(NOT COVER) Role Model, Najwa Shihab (REVISI WM)

Role Model: Langkah Besar Najwa Shihab

26 Juli 2019 13:46 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Najwa Shihab untuk program Role Model kumparanWOMAN. Foto: Raja Siregar, Stylist: Ivan T. Santoso, Makeup: Linda Kusumadewi, Hairdo: Evi Evrian, Busana: Sportmax.
zoom-in-whitePerbesar
Najwa Shihab untuk program Role Model kumparanWOMAN. Foto: Raja Siregar, Stylist: Ivan T. Santoso, Makeup: Linda Kusumadewi, Hairdo: Evi Evrian, Busana: Sportmax.
Sorotan mata yang tajam dan penuh selidik sepertinya memang sudah menjadi khas seorang Najwa Shihab, baik ketika ia berada di meja wawancara bersama narasumber, maupun dalam suasana obrolan yang lebih santai. Tak salah memang jika ia memilih nama program Mata Najwa, sebuah acara bincang-bincang politik yang dinanti setiap minggu oleh pemirsa televisi sejak tahun 2009.
Tak salah pula jika ia sangat fokus merawat mata indahnya tersebut. “Mata Najwa kan, jadi ini (mata) aset saya yang harus dijaga. Susahnya sebagai orang Arab, saya memiliki kecenderungan mata yang cekung. Jadi misalnya saya kurang tidur sedikit saja, langsung kelihatan menggelap," ujarnya sambil tertawa. Selain merawat area seputar mata dengan memakai krim mata secara teratur, melakukan threading alis dan memilih jasa lash extension agar lebih praktis, Najwa mengungkapkan bahwa sebenarnya ia bukanlah tipe perempuan yang begitu mengikuti tren kecantikan dan fashion. Jadi rutinitas kecantikannya sangatlah simpel.
Kami bertemu Najwa Shihab di studio foto saat melakukan pemotretan untuk program Role Model kumparanWOMAN beberapa waktu lalu. Memiliki total followers media sosial sekitar 9 juta (5,7 juta hanya di Instagram saja), Najwa Shihab memang telah menjadi role model, idola bagi banyak orang Indonesia, terutama perempuan.
Setelah membangun karier selama 17 tahun di salah satu stasiun TV terbesar di Indonesia, tahun lalu Najwa mengambil sebuah langkah besar dengan mendirikan sendiri sebuah perusahaan TV baru dan platform baru, Narasi TV.
“Saya merasa saya sampai di satu titik, di mana saya merasa harus berani keluar dari zona nyaman, harus berani melakukan sesuatu. Karena kalau kita diam di tempat, kita yang akan tergulung oleh zaman sih. Jadi saya merasa this is the time, just do it,” ia mengungkapkan alasannya untuk berani keluar dari perusahaan besar dan mendirikan sebuah platform sendiri.
Najwa Shihab untuk program Role Model kumparanWOMAN. Foto: Raja Siregar, Stylist: Ivan T. Santoso, Makeup: Linda Kusumadewi, Hairdo: Evi Evrian, Busana: Sportmax.
Baru-baru ini, nama Najwa Shihab masuk di urutan kedua dalam daftar Perempuan Paling Dikagumi di Indonesia versi YouGov, sebuah perusahaan data dan opini publik global asal Inggris. Nama Najwa Shihab masuk bersama dengan nama Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti yang duduk di posisi pertama. Setelah Najwa, di urutan ketiga ada nama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. "Senang dan tersanjung. Terutama karena berada di jajaran perempuan-perempuan hebat di bidangnya masing-masing. Sosok-sosok super yang saya kagumi dan jadi panutan, Bu Susi Pudjiastuti dan Bu Sri Mulyani Indrawati. Syukur Alhamdulillah kalau karya dan kiprah selama ini dinilai bisa menginspirasi dan berpengaruh," ujar Najwa menanggapi hasil survei tersebut.
Sejak ia berani ‘melangkah’ sendiri, tampaknya perjalanan Najwa Shihab memang semakin cepat, semakin tinggi, dan semakin luas. Ia tidak lagi dikenal sebagai ‘Mba Metro’ (panggilan yang ia dapat saat meliput Tsunami Aceh 2004) atau seorang presenter Metro TV saja. Najwa sekarang dapat ditemui melalui berbagai platform; Instagram, Youtube, Facebook dan berbagai acara offline. Ia tidak lagi terpaku di ruang studio, Najwa Shihab ada dimana-mana. Hari ini Najwa ada di Medan, besok mungkin ia di Melbourne, hari lain di studionya di Jakarta, dan keesokannya mungkin sudah sampai di Amsterdam.
