RKUHP Disahkan Jadi UU, Ini Pasal-pasal yang Disebut Berbahaya buat Perempuan

7 Desember 2022 19:52 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi rapat paripurna DPR. Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rapat paripurna DPR. Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
ADVERTISEMENT
Ladies, tahukah kamu bahwa RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru saja disahkan pada Selasa (6/12) kemarin? Ya, UU yang dianggap bermasalah ini tetap disahkan oleh DPR RI, meskipun banyak pihak yang menentang pengesahannya.
ADVERTISEMENT
Aturan ini memiliki tebal 238 halaman dengan 37 bab, dan terdiri dari 624 pasal. Sejak 2019 lalu hingga sekarang, banyak pasal dalam UU ini dipandang kontroversial.
Bahkan, dalam Pernyataan Sikap Komnas Perempuan, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Komnas Perempuan, dan Panduan RKUHP oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, ada sejumlah pasal yang berpotensi berbahaya bagi kelompok rentan, termasuk perempuan.
Lantas, apa saja pasal yang dianggap berbahaya bagi perempuan? Berikut penjelasan yang sudah kumparanWOMAN rangkum dari sumber-sumber di atas, Ladies.
Jenis-jenis alat kontrasepsi. Foto: Shutter Stock

1. Pasal kontrasepsi

Salah satu pasal yang banyak diperbincangkan dalam KUHP adalah pasal soal alat pencegahan kehamilan atau kontrasepsi. Aturan dalam Pasal 408 berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
ADVERTISEMENT
Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa orang yang menunjukkan alat kontrasepsi kepada anak-anak bisa dijerat pidana denda. Kemudian, pasal 410 menjelaskan ada beberapa pihak yang diperbolehkan menunjukkan alat kontrasepsi kepada anak, yaitu petugas yang berwenang.
Menurut Komnas Perempuan dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM), ini bertentangan dengan banyak perundang-undangan terkait penanggulangan HIV.
“Anak harus diberikan pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif, termasuk di dalamnya pencegahan kehamilan, agar tidak terjadi kehamilan yang tidak direncanakan sesuai dengan program BKKBN yaitu Generasi Berencana (GENRE),” kata Komnas Perempuan dalam argumentasinya di DIM.
Kemudian, pasal ini kemungkinan menyulitkan pihak terdekat dengan anak seperti orang tua, dalam memberikan edukasi kesehatan reproduksi kepada anak secara komprehensif. Sebab, mereka tidak dianggap sebagai petugas yang berwenang.
Ilustrasi pasangan. Foto: Stockbusters/Shutterstock

2. Pasal soal kohabitasi

Kohabitasi atau perempuan dan laki-laki tinggal serumah tanpa hubungan suami istri diatur dalam pasal 412.
ADVERTISEMENT
Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Aturan ini merupakan delik aduan, Ladies. Jadi, penuntutan hanya bisa dilakukan jika pihak yang merasa dirugikan melakukan pengaduan. Dalam hal ini, yang bisa melakukan pengaduan hanyalah suami atau istri bagi orang yang terikat dalam perkawinan, atau orang tua atau anak bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Pasal ini juga dianggap bermasalah oleh banyak orang, Ladies. Banyak yang berpendapat bahwa pasal ini terlalu mengurus ranah privat masyarakat. Kemudian, menurut Komnas Perempuan, pasal ini juga berpotensi menyebabkan kriminalisasi berlebih (over-criminalization) pada warga. Menurut Heritage, istilah ini bermakna penggunaan aturan pidana yang terlalu berlebihan, sehingga hampir semua hal harus dihukum.
ADVERTISEMENT
Dalam DIM, Komnas Perempuan menyarankan penghapusan aturan ini untuk atas dua alasan, yakni melindungi warga negara yang tidak memilih institusi perkawinan, dan menghindari overkriminalisasi.
Ilustrasi perempuan pembela HAM jadi objek kekerasan siber berbasis gender. Foto: alphaspirit.it/Shutterstock

