Q&A: Kenapa Banyak Orang yang Terjebak dalam Toxic Relationship?

9 Mei 2020 20:19 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi toxic relationship Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi toxic relationship Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Saat ini, kita makin sering mendengar istilah toxic relationship. Melihat apa yang terjadi kepada diri sendiri ataupun orang lain, kita semakin menyadari bahwa ada banyak hubungan asmara yang sebenarnya tidak membuat bahagia, namun tetap dipertahankan karena berbagai alasan. Tak jarang, ini terjadi karena apa yang ada di antara pasangan adalah toxic relationship--hubungan yang lebih banyak membuat seseorang menderita daripada berbahagia.
ADVERTISEMENT
Tentu, ada banyak hal yang bisa menyebabkan seseorang terjebak dalam hubungan tersebut. Namun, pertanyaan besarnya adalah, kenapa banyak orang yang bertahan dalam waktu yang lama dalam toxic relationship dan tak bisa keluar dari jeratnya? Kenapa mereka tidak memilih untuk keluar dan mencari hubungan yang lebih berbahagia?
Tara de Thouars, psikolog klinis dewasa yang bekerja di RSJ Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta, menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang bisa menyebabkan masalah ini. Di antaranya, karena keberadaan siklus toxic relationship yang memang bisa menjerat pasangan, juga rasa takut yang dimiliki korban untuk keluar dari hubungan.
Ilustrasi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
“Ada banyak hal yang kita takutkan. Ini membuat kita stay di dalam relasi itu, padahal kita enggak nyaman,” ungkap Tara dalam sesi kumparan Virtual Talk pada Kamis (7/5) lalu.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu dapat berbahaya, baik bagi kesehatan mental maupun jiwa seseorang. Agar bisa terhindar dari masalah tersebut, tak ada salahnya bagi kita untuk mengetahui lebih dalam mengenai penyebab seseorang terjebak dalam toxic relationship. Khususnya, dalam konteks hubungan asmara. Selengkapnya, berikut penjelasan dari Tara de Thouars.

Q: Kenapa banyak orang yang terjebak dalam toxic relationship?

"Dalam relasi pasangan, apalagi suami istri, banyak orang yang terjebak dan susah keluar dari toxic relationship, karena memang ada siklusnya. Siklus ini dimulai dari pertengkaran. Pertengkaran itu nantinya memuncak menjadi kekerasan dan akan ada, entah pukulan ataupun kekerasan psikis.
Setelah itu, nantinya akan ada fase maaf-memaafkan. Pelaku akan bilang, ‘Maaf, ya, aku seperti itu soalnya aku kelepasan’. Dan biasanya, pelaku cenderung akan blaming atau menyalahkan korban. ‘Soalnya kamu, sih, ngomongnya gitu. Kamu enggak dengerin aku. Jadi, ada sisi blaming-nya.
Ilustrasi pasangan bertengkar. Foto: Shutter Stock
Nah, ketika sisi blaming ini terjadi, otomatis korban jadi akan menyalahkan diri. ‘Iya, bener juga, ya. Mungkin ini memang salahku. Harusnya, kalau aku nggak ngomong begini mungkin dia enggak akan marah’. Sehingga, jadi menyalahkan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Sesudah ini terjadi, pasangan akan masuk ke fase honeymoon atau fase berbaik-baikan. Ibaratnya, dalam fase ini, seolah tidak ada apa-apa lagi. Ibaratnya, sudah diselesaikan dan sudah senang-senang lagi.
Tapi, nanti mereka akan kembali lagi pada siklus konflik. Dan, biasanya, seiring berjalannya waktu, siklusnya akan bergulir semakin cepat. Yang tadinya kekerasan ini terjadi hanya sebulan sekali, akan jadi lebih cepat. Misal, setiap hari."

Q: Kenapa mereka yang jadi korban tidak bisa keluar dari hubungan tersebut?