Namun di tengah padatnya agenda, ibu satu anak yang akrab dipanggil Nana ini dengan senang hati meluangkan waktu berbincang dengan kumparanWOMAN, dan menjawab ragam pertanyaan kami. Mulai dari masa kecilnya sebagai anak seorang ulama ternama, perjalanan kariernya yang panjang, bagaimana ia menghadapi anak yang beranjak dewasa, hingga pandangan terhadap isu-isu penting yang dihadapi perempuan Indonesia saat ini.
Dunia televisi telah membesarkan nama Najwa Shihab, bagaimana akhirnya Najwa bisa memutuskan untuk meninggalkan media mainstream dan beralih mendirikan Narasi TV? Bagaimana proses mengambil keputusan tersebut?
Hal utama yang mendorong saya adalah karena adanya ketertarikan akan dunia digital. Teknologi benar-benar mengubah banyak aspek pada kehidupan kita, termasuk dari cara kita mengonsumsi apa yang ada di media. Ketika saya menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Metro TV, ketertarikan saya terhadap dunia digital memang sudah ada. Tapi kesempatan untuk benar-benar terjun dan ‘menggaruk rasa gatal’ itu belum bisa dilakukan, karena terlalu larut dalam kesibukan dan rutinitas sehari-hari. Saat itu, saya bertugas menggawangi semua acara news di Metro TV sekaligus saya sebagai owner Mata Najwa yang seminggu sekali harus tampil dan menjaga program Mata Najwa.
Tapi kemudian saya merasa saat itu tidak ada pilihan lagi untuk tidak berubah. Saya sudah berkarier selama 17 tahun di perusahaan yang sama. Metro TV adalah perusahaan pertama saya, dan saya meniti karier di sana sejak awal, bahkan sebelum saya lulus kuliah. Bisa dikatakan saya sudah mencoba semuanya, mulai dari reporter, kemudian asisten produser, produser, hingga jadi wakil pemimpin redaksi. Mulai dari reporter yang meliput hal-hal tidak menantang sampai kemudian punya program sendiri. Dari siaran tengah pagi buta hingga di jam prime time. Jadi saya sampai di satu titik bahwa saya merasa harus berani keluar dari zona nyaman dan harus berani melakukan sesuatu. Karena kalau kita diam di tempat, kita yang akan tergulung oleh zaman. Jadi saya merasa this is the time, just do it.
Najwa Shihab untuk program Role Model kumparanWOMAN. Foto: Raja Siregar, Stylist: Ivan T. Santoso, Makeup: Linda Kusumadewi, Hairdo: Evi Evrian, Busana: Valentino.
Bertransformasi dari pekerja ke entrepreneur untuk membangun nama sendiri, apa tantangannya? Sempat merasa ragu?
Selalu ada, terlebih lagi di awal-awal peralihan tersebut. Banyak rasa takut, ragu, second-guessing myself, ‘Am I doing the right thing?’
Apakah yang saya lakukan ini akan sepadan? Apakah saya akan membuang karier yang telah saya rintis selama 17 tahun? Apakah semuanya akan berujung dengan sia-sia? Saat itu saya menginvestasikan waktu dan pengalaman untuk sesuatu yang masih gambling sama sekali.
Berbagai kekhawatiran tersebut bertambah karena banyak teman-teman yang memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan sebelumnya dan ikut bersama saya untuk membangun Narasi dari awal. Saat itu saya sering berpikir ‘Aduh bisa tidak ya saya menggaji orang-orang nanti?’ Teman-teman yang memutuskan berjuang membuat Narasi adalah orang-orang yang juga sudah memiliki rekam jejak di TV dan kemudian gambling bersama saya untuk membesarkan Narasi.
Namun pada akhirnya saya dapat mengatasi semua ketakutan dan keraguan itu dengan support dari orang-orang di sekeliling saya. Walaupun mendirikan Narasi ini terlihat nekat, tapi bukan tanpa perhitungan sama sekali. Saya juga melihat landscape media yang berubah. Saat ini orang mengonsumsi media secara digital. Selain itu saya juga melihat peluang yang ada, saya merasa Narasi itu sesuatu yang bisa kita provide. Karena kita percaya di dunia digital, konten audio visual selalu dicari, kemudian akan kami kemas dengan bagus dan menarik.
Di Narasi kami punya mantra, 3K atau 3C (Content, Collaboration dan Community). Kami percaya konten yang bagus harus memiliki kolaborasi dengan banyak orang. Kita juga percaya untuk berdampak itu tidak hanya di dunia maya tapi juga harus berbuah aksi di dunia nyata.
Belasan tahun berkarier sebagai jurnalis, apa peristiwa paling menarik buat Najwa untuk diliput?