3. Pasal yang berpotensi mendiskriminasi perempuan

Sejumlah pasal dianggap berpotensi mendiskriminasi perempuan. Pertama, living law atau hukum hidup dalam masyarakat di Pasal 2 berbunyi:
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
Menurut Komnas Perempuan dalam DIM, pasal ini berpotensi memperburuk diskriminasi yang ada di dalam aturan-aturan daerah setempat. Akibatnya, kelompok rentan termasuk perempuan terancam dikriminalisasi. Hingga tahun 2016, Komnas Perempuan menemukan setidaknya ada 421 kebijakan yang diskriminatif.
ADVERTISEMENT
“Sebagai contoh, muatan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 menyebabkan seorang perempuan pekerja yang sedang menunggu angkutan umum di malam hari ditangkap dan didakwa sebagai pelacur karena membawa alat kosmetik di dalam tasnya,” ungkap Komnas Perempuan.
Pasal yang dimaksud dalam Perda Kota Tangerang itu berbunyi, “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.”
Ilustrasi depresi. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Tak cuma itu, dalam Pernyataan Sikap Komnas Perempuan yang dirilis pada 29 November 2022, disebutkan bahwa Pasal 430 dan 460 berpotensi melakukan over-kriminalisasi terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
Pasal 430
Seorang ibu yang membuang atau meninggalkan anaknya tidak lama setelah dilahirkan karena takut kelahiran anak tersebut diketahui oleh orang lain, dengan maksud agar anak tersebut ditemukan orang lain atau dengan maksud melepas tanggung jawabnya atas anak yang dilahirkan, dipidana 1/2 (satu per dua) dari pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 429 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 460
Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, karena takut kelahiran anak tersebut diketahui orang lain, dipidana karena pembunuhan anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Kedua pasal ini tampak memberatkan seluruh hukuman hanya kepada perempuan, sedangkan laki-laki yang melakukan penelantaran sama sekali tidak disebutkan. Oleh karenanya, Komnas Perempuan menyarankan agar pasal tersebut dihapuskan dari RKUHP.
ADVERTISEMENT
“[Pasal tersebut] menempatkan ibu sebagai subjek pemberat hukuman pada tindak penelantaran anak dan pembunuhan bayi, dengan mengabaikan penelantaran oleh pihak laki-laki yang menyebabkan pihak perempuan tersebut takut bahwa kelahiran anak tersebut diketahui orang lain,” tulis Komnas Perempuan.
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Doidam 10/Shutterstock

4. Pasal yang berpotensi diskriminatif pada korban

Komnas Perempuan juga menyorot salah satu pasal yang dianggap berpotensi diskriminatif pada korban. Dalam Pasal 70 huruf (h), dijelaskan bahwa pelaku tindak pidana bisa tidak dijatuhi hukuman dalam situasi-situasi tertentu.
Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan:
(h) Korban Tindak Pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya Tindak Pidana tersebut.
Bisa diartikan, pelaku kemungkinan tidak akan dijatuhi hukuman penjara jika korban dianggap mendorong atau menyebabkan terjadinya tindak pidana. Menurut Komnas Perempuan, aturan ini berpotensi menyalahkan korban yang sebenarnya tidak bersalah.
ADVERTISEMENT
“Ketentuan ini dikhawatirkan akan memperkuat stigma adanya kontribusi korban dalam terjadinya tindak pidana, terutama dalam tindak pidana perkosaan, pencabulan, TPPO atau KDRT,” ungkap Komnas Perempuan.
Ilustrasi kekerasan seksual kepada wanita berhijab. Foto: Shutterstock

5. Pasal yang berpotensi diskriminatif pada penyandang disabilitas

Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP dalam panduannya, pasal 38 dianggap berpotensi diskriminatif terhadap pelaku pidana yang juga merupakan penyandang disabilitas mental. Pasal tersebut berbunyi:
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.
Pasal ini menjelaskan bahwa pelaku pidana yang menderita gangguan mental juga bisa dikenai hukuman atas perbuatannya. Aliansi Nasional Reformasi KUHP berargumen bahwa tak jarang, para penderita disabilitas mental tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya karena kondisi disabilitasnya.
ADVERTISEMENT
“Tidak ada ketentuan penghapusan pidana untuk pelaku disabilitas mental, hanya ada pengurangan pidana. Padahal pelaku pidana disabilitas mental sering kali tidak melakukan perbuatannya dalam keadaan sadar sehingga tidak dapat bertanggung jawab untuk perbuatannya,” tulis Aliansi Nasional Reformasi KUHP dalam argumennya.
Ladies, perlu diketahui bahwa meskipun RKUHP sudah disahkan menjadi UU pada 6 Desember, aturan ini baru akan berlaku pada 2025. Sebab, ada masa transisi selama tiga tahun yang berlaku.