Tunggal Pawestri: Jumlah Perempuan di Kabinet Baru Jokowi Mengecewakan

24 Oktober 2019 17:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati atau Bintang Puspayoga di Istana Merdeka, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati atau Bintang Puspayoga di Istana Merdeka, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kabinet Baru Jokowi periode 2019-2024 telah resmi diumumkan. Dari 34 jajaran kabinet, kali ini Presiden Jokowi hanya memilih lima perempuan untuk menduduki posisi menteri. Mereka adalah Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), Siti Nurbaya Bakar (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Ida Fauziyah (Menteri Ketenagakerjaan), Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri), dan I Gusti Ayu Bintang Darmawati atau Bintang Puspayoga, (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).
ADVERTISEMENT
Sejak pengumuman yang dilakukan oleh Presiden Jokowi pada Rabu (23/10), banyak perempuan yang mengutarakan kekecewaan mereka. Salah satunya adalah Aktivis dan Konsultan Gender, Tunggal Pawestri. Menurut Tunggal, langkah ini dinilai begitu mengecewakan sebab pada periode sebelumnya, 2014-2019, Jokowi sempat dipuji karena dinilai melek gender dengan memilih delapan menteri perempuan (yang kemudian berubah menjadi tujuh setelah Khofifah dilepas dari jabatannya sebagai Kementerian Sosial). Namun di jabatan periode keduanya, Jokowi malah mengurangi kapasitas perempuan dalam kabinet kerjanya.
5 menteri perempuan di Kabinet Indonesia Maju Foto: Kumparan dan Antara
"Kalau bicara soal menurunnya jumlah perempuan yang ada di kabinet tentu mengecewakan. Sebelumnya postur kabinet 2014 itu wajah perempuan lebih terlihat. Mereka dipercaya untuk memegang beberapa posisi tertentu. Kita perlu menunjukkan ke publik bahwa perempuan mampu menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan. Apalagi dulu Jokowi sempat dipuji karena dianggap melek dengan isu gender sebab memilih banyak menteri perempuan," ungkap Tunggal Pawestri saat dihubungi kumparanWOMAN.
Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Ma'ruf Amin berfoto dengan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju yang baru diperkenalkan di Istana Merdeka, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Tunggal juga menambahkan bahwa berkurangnya jumlah perempuan di kabinet ini tidak sejalan dengan legislatif karena jumlah perempuan di sana bertambah. Sebelumnya pada periode 2014-2019, jumlah anggota legislatif perempuan sebanyak 97 perempuan dan pada periode 2019-2024 ini ada 117 perempuan yang duduk di kursi legislatif.
ADVERTISEMENT
“Karena di legislatif jumlah perempuan bertambah, kenapa di eksekutif malah turun? Harusnya jumlah perempuan dalam kabinet yang lalu itu menjadi acuan, dan mestinya bisa bertambah lagi di kabinet baru ini,” tutur Tunggal.
Korelasi antara pejabat perempuan dengan kebijakan pro perempuan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise. Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Meski secara global diakui bahwa keberadaan perempuan dalam sektor pemerintahan bisa meningkatkan kesejahteraan suatu negara, namun apakah sebenarnya jumlah tersebut memiliki pengaruh terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah?
Nyatanya, menurut Tunggal hal itu belum terjadi di Indonesia. Ia belum melihat adanya korelasi positif antara jumlah perempuan dalam kabinet dengan kebijakan-kebijakan yang pro perempuan.
Tunggal melihat selama ini menteri-menteri perempuan di Indonesia tidak menunjukkan hasil yang signifikan dalam membuat kebijakan yang lebih ramah perempuan. Terutama bagi kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang seharusnya bisa lebih mementingkan isu-isu perempuan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mengunjungi pengungsi di Petobo, Sulawesi Tengah, Rabu (10/10/2018). Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
Menurut Tunggal, Yohana Yembise sebagai Menteri PPPA pada kabinet sebelumnya tidak melakukan gebrakan yang signifikan untuk memberikan perubahan terkait perempuan.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak melihat ada gebrakan yang signifikan dari Yohana Yembise untuk isu perempuan. Malahan dia tidak begitu memiliki gender sensitivitas yang baik atau keberpihakan terhadap isu-isu yang menjadi perhatian perempuan. Misalnya soal penghapusan kekerasan seksual; tim dari pemerintah tidak bergerak secara aktif dan mendesak supaya RUU PKS disahkan atau ikut membantu mendorong banyak pihak agar membahas lebih serius soal isu yang berpihak pada korban kekerasan seksual. Saya tidak melihat itu selama periode kemarin. Paling hanya satu dan itu dilakukan pada detik-detik akhir, yaitu meningkatkan usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun pada revisi UU Perkawinan hasil desakan yang panjang dari kelompok perempuan. Padahal langkah ini sebenarnya bisa dilakukan sejak awal dia menjabat. Selain itu ada banyak isu perempuan lainnya yang seharusnya mendapat perhatian lebih serius dari dia,” ungkap Tunggal Pawestri.