Setiap kali ditanya ini, jawaban saya selalu sama, yaitu liputan bencana Tsunami 2004. Pengalaman meliput bencana Tsunami mengubah banyak hal buat saya, bukan hanya saya sebagai seorang wartawan tapi juga saya sebagai manusia.
Bagi saya liputan bencana memang selalu menjadi hal yang paling berat. Beberapa kali negeri kita dilanda bencana dan saya yang sering ditugaskan untuk meliput. Jadi itu selalu menjadi pengalaman yang menantang bagi saya karena bukan sekadar melihat korban, tapi juga melihat bagaimana peristiwa itu terjadi. Selain mental juga dibutuhkan fisik yang tangguh, dan juga kekuatan untuk menata hati dalam memberikan laporan dengan empati tanpa kemudian bersifat intrusif kepada korban. Liputan bencana alam melatih saya untuk menjaga keseimbangan antara menjadi reporter tapi juga menjadi seorang manusia. Melaporkan apa yang penting tetapi juga tidak masuk terlalu jauh ke ranah privasi si korban. Itu merupakan masa-masa sensitif yang memang butuh pengalaman untuk melakukannya.
Penampilan Najwa Shihab saat pertama kali menjadi presenter berita. Foto: dok. @najwashihab/ Instagram
Meliput peristiwa besar seperti bencana alam tentu memberi pengaruh terhadap kondisi kejiwaan dan pikiran. Bagaimana Najwa menghadapinya?
Memang tidak mudah, saya bahkan sempat mengalami depresi setelah meliput Tsunami Aceh. Sepulang dari Aceh, saya sempat diskusi dengan psikolog, bahkan saya butuh waktu beberapa saat hingga pada akhirnya siap untuk siaran lagi di TV.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, wartawan itu mungkin juga bisa menjadi korban. Memang bukan korban langsung dari suatu bencana, tapi korban karena terpengaruh secara emosi saat meliput situasi. Saya ingat waktu meliput Tsunami Aceh, saya merasa sangat bersalah karena saat itu saya memang reporter utama yang memberitakan bencana secara intensif. Jadi melihat langsung tempat yang kondisinya sangat porak poranda. Dan karena waktu itu saya mengenakan seragam, jadi secara psikologis, orang-orang yang kebingungan, secara otomatis mendatangi sosok yang berseragam. Mereka menghampiri saya minta tolong dicarikan anggota keluarga yang hilang.
Usai liputan Tsunami Aceh saya sangat trauma, bahkan saking traumanya saya tidak berani membuka handphone karena banyak korban yang mengirimi saya SMS dan meminta dicarikan anggota keluarganya yang hilang. Di situ perasaan beban dan bersalah semakin menjadi-jadi hingga membuat saya stres.
It was a very traumatic things. Dan membuat saya belajar banyak untuk menjadi seorang wartawan dan manusia disaat-saat seperti itu.
Najwa terkenal sebagai sosok jurnalis dan pembawa acara yang ‘disegani’ oleh para narasumber dengan gaya wawancara khas (lugas, tegas dan kadang ada yang bilang mengintimidasi), apakah itu memang gaya Najwa dari dulu? Bisa share tips apa saja yang perlu kita lakukan sebagai host talkshow agar dapat meramu pertanyaan wawancara yang tajam?
Mungkin karena latar belakang ilmu saya hukum, saya memang dilatih untuk jadi seorang pengacara. Dan di dunia hukum itu, seorang pengacara diajarkan untuk never ask the question when you don’t know the answer. Prinsipnya jangan pernah bertanya sesuatu yang kamu tidak tahu jawabannya. Itu sangat mempengaruhi pola pikir saya dalam proses menjadi pemandu bincang-bincang khususnya politik.
Riset juga menjadi kunci yang paling penting, jadi harus tahu mendalam terkait topik yang ingin dibahas. Harus paham dengan karakter lawan bicara kita, terutama politisi sebagai orang yang kerap kali menyembunyikan kejelasan atau melebih-lebihkan sesuatu untuk menunjukkan kepentingannya. Sebagai pemandu bincang-bincang, saat mewawancarai politisi saya terbiasa melacak apa pernyataan yang pernah mereka ucapkan sebelumnya terkait isu tertentu. Jadi saat mereka plin-plan atau berkelit saya bisa tahu.
Selain itu ada satu hal yang saya pelajari dari seorang presenter BBC, khususnya sebagai seorang pemandu talkshow politik, yaitu bahwa kita harus be brave but don’t be stupid. Jadi harus berani tapi jangan jadi bodoh. Anda harus menguasai apa yang akan dibahas.
