Duh, Desaku Terpapar Narkoba

Kunarto Marzuki
Kepala Seksi Intelijen Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Tengah
Konten dari Pengguna
9 April 2021 12:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kunarto Marzuki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi narkoba. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi narkoba. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Tepat tengah malam, pada penghujung bulan Maret 2021, di sebuah jalan desa di antara Sambong Oyot menuju Benteng Portugis Jepara, petugas Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Tengah, menangkap seseorang berinisial R yang hendak mengambil narkotika jenis sabu sebanyak 26 gram di bawah sebuah tiang telepon.
ADVERTISEMENT
Wilayah pesisir Kabupaten Jepara Jawa Tengah malam itu sedang sepi-sepinya. Hanya R yang berada di tempat itu. Ketika ditangkap, R berdalih akan membeli nasi goreng. Padahal, tidak ada orang berjualan di situ. Hanya deretan pohon-pohon karet yang berisik diterpa angin pantai yang menjadi saksi peristiwa itu.
Pagi harinya handphone saya bergetar. Sebuah pesan masuk. Lama saya mengingat-ingat namanya. Ternyata sebuah pesan dari adik kelas waktu sekolah hampir 20 tahun yang lalu. Dia mengonfirmasi bahwa kakaknya berinisial R ditangkap oleh petugas BNNP Jateng semalam. Agak getir juga rasanya membaca pesan tersebut. Apalagi setelah tahu bahwa R juga pernah menjadi senior di sebuah pesantren yang sama, meski kami tidak sempat bertemu.
***
ADVERTISEMENT
Sore harinya, di tanggal yang sama, petugas BNNP Jateng juga mengamankan pemuda desa di wilayah Mulyoharjo Kabupaten Jepara dengan barang bukti narkotika jenis sabu seberat 0,6 gram. Pemuda lajang berinisial D ini sehari-hari membantu orang tuanya berjualan bakso di sebuah pasar.
D mengaku menjadi kurir narkotika dengan upah Rp 50 ribu setiap dia meletakkan bungkusan narkotika di suatu tempat hingga akhirnya narkotika tersebut diambil oleh pembelinya. Dalam sehari dia bisa meletakkan lima bungkus narkotika. Tentu, upahnya cukup menggiurkan dibanding jualan bakso yang sudah ditekuni orang tuanya.
***
Jauh sebelum dua kejadian di atas, pada bulan Agustus 2017, di Jalan Raya Kaligawe Semarang, petugas BNNP Jateng menangkap seorang residivis kasus narkotika yang sudah empat kali keluar masuk penjara.
ADVERTISEMENT
Pria bernama Awiyatno tersebut sengaja datang ke Semarang untuk mengambil narkotika jenis sabu seberat 25 gram. Sungguh mengerikan, dia mengaku barang haram tersebut akan diedarkan di desa-desa pinggiran hutan di wilayah Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Antara lain adalah Desa Puncel, Grogolan, Wedusan, Ngarengan, Kembang, dan desa-desa lain di sekitarnya. Dalam persidangan Awiyatno akhirnya divonis 11 tahun penjara.
***
Tiga peristiwa di atas hanya sedikit gambaran dari banyak lagi kejadian lainnya yang tidak dapat saya tuliskan. Bahwa narkotika sekarang bukan hanya menjadi tren dan gaya hidup orang kota, namun juga merambah wilayah-wilayah pedesaan di republik ini. Narkoba tidak lagi hanya mengepung kota tetapi sudah meluas mengepung desa-desa di sekitar kita. Ini tentu menjadi sebuah ironi, sebagaimana tulisan saya sebelumnya berjudul "Ketika Narkotika Sudah Menyasar Kalangan Bawah", meski pun mahal narkotika saat ini sudah menjadi tren dan gaya hidup masyarakat bawah, masyarakat pinggiran.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana kita ketahui bahwa desa adalah sebuah entitas yang menjadi benteng terakhir dari modernisme dan hedonisme yang berkembang di perkotaan. Dengan kearifan lokal (local wisdom) penduduk desa mampu menyaring budaya-budaya pop yang bertentangan dengan tradisi dan budaya adiluhung yang berkembang di pedesaan. Biasanya jika ada penduduk desa yang berperilaku "menyimpang" dari kebanyakan adat istiadat setempat maka akan diberikan sanksi sosial dan menjadi bahan pergunjingan.