ADVERTISEMENT
Ia menegaskan, walaupun banyaknya jumlah perempuan di pemerintahan tidak menjamin akan banyak muncul banyak kebijakan yang ramah perempuan, namun perlu digarisbawahi bahwa keberadaan perempuan dalam sektor pemerintahan menunjukkan perempuan juga bisa duduk di posisi penting dalam suatu negara.
“Banyaknya perempuan di pemerintahan menunjukkan bahwa Indonesia sudah lebih maju dari sebelumnya ketika ada pandangan yang menyatakan perempuan tidak layak berada di posisi-posisi strategis di pemerintahan,” jelasnya.
Nasib perempuan Indonesia di tangan Menteri PPPA baru
Menteri Pemberdayaan Perempuan, Bintang Puspayoga saat perkenalan Menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Kepresidenan, Jakarta. Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
Sepertinya dalam periode pemerintahan baru ini nasib perempuan Indonesia kembali dipertaruhkan. Tak hanya soal RUU PKS yang harus menjalani proses pengesahan dari nol, tetapi nasib kesejahteraan kita berada di tangan sosok yang tidak memiliki track record sama sekali terkait isu-isu perempuan.
ADVERTISEMENT
Nama I Gusti Ayu Bintang Darmawati (50) alias Bintang Puspayoga terdengar masih sangat asing, bahkan bagi aktivis perempuan yang juga aktif mengawasi pergerakan politik serta isu-isu kesetaraan gender di Indonesia seperti Tunggal Pawestri.
“Saya bahkan tidak kenal dia siapa. Alih-alih dikenal sebagai individu, yang saya tahu dia hanya dikenal sebagai istri mantan pejabat. Buat saya itu sangat memprihatinkan. Ini sudah bisa dilihat dengan jelas bahwa posisi dia di sana karena ada pembagian jabatan. Yang membuat saya geram, kenapa harus diisi dengan orang yang tidak kompeten atau tidak memiliki track record sama sekali untuk isu ini,” jelas Tunggal.
Ia juga mengatakan bahwa ada banyak perempuan di Indonesia yang lebih berkompeten dan memang selama ini lebih peka dengan isu-isu perempuan. Namun sayangnya, mereka tidak masuk hitungan untuk bisa menjabat sebagai Menteri PPPA.
Infografik Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
Bintang Puspayoga yang berasal dari Bali dipercaya untuk menjabat sebagai Menteri PPPA menggantikan posisi Yohana Yembise. Dengan gamblang, Sekretaris DPD PDIP Bali, I Gusti Ngurah Jayanegara mengatakan, pemilihan Bintang Puspayoga sebagai menteri ada hubungannya dengan keinginan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Sebab, sang Ketua Umum PDIP menginginkan agar ada perwakilan masyarakat Bali di dalam kabinet baru Jokowi.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Tunggal menyampaikan bahwa ia tidak ingin menaruh pikiran negatif terhadap Bintang Puspayoga.
“Jangan sampai kita menaruh pemikiran yang negatif terhadap dia karena untuk saat ini karena kita belum tahu cara kerjanya seperti apa. Kalau dia mau belajar dan perspektifnya bagus, berarti kita harus membantu dia, tapi dia juga harus membuka ruang bagi teman-teman untuk memberikan input.
Ia menyarankan agar kedepannya Bintang Puspayoga mengundang seluruh pihak yang berkaitan dengan isu-isu perempuan untuk berdiskusi bersama. “Saran saya yang harus dia lakukan pertama adalah mengundang seluruh stakeholder, pemangku kepentingan baik dari pemerintah atau eksternal agar dia bisa bertanya apa yang menjadi concern masyarakat dan apa yang harus diprioritaskan untuk isu perempuan,” tutupnya.
ADVERTISEMENT