"Karena, mereka terlalu banyak takut. Ada perasaan takut yang sangat besar. Misal, bagi perempuan, dia akan mengkhawatirkan bagaimana jadinya kalau berpisah dengan pasangannya, seperti apa jika nanti menjanda, bagaimana kondisi ekonomi setelah ini, seperti apa pandangan orang lain, seperti apa jadinya anak-anak nanti. Jadi, ada banyak hal yang membuat takut.
Ilustrasi perempuan tak bahagia dalam hubungan. Foto: Shutterstock
Kalau dalam pertemanan, seseorang akan khawatir jadi tidak punya teman. Kita juga mungkin khawatir bahwa teman itu akan mengatakan kepada orang lain, bahwa kita bukanlah teman yang baik. Jadi, ada banyak hal yang kita takutkan. Ini membuat kita stay di relasi itu, padahal kita enggak nyaman.
ADVERTISEMENT
Terkadang, kita akan mengatakan ‘ya, udahlah’, seperti mau menormalkan situasi. Padahal, kita tahu tahu ada sesuatu yang salah, enggak nyaman, membuat kesal, juga kecewa. Tapi, semua perasaan negatif itu kan enggak enak. Sedangkan, kita tidak punya pilihan. Jadi, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah dengan menormalkan. Ibarat tadinya (emosi) sudah tinggi, kita normalin lagi, deh.
Biasanya, cara menormalkan kondisi adalah dengan menaruh harapan. Misal, dengan berpikir bahwa mungkin, pasangan akan berubah. Kalau nanti saya sudah punya anak, dia akan jadi lebih dewasa dan tidak melakukan itu lagi. Kita beranggapan dia pasti berubah, kita menaruh harapan. Sedangkan, harapan itu bisa terjadi, bisa tidak. Karena, ada beberapa pelaku kekerasan yang sebenarnya sudah bisa kelihatan, apakah dia akan ada perubahan atau tidak. Kalau pelaku itu memang punya isu psikologis dengan dirinya sendiri. seperti apa pun kita berusaha, enggak akan ada perubahan. Karena, problemnya bukan ada di kita, tapi di mereka. Tapi, cara mereka untuk mengendalikan kita adalah dengan menyalahkan kita dan kita percaya bahwa kita salah."
ADVERTISEMENT

Q: Apakah pelaku akan mengincar orang dengan sifat tertentu?

Ilustrasi pasangan bertengkar. Foto: Shutterstock
"Pelaku akan mencari orang yang bersinergi dengan dia. Kalau dia bertemu dengan orang yang saat dikekang melawan, tentu tidak terjadi toxic relationship, karena antara pelaku dan korban tidak bersinergi. Makanya, biasanya, orang yang berada dalam toxic relationship cenderung mengulangi hal yang sama di hubungan berikutnya. Mereka akan mencari orang yang tidak jauh berbeda. Biasanya, ini karena kita dan pelaku punya ciri atau kepribadian tertentu, yang secara tidak langsung memenuhi kebutuhan satu sama lain. Misal, pelaku butuh untuk dituruti. Otomatis, dia akan cari pasangan yang nurut. Sedangkan, orang yang nurut itu membutuhkan orang yang mungkin dominan. Jadi, akan terus seperti itu."
ADVERTISEMENT

Q: Apa yang harus dilakukan supaya tidak terjebak dalam toxic relationship?

"Supaya enggak terjebak, kita harus menyadari ketika kita sudah punya perasaan tidak nyaman, takut, dan tidak aman, itu adalah tanda pertama yang menjadi peringatan. Dari situ, sudah harus ambil langkah, sebelum kita masuk lebih dalam lagi ke hubungan. Jadi, kalau ada perasaan seperti itu, jangan di-deny. Semakin kita sangkal, semakin kita terjebak.
Kemudian, kalau sudah terjebak, jangan pernah takut untuk membuat keputusan. Meski keputusan itu besar (dampaknya), kalau itu dirasa yang terbaik, lakukan, apa pun konsekuensinya. Mungkin, kamu merasa takut dengan konsekuensinya, tapi kita enggak pernah tahu apa yang akan terjadi, sebelum kamu keluar dari situ.
Ilustrasi pasangan bertengkar. Foto: Shutterstock
Terakhir, menurut saya, setiap orang itu berharga dan kita layak untuk diperlakukan secara berharga oleh orang lain. Jadi, kalau kita merasa orang itu tidak menghargai kita, keluar, pergi (dari hubungan tersebut). Kenapa? Karena ada banyak orang di dunia ini dan semua orang pasti butuh orang lain. Jangan takut merasa sendirian, kehilangan, atau tidak diinginkan. Sebab, kita berharga. Kita pantas diperlakukan dengan lebih berharga oleh orang lain. Saya yakin, akan ada orang lain yang bisa melihat harga kita. Kalau orang yang sekarang tidak bisa melihat itu, ya, buat apa dilanjutkan? Mending cari yang lain, yang bisa memperlakukan kita dengan berharga juga.
ADVERTISEMENT
Biasanya, kita terjebak (dalam toxic relationship) karena belum merasa worth it. Tapi, setiap orang berharga dan cari tahu harga kita sendiri. Kemudian, yakini bahwa kita pantas untuk diperlakukan secara berharga."
Nah Ladies, Anda bisa menyaksikan tips lainnya seputar toxic relationship lewat tayangan di bawah ini.
-----
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
*****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.