Najwa Shihab untuk program Role Model kumparanWOMAN. Foto: Raja Siregar, Stylist: Ivan T. Santoso, Makeup: Linda Kusumadewi, Hairdo: Evi Evrian, Busana: Max Mara.
Lalu bagaimana trik Najwa menghadapi narasumber yang berkelit?
Saya pernah buat list tentang 9 gaya ngeles politisi. Sudah hampir 20 tahun saya mewawancarai banyak politisi, itu membuat saya semakin hapal pola mereka saat berkelit atau ngeles. Pokoknya rumusannya gini, pada menit pertama kita biarkan dia berbicara dan menjelaskan apa yang ingin disampaikan, setelah itu you just stick to the question. Makanya saya tidak ragu untuk mengulang pertanyaan kepada politisi jika mereka belum menjawab pertanyaan yang saya lontarkan. ‘Anda belum menjawab pertanyaan saya.’ Kalau dia tidak mau jawab, ya saya akan lempar pertanyaannya ke yang lain.
Pada situasi menghadapi politisi yang berkelit, terkadang yang penting itu adalah pertanyaan yang dilontarkan, jadi setidaknya orang sudah melihat bagaimana cara mereka merespons pertanyaan yang dilontarkan. So its the art of questioning. Seni untuk bertanya terutama untuk politisi. Biasanya saat politisi ngeles, mereka itu akan mengkritik pertanyaan dan mempertanyakan pertanyaan. Nah, saat mereka tidak mau menjawab, respon saya 'Ya sudah, jika Anda tidak mau jawab pertanyaan, saya akan lempar ke yang lainnya, Anda tidak perlu jawab.'
That’s just how you need to control them sih menurut saya. Karena saya sebagai tuan rumah dan Anda tamu, we treat them tapi jangan sampai rumah kita dijadikan agenda-agenda yang bukan untuk kepentingan publik. Karena menurut saya seorang jurnalis kepentingannya cuma satu, yakni untuk publik serta membuat proses politik itu menjadi lebih transparan.
Jangan ragu untuk mengulang pertanyaan, 'Anda tidak mau jawab? Tidak mau jawab?'. Di sisi lain, itu menjadi show tersendiri sih, karena talkshow itu kan ada ‘talk’ dan ‘show’. Talk-nya harus berisi dan show-nya harus menarik. Kadang orang terjerumus hanya show-nya saja atau talk-nya saja yang menarik. Sedangkan untuk menemukan resep yang pas untuk talk dan show kadang kita perlu 'mecin', bumbu, dan sebagainya. Itu adalah ramuan-ramuan yang harus ada di setiap program Mata Najwa.
Ulama Quraish Shihab dan pembawa acara Najwa Shihab dalam acara peluncuran situs CariUstadz.id. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Bagaimana masa kecil Najwa terlahir dalam keluarga muslim moderat dan memiliki seorang ayah seorang ulama terkemuka di Tanah Air?
Di keluarga kami, Abi (Quraish Shihab) itu selalu menitikberatkan soal pendidikan. Kami lima bersaudara dan anak laki-lakinya hanya satu. Saya tidak pernah diperlakukan berbeda karena saya seorang perempuan. Sejak dulu saya selalu diajarkan soal keterbukaan terhadap perbedaan. Saya ingat saat usia 16 tahun, saya diizinkan untuk mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri selama satu tahun. Waktu itu Abi dapat kritik dari sekitarnya, ‘Wah anak perempuannya masih berusia 16 tahun kok dibiarin sih pergi ke luar negeri, tinggal di keluarga yang tidak dikenal, beda agama dan sebagainya.’ Saat itu Abi tidak merisaukan komentar-komentar itu. Ia memberikan kepercayaan pada saya untuk melakukan yang saya yakini. Dari situ saya belajar akan toleransi.
Abi itu kan seorang ilmuwan ya. Ia juga seorang cendekiawan dan pemuka agama. Abi belajar Al-Quran selama puluhan tahun dan itu ia amalkan dalam bagaimana ia bertindak di keluarga dan bagaimana menyikapi perbedaan. Bagaimana kita diberikan kepercayaan setelah menentukan pilihan. Saya rasa pelajaran itu juga Abi dapatkan dari kakeknya yang berteman dengan begitu banyak orang, dari beragam agama dan etnis, untuk menjadi pribadi yang selalu terbuka dan tidak takut dihadapkan akan perbedaan.
Abi mengajarkan untuk melihat perbedaan itu sebagai sesuatu yang memperkuat bukan untuk melukai kita. Sebenarnya saya percaya, intoleransi itu datang karena ketidaktahuan, atau ketakutan terhadap hal yang tidak mereka tahu. Jadi penting untuk terus mendorong orang agar mau mencari tahu. Sehingga tidak cupet dan takut menghadapi perbedaan.