Desa-desa yang saya kenal pada masa kecil silam, dekade 1980-1990, adalah desa-desa dengan penduduk yang produktif di bidang pertanian dan perikanan. Desa kala itu adalah sebuah kelompok masyarakat yang meskipun berpenghasilan ekonomi pas-pasan dan berpendidikan tidak tinggi, namun mempunyai budaya gotong-royong dan kontrol sosial yang ketat. Sedikit saja ada peristiwa menyimpang maka tetua-tetua desa akan memberikan teguran dan nasihat sehingga nuansa kehidupan yang harmonis dan saling menghargai sangat kental di pedesaan.
ADVERTISEMENT
Bila ada satu dua pemuda atau pemudi yang bekerja di kota kemudian pulang kampung dengan gaya hidup baru seperti rambut diwarnai, memakai pakaian ketat, dan membawa pasangan yang tidak jelas hubungannya maka akan langsung menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut. Memang itu seperti terlalu jauh masuk ke ranah privasi seseorang. Namun itulah kontrol sosial yang mampu mempertahankan keberlangsungan adat dan istiadat di desa.
Namun, itu adalah cerita saya tentang kondisi sosial desa dua dekade silam. Desa masa kini sudah berubah. Arus modernisasi dan globalisasi yang dibawa oleh televisi dan internet memberi perubahan yang cukup signifikan. Kontrol sosial tidak begitu lagi terasa di perkampungan. Pola hidup individual semakin terasa dari hari ke hari. Akibatnya, budaya negatif seperti masuknya narkotika ke pedesaan tidak terelakkan lagi.
ADVERTISEMENT
Lalu harus bagaimana kita? Supaya arus deras peredaran narkotika yang sudah telanjur merambah wilayah desa setidaknya dapat kita minimalisir. Ada beberapa hal bisa kita lakukan, antara lain, pertama; Meski arus modernisasi saat ini niscaya kita bendung, setidaknya generasi muda mudi desa harus tetap kita kenalkan dengan tradisi, adat istiadat dan kearifan lokal supaya mereka tetap merawat budaya-budaya positif agar kontrol sosial di desa tetap hidup sampai kapan pun.
Kedua, pemerintah desa bisa membuat program Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) di wilayahnya. Melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), pemerintah desa bisa memasukkan program dan kegiatan P4GN setiap tahunnya. Kita ketahui bersama bahwa saat ini desa memperoleh porsi anggaran yang cukup besar setiap tahunnya. Program dan kegiatan P4GN yang bisa dilakukan meliputi sosialisasi ke masyarakat dan pemberdayaan komunitas masyarakat desa yang rentan terpapar narkotika dengan cara membuat program ekonomi alternatif.
ADVERTISEMENT
Kegiatan lainnya meliputi pembentukan relawan anti narkotika yang bertugas memberikan penyuluhan di desa serta menginformasikan kepada penegak hukum jika di lingkungannya terdapat tanda-tanda penyalahgunaan dan peredaran narkotika.
Ketiga, BNN memiliki program rehabilitasi Intervensi Berbasis Masyarakat (IBM). Pemerintah desa bisa membentuk semacam Satuan Tugas (Satgas) yang akan mengidentifikasi jika di lingkungan terkecilnya ada yang terpapar narkotika. Selanjutnya Satgas ini akan menentukan apakah penyalahgunaan narkotika tersebut masuk dalam kategori pecandu ringan, sedang, atau berat.
Jika masih dalam tahap coba-coba menggunakan narkotika maka bisa direhabilitasi oleh masyarakat setempat dengan keterampilan yang nanti akan diberikan pelatihan oleh BNN. Namun jika pecandu narkotika tersebut masuk dalam kategori sedang atau berat dan membutuhkan intervensi yang lebih serius maka harus dirujuk ke tempat/lembaga yang lebih berkompeten.
ADVERTISEMENT
Dalam penanganan pandemi COVID-19, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membuat program Jogo Tonggo (Menjaga Tetangga). Jika ada tetangga kita yang terpapar COVID-19 maka kita harus peduli; memberikan makanan, memberikan obat dan kebutuhan lain serta memantau kondisinya. Hal ini juga bisa diterapkan di desa jika ada tetangga kita yang terpapar narkotika maka kita bisa menjaganya, merawatnya, bukan justru menjauhinya. Konsep Jogo Tonggo sejatinya tidak berbeda jauh dengan konsep rehabilitasi IBM yang dimiliki oleh BNN dan bisa diterapkan di des-desa sekitar kita. (*)