Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Meski menstruasi merupakan fenomena yang wajar, namun masih banyak sekali stigma dan perspektif negatif yang masih hidup di masyarakat terkait menstruasi. Di India misalnya, banyak orang menganggap perempuan yang sedang menstruasi adalah kotor, tidak suci, sakit, bahkan dikatakan terkutuk. Karena itu, perempuan yang sedang menstruasi pun kerap tidak diperbolehkan untuk mengikuti atau melakukan beberapa kegiatan sehari-hari, ritual keagamaan, hingga ritual budaya.
“Keluarga saya memperlakukan saya seperti orang yang tidak tersentuh. Saya tidak boleh ke dapur, saya tidak bisa masuk ke kuil, saya tidak bisa duduk dengan orang lain,” ungkap seorang perempuan asal India, Manju Baluni, saat diwawancarai oleh BBC pada 2014 silam.
Apa itu stigma menstruasi?
Mengutip Very Well Mind, stigma menstruasi merupakan istilah luas untuk menggambarkan diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan yang sedang menstruasi. Diskriminasi itu bisa terjadi dalam berbagai macam; mulai dari fisik hingga verbal dalam bentuk penghinaan terhadap perempuan yang sedang menstruasi. Penghinaan itu misalnya menganggap perempuan yang sedang haid kotor hingga tidak suci.
Asal usul stigma menstruasi
Tidak diketahui secara pasti sejak kapan istilah stigma menstruasi ini muncul pertama kali. Namun menurut Very Well Mind, istilah stigma menstruasi ini mirip dengan istilah tradisional Yahudi, yakni niddah. Niddah sendiri adalah istilah dari Old Testament (Perjanjian Lama) yang berarti ‘orang dikucilkan’ dan ‘dikeluarkan’. Istilah tersebut biasanya digunakan untuk menggambarkan perempuan yang sedang menstruasi.
Tak hanya Yahudi, agama-agama lain (baik itu Islam, Kristen, Buddha, hingga Hindu) juga memiliki peraturan dan perlakuan khusus bagi perempuan yang sedang dalam siklus bulanan tersebut.
Macam-macam tekanan yang diterima perempuan karena menstruasi
Ada banyak sekali bentuk tekanan yang dihadapi perempuan saat sedang menstruasi. Berikut ini kumparanWOMAN rangkum beberapa bentuk tekanan yang dihadapi perempuan saat menstruasi yang dikutip dari situs UN WOMEN & Very Well Mind.
1. Diskriminasi
Di era modern seperti sekarang ini, perempuan di berbagai belahan dunia masih menghadapi beragam bentuk diskriminasi saat sedang menstruasi. Diskriminasi terhadap perempuan yang sedang menstruasi itu kemudian berkembang luas, di mana menstruasi dianggap sesuatu yang tabu dan perempuan yang sedang menstruasi dipandang kotor dan tidak suci.
Ada banyak sekali bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang sedang menstruasi; mulai fisik hingga verbal dalam bentuk lelucon hingga penghinaan. Dalam bentuk lelucon misalnya, stigma menstruasi kerap dimanifestasikan dengan tuduhan bahwa seorang perempuan yang sedang PMS atau sedang menstruasi dianggap berperilaku sensitif, berlebihan, galak, hingga agresif.
Sementara itu, diskriminasi dalam bentuk fisik biasanya berbentuk larangan bagi perempuan yang sedang menstruasi untuk tidak melakukan beberapa kegiatan; seperti memasak, hingga menghadiri acara tertentu. Bahkan, yang paling ekstrem adalah pengasingan terhadap perempuan yang sedang menstruasi.
Salah satu tradisi pengasingan perempuan yang paling populer di dunia adalah Chhaupadi. Chhaupadi sendiri adalah tradisi masyarakat Hindu Nepal yang mengharuskan perempuan yang sedang haid untuk dipisahkan tempat tinggalnya di sebuah gubuk kecil tanpa ventilasi. Praktik ini dilakukan, karena perempuan yang sedang haid dianggap kotor dan dikhawatirkan akan memberi bencana pada manusia, lahan, serta ternak di sekitarnya. Oleh karena itu, mereka diusir dari rumah dan diasingkan hingga siklus menstruasinya berakhir.
2. Berbicara soal menstruasi adalah hal yang tabu
Tekanan lain yang biasanya dirasakan perempuan saat sedang haid adalah membicarakan topik menstruasi itu sendiri. Di beberapa kebudayaan, menstruasi kerap menjadi topik yang harus dihindari untuk diungkapkan dalam ruang-ruang publik terbuka. Karena itulah, tak sedikit orang kemudian mengganti atau memperhalus kata ‘menstruasi’ dengan istilah lain.
Di luar negeri, kata menstruasi sendiri kerap diganti atau diperhalus dengan istilah tersirat lain seperti ‘Aunt Flo’, ‘Bloody Mary’, ‘The Curse’, ‘The Time of The Month (TTOTM)’, hingga ‘Code Red’. Sedangkan di Indonesia, kata ‘menstruasi’ kerap diganti dengan istilah seperti ‘Datang Bulan’, ‘Dapet’, ‘Tamu Bulanan’ hingga ‘Halangan’ saat dibicarakan di ruang terbuka atau di sekitar lawan jenis.
“Dengan menolak membicarakan menstruasi secara lugas, itu berarti kita secara tidak langsung melanggengkan gagasan bahwa (menstruasi) ini tidak dapat diterima untuk dibicarakan secara terbuka,” tulis situs Very Well Mind.
3. Sulitnya mendapatkan akses produk sanitasi
Masalah atau tekanan lain yang dihadapi perempuan di berbagai belahan dunia saat sedang menstruasi adalah mendapatkan akses produk sanitasi. Masalah ini kabarnya tidak hanya terjadi di negara berkembang, namun juga di negara-negara maju seperti Inggris sekalipun.
Pada 2011 misalnya, seorang seorang perempuan asal London, Inggris, Rachel Krengel, pernah menjadi sorotan dunia karena ia tidak mampu membeli pembalut. Saat diwawancarai CNN, Krengel bercerita bahwa dirinya pernah mengalami kesulitan finansial hingga tidak mampu membeli pembalut. Bahkan, bila ia punya sedikit uang tambahan pun, ia akan membeli pembalut dan menggunakannya selama 20 jam, padahal idealnya pembalut diganti setiap 3-4 jam. Bila tidak memiliki uang, ia akan membiarkan darahnya mengalir begitu saja di celananya.
Permasalahan serupa tidak hanya dialami Rachel Krengel. Pada 2018, Plan International UK melakukan riset terhadap 1.004 anak perempuan dan perempuan di Inggris berusia 14-21 tahun. Riset tersebut mengungkap bahwa 40 persen anak perempuan di Inggris menggunakan tisu toilet untuk menampung darah menstruasi. Isu utamanya adalah banyak yang tak mampu atau kesulitan membeli pembalut.
Masih dalam laporan yang sama, Plan International UK juga mengungkapkan bahwa 42 persen anak yang sudah mulai menstruasi terpaksa menggunakan pakaian sanitasi (sanitary wear) karena mereka kesulitan membeli produk pembalut. Yang lebih mengkhawatirkan, 7 persen anak perempuan mengatakan bahwa mereka menggunakan kaus kaki, kain bekas, koran atau kertas sebagai pengganti produk sanitasi untuk mengatasi menstruasi.
Nah Ladies, itulah beberapa stigma negatif atau tekanan yang kerap dihadapi perempuan saat sedang menstruasi. Kalau Anda sendiri, tekanan apa yang biasanya dihadapi saat sedang menstruasi?