Bagaimana pandangan atau sikap Najwa terkait hijab?
Saya sering sekali ditanya soal hijab dan saya amat berhati-hati untuk menjawabnya. Kemudian akhirnya jawaban saya untuk pertanyaan itu adalah satu; Abi Quraish Shihab menulis buku yang sangat lengkap soal itu, judulnya Jilbab, cover-nya warna pink, best seller di Gramedia dan toko buku lain. Jadi daripada saya menjawab dan disalahtafsirkan, saya akan menjawab; bacalah buku Jilbab karya M. Quraish Shihab.
Bisa dikatakan Najwa memiliki privilege karena lahir dari keluarga terpandang: Ayah seorang mantan Menteri Agama serta pemuka agama begitu pun dengan paman yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri. Bagaimana Najwa memaknai privilege tersebut?
Pertama, iya benar saya merasa memiliki privilege. Tapi bukan karena jabatan yang diemban ayah dan paman saya. Plus kami juga tidak pernah mendapat keuntungan-keuntungan dari jabatan itu. Abi sendiri menjadi Menteri Agama itu kan hanya tiga bulan, jadi saya merasa privilege karena lahir di keluarga yang sangat mencintai ilmu. Abi itu luar biasa tekun dalam belajar, begitupun Ami Alwi. Keduanya diberangkatkan ke Mesir oleh orang tua mereka. Saat itu Ami Alwi berusia 11 tahun sedangkan Abi 13 tahun dan mereka tidak boleh pulang sebelum berhasil mendapat gelar doktor di Mesir.
Jadi privilege yang saya rasakan justru karena dibesarkan dari keluarga yang menempatkan ilmu di tempat yang begitu berharga. Itu yang jadi pegangan saya, kakak dan adik-adik saya. Bagaimana terbiasa untuk berdiskusi, tradisi membaca, berdebat, hingga mencari tahu lebih jauh. Bagaimana upbringing seperti itu diciptakan dalam keluarga.
Kalau dikaitkan dengan posisi dan jabatan, satu-satunya privilege yang pernah saya rasakan adalah ketika saya magang di RCTI, kebetulan Ami Alwi saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Saya ingat saat itu sedang ada konferensi pers dengan Kofi Annan (mantan Sekjen PBB) di bandara. Dibuka sesi tanya jawab untuk media, dan ada banyak wartawan yang tunjuk tangan untuk bertanya, ada jurnalis senior juga. Tapi Ami Alwi melihat saya si reporter magang dari RCTI dan menunjuk saya untuk bertanya kepada Kofi Annan secara langsung. Itu satu-satunya privilege yang pernah saya dapatkan...hahaha... Jadi kembali lagi jika bicara soal privilege, ya tentu ada. Tapi bukan privilege karena jabatan orang tua, tapi privilege dari upbringing atau pola asuh pendidikan, kebiasaan, tradisi, tentang nilai-nilai yang diturunkan. Itu privilege yang rasanya mahal sekali.
Biografi singkat Najwa Shihab. Foto: Nunki
Sebagai anak dari seorang pemuka agama, apa orang tua strict dalam menerapkan beberapa aturan?
Hingga menginjak bangku SMA, orang tua tidak memperbolehkan saya keluar rumah selepas Maghrib. Jadi harus salat jama’ah di rumah, ngaji, dan baca ratib juga. Tapi saat memasuki bangku kuliah, pulang selepas Maghrib diperbolehkan karena aktivitas makin padat dan sebagainya.
Saya ingat dulu saat ngaji kalau salah dipukul dengan penggaris. Terus salat juga tidak boleh ditinggal sama sekali. Waktu saya ikut pertukaran pelajar ke Amerika, cuma ada dua pesan dari orang tua; pertama solat tidak boleh ditinggal dan tidak boleh bohong. Meskipun dalam beberapa hal orang tua kerap strict dalam menerapkan aturan. Di sisi lain saya diberikan kebebasan tersendiri untuk mengambil keputusan yang sudah dilatih sejak kecil.
Apa Najwa menerapkan hal yang sama ke anak sendiri?
Iya dan tidak, karena saya merasa zaman telah berubah. Tapi memang sadar atau tidak kita akan mengikuti pola asuh orang tua kita yang kemudian kita terapkan ke anak. Karena kita tidak pernah diajarkan bagaimana menjadi orang tua, tanpa disadari kita akan mengikuti pola asuh orang tua kita sendiri. Dan itu juga yang saya coba terapkan ke Izzat dengan berbagai variasi. Izzat kan anak satu-satunya dan sebagai ibu yang bekerja di luar rumah saya memiliki pola asuh yang banyak variasi. Tapi pada prinsipnya, pola asuh masih sama dengan orang tua saya dulu. Mulai dari perkara salat yang wajib hingga harus terbuka dengan orang tua, juga tidak boleh berbohong. Sama seperti Abi ke saya, saya juga memberi Izzat kebebasan untuk memilih. Makanya sekarang ini saya sedang galau karena Izzat ingin kuliah di luar negeri. Padahal saya sendiri inginnya Izzat kuliah yang dekat saja. Tapi saya harus konsisten dengan telah memberikan dia kebebasan untuk mengambil pilihan yang dia ambil.
