain istri sah, tapi istri-istri tersebut tidak boleh memiliki anak.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, perdebatan ini berakhir dengan disahkannya Undang-Undang Sipil (Civil and Commercial Code) pada tahun 1935 dan masih berlaku sampai sekarang. Di bawah undang-undang baru, poligami digantikan dengan monogami.
Pasangan yang telah hidup bersama karena telah melakukan upacara keagamaan Budha dapat disahkan sebagai suami istri. Dan mulai 1935 pula, hanya pasangan yang terdaftar secara hukum, dalam artian yang telah menanda tangani dokumen pernikahan, bisa diakui sebagai suami-istri.
Ratu Thailand, Suthida Tidjai bersama Raja Thailand Maha Vajiralongkorn. Foto: REUTERS/Athit Perawognmetha
Namun ternyata, undang-undang yang dihadirkan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Nyatanya hingga saat ini, masih banyak pria yang melanjutkan poligami. Dalam situs Stickman Bangkok, diperkirakan ada lebih dari 20 persen perempuan Thailand yang menjadi mia noi namun dengan pergeseran makna.
Jika dulu mia noi adalah istri kedua, maka mia noi saat ini adalah mendeskripsikan seorang perempuan yang menjalin hubungan baik secara emosional dan seksual dengan pria yang sudah menikah. Namun yang jelas, mia noi bukanlah perempuan bayaran atau pekerja seks komersial. Bila nantinya mia noi melahirkan anak sang pria, anak tersebut bisa disahkan secara hukum agar bisa mendapatkan warisan, meski ia tidak terikat pernikahan.
ADVERTISEMENT