Najwa Shihab bersama suaminya Ibrahim Sjarief Assegaf dan Izzat Ibrahim. Foto: dok. @najwashihab/ Instagram
Menurut Najwa, apa isu tentang perempuan Indonesia yang paling penting saat ini?
Banyak sekali dan menurut saya isunya bisa beda antara yang ada di perkotaan dan desa. Karena kita ini kan terdiri dari masyarakat yang sangat majemuk dan luas, jadi tantangannya berbeda-beda.
Pandangan bahwa secara umum perempuan sekarang jauh lebih maju, jauh lebih punya kesempatan atau akses, itu benar. Tapi kalau dilihat lagi lebih detail, masih ada banyak hal yang menunjukkan bahwa kesetaraan itu memang masih harus diperjuangkan. Kalaupun ada pernyataan perempuan bisa lebih menonjol, gajinya lebih besar, terlihat powerful, itu lebih ke pengecualian daripada kelaziman. Karena kalau dari data perbandingan, gaji perempuan dan laki-laki juga masih ada perbedaan yang jauh. Selisih perbedaan gaji antara perempuan dan laki-laki bisa mencapai 15 persen. Perempuan hanya digaji besar dalam industri tekstil dan fashion. Dan selebihnya kita perempuan melakukan pekerjaan yang sama tapi dihargai lebih murah.
Kemudian kekerasan terhadap perempuan jadi isu yang luar biasa penting dan belum banyak dilirik. Padahal data-data menunjukkan, 1 dari 3 perempuan itu mengalami kekerasan baik secara verbal hingga fisik. Terus ada angka yang menunjukkan 2 dari 10 perempuan mengalami kekerasan dalam perkawinan. Jadi jelas isu kekerasan terhadap perempuan memang sangat penting dan jarang dilirik karena masih dianggap tabu. Lihat saja sekarang RUU PKS yang masih terkatung-katung.
Najwa Shihab untuk program Role Model kumparanWOMAN. Foto: Raja Siregar, Stylist: Ivan T. Santoso, Makeup: Linda Kusumadewi, Hairdo: Evi Evrian, Busana: Valentino.
Kemudian yang menjadi tantangan lainnya bagi perempuan adalah soal kepercayaan diri yang terkadang harus di-boost. Saya seringkali merasa perempuan secara sistematis menganggap dirinya rendah, tidak cukup percaya diri akan kemampuannya. Sederhananya dalam soal nego gaji pertama. Saya dulu berani nego gaji, karena saya saat itu ditawari dua perusahaan Metro TV dan RCTI. Tapi saya paham itu bukan suatu kelaziman. Tak hanya di Indonesia saja di Amerika juga.
Perempuan seringkali merasa tidak percaya diri, merasa dirinya tidak cukup memiliki kemampuan yang baik. Di satu sisi bisa dipahami karena dalam masyarakat kita, kesuksesan itu sering berkorelasi negatif dengan perempuan tapi sebaliknya berkorelasi positif terhadap laki-laki. Jadi kalau ada perempuan sukses, seringkali dianggap ‘wah ini perempuan pasti bitchy nih. Pasti ambisius nih.’
Perempuan seringkali memiliki keraguan untuk menunjukkan potensi diri karena semakin diperparah oleh kita sesama perempuan yang bukannya saling mendukung malah menjatuhkan, ya queen bee syndrome. Jadi mungkin karena keterbatasan posisi, kita merasa harus selalu berkompetisi untuk mencapai suatu hal tertentu dan menjadikan perempuan lain sebagai saingan.
Bagaimana dengan pengalaman Najwa saat di TV? Sempat mengalami kesenjangan gender juga?
Selama pengalaman saya di TV, ketika saya menjabat Wakil Pemimpin Redaksi di Metro TV tidak ada kesenjangan pendapatan antara perempuan dan laki-laki. Karena menurut saya di TV sistem kerjanya beda. Hasil kerjaan kita bisa dilihat dan dinilai oleh begitu banyak orang, jadi lebih transparan penilaian dan parameternya. Lain halnya dengan bidang-bidang lain. Dan mungkin juga karena kebijakan negaranya, belum lagi tradisi patriarki yang amat kental di masyarakat kita. Budaya patriarki yang melihat perempuan lebih baik melakukan hal-hal yang biasa saja, ini jadi isu yang penting.
Dalam pengalaman Najwa saat ini, sebagai seorang female leader, bagaimana cara Najwa mendukung dan mendorong perempuan lebih maju?
Saat ini di Narasi sendiri jajaran BOD-nya perempuan semua, baru akan nambah satu direksi laki-laki. Dan saya selalu make sure, saat rapat siapa perempuan yang belum bicara, ayo harus bicara memberikan suara. Jadi affirmative action-nya harus lebih, harus mau speak up. Di Narasi ada tulisan, ‘If you don’t speak up, how could the world know that you exist.’ Perempuan harus didorong untuk speak up, tunjukkan kalau kita mampu dan lebih pede.
Selain itu, terutama untuk bos-bos perempuan, harus lebih memperhatikan karyawan-karyawan perempuannya juga. Misal melalui apresiasi karyawan yang memiliki ide-ide.Tunjukkan rasa saling support, karena banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri perempuan. Sesama perempuan harus saling mendukung bukan untuk saling menjatuhkan.
Najwa Shihab bersama tim Narasi TV. Foto: dok. @najwashihab/ Instagram
Saat ini masih banyak perempuan yang harus dihadapkan antara dilema karier dan keluarga. Bagaimana dengan Najwa sendiri? Apakah juga pernah mengalami dilema sama?
Menurut saya definisi bekerja, juga harus diperluas sih. Saya lebih suka pakai kata berkarya, karena sekarang ini kegiatan volunteering, kerja paruh waktu, atau apapun merupakan sebuah karya juga. Jadi menurut saya perempuan yang berkarya tidak melulu didefinisikan sebagai pekerja kantoran saja.
Kembali soal berkarya di rumah atau tidak, itu soal pilihan yang memang betul-betul disadari. Karena saya tidak pernah merasa berkarya dan menjadi ibu itu dua hal yang saling menegasi. Menurut saya, itu merupakan sesuatu yang dapat saling membuat bahagia kok, baik bekerja di luar rumah dan jadi ibu yang juga merawat anak-anaknya. Jadi pilihan untuk tetap eksis di luar rumah harusnya menjadi pilihan yang bukan melulu membuat kita merasa bersalah. Dan saya tahu ini sesuatu yang gampang diucapkan tapi praktiknya agak sulit. Hingga sekarang saya pun kadang masih ada feeling guilty dan sebagainya.
Saya percaya ibu yang bekerja, berkarya, juga ibu yang bahagia dengan anak-anak dan keluarganya. Itu pilihan yang harusnya tidak dibeda-bedakan dan kita harus bertahan di tengah persepsi yang kadang-kadang tidak fair, yang kerap menyalahkan dan membuat kita ragu dengan pilihan yang diambil.
Banyak stereotip yang ditujukan kepada perempuan ketika ia menjadi pemimpin, misalnya bossy, bitchy, dan lain-lain. Apa Najwa pernah mengalaminya?
Pastinya pernah. Anggapan ‘Wah pasti ini bos perempuan orangnya galak ya, bitchy ya dan lain-lain,’ Menurut saya itu hal yang pasti dengan sendirinya dialamatkan pada tiap pemimpin perempuan. Itu merupakan tantangan untuk kita menciptakan environment yang buat kita saling dukung dan tidak saling menjatuhkan. And it takes time, lagi-lagi itu karena persepsi yang ada.
Sosok Najwa telah menjadi inspirasi banyak perempuan di Indonesia bahkan bisa dikatakan Najwa adalah seorang role model bagi perempuan kini. Bagaimana tanggapan Najwa mengenai ini? Apa hal yang ingin Najwa tularkan kepada perempuan Indonesia?
Memiliki role model itu memang penting, tapi jangan kemudian kita menjadikan sosok role model sebagai satu-satunya patokan. Jadi penting untuk punya banyak role model. Karena manusia tidak ada yang sempurna dan lebih baik kita ambil tiap bagian terbaik dari setiap orang untuk dijadikan pemicu semangat dan panutan.
Menteri Susi, Najwa Shihab dan Sri Mulyani masuk ke dalam daftar perempuan paling dikagumi di Indonesia. Foto: dok. ist
Siapa role model atau sosok yang menginspirasi seorang Najwa?
Role model saya banyak sekali dan saya beruntung dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang kuat. Mulai dari kakak perempuan saya Kak Ella, adik saya, ibu saya. Mama adalah orang yang sangat luwes dan sociable, sangat suka bersilaturahmi. Ia yang selalu mendorong saya untuk tidak takut mencoba sesuatu yang baru. Saya selalu didorong punya ambisi dan keinginan, itu datangnya dari orang tua. Jadi jika ditanya role model, ya keluarga adalah role model saya. Mulai dari ibu, abi, kakak, adik saya.
Najwa Shihab bersama kakak dan adik perempuannya. Foto: dok. @najwashihab/ Instagram
Image Najwa di layar kaca dikenal sebagai sosok yang tegas, lugas, berani dan tangguh. Boleh ceritakan, bagaimana seorang Najwa Shihab dalam kesehariannya? Ketika bersama keluarga atau sahabat?
Kalau sama keluarga biasa aja seperti seorang ibu dan anak pada umumnya. Image tegas galak itu kan kalau sedang mengejar jawaban dari narasumber saja. Saya sendiri saat sedang wawancara artis atau musisi juga kan fun-fun saja.
Memiliki segudang kesibukan, bagaimana Najwa mengatur waktu untuk diri sendiri, anak dan keluarga?
Kita boleh sekali all out sama pekerjaan tapi juga harus seimbang sama keluarga. Jadi pinter-pinternya kita juggling time dan multitasking.
Bagaimana dengan waktu untuk diri sendiri? Atau bersama sahabat?
Alhamdulillah saya masih dikelilingi orang dan teman-teman yang sampai sekarang masih sering ketemu. Kerap menghabiskan waktu dengan teman-teman kuliah dulu, teman-teman di Metro TV juga. Biasanya kami menghabiskan waktu untuk makan, nonton, nyalon juga.
Najwa Shihab bersama rekan-rekan presenter Metro TV. Foto: dok. @najwashihab/ Instagram
Dalam setiap wawancara Najwa seringkali membahas topik-topik yang serius dan krusial. Belum lagi bertanggung jawab untuk mengurus sebuah perusahaan media yang mungkin saja membuat diri lelah dan stres, bagaimana cara Najwa mengatasinya?
Saya biasanya rileks dengan pijat, tidur, nonton hingga baca.
Buku favorit dan buku yang sedang dibaca saat ini?
Saya lagi baca bukunya Sall Rooney yang Normal People, lalu The People vs Tech karya Jamie Bartlett, Storytelling on Steroids: 10 stories That Hijacked the Pop Culture Conversation karya John Weich, dan buku terbaru Abi judulnya Al Maidah 51. Buku ini memang sengaja diluncurkannya saat situasi politik tidak terlalu keruh dan berbicara mengenai ayat dengan beragam penafsiran. Ini empat buku bacanya ganti-gantian.
Apa impian yang masih ingin diwujudkan? Next project?
Kalau di Narasi banyak sekali ya. Pada Agustus nanti kami mau buat Play Fest yang kedua. Kemudian kami sedang menggarap konten-konten baru juga. Selain itu tahun ini Mata Najwa genap berusia 10 tahun dan kami ingin membuat program 1 dekade Mata Najwa di bulan November. Selebihnya akan melakukan workshop ke daerah-daerah. Ada banyak sekali mimpi yang ingin kami wujudkan di Narasi.
Najwa Shihab untuk program Role Model kumparanWOMAN. Foto: Raja Siregar, Stylist: Ivan T. Santoso, Makeup: Linda Kusumadewi, Hairdo: Evi Evrian, Busana: DUMA.
Bagaimana dengan personal dream?
Saya ingin Narasi benar-benar memiliki dampak dan pengaruh, karena menurut saya itu adalah kontribusi terbesar yang bisa dilakukan oleh media. Sekecil apapun itu, mudah-mudahan memiliki dampak dan pengaruh bagi peradaban negeri.
Saat ini komunitas yang ada di Narasi telah mencapai 180 ribu orang yang tersebar di berbagai daerah, baik dalam dan luar negeri dan saya ingin Narasi betul-betul menjadi media yang memberikan aksi nyata.
Masih banyak perempuan Indonesia yang merasa tidak enak, tidak percaya diri menyebut dirinya sukses, masih segan dibilang sebagai perempuan yang ambisius. Bagaimana Najwa bagaimana memaknai kesuksesan?
Ada satu quote dari Maya Angelou yang amat saya sukai “Success is liking yourself, liking what you do, and liking how you do it.” Jadi definisi sukses itu saat Anda merasa happy dengan diri Anda, Anda suka dengan apa yang Anda lakukan dan suka bagaimana Anda melakukannya. Jadi kalau definisi sukses buat saya adalah, I really love what i’m doing and I love how I’m doing it with my team. So Alhamdulillah, saya bersyukur.
Ikuti cerita inspiratif lainnya dari Najwa Shihab eksklusif untuk kumparan pada topik Role Model.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten