Kualat Donald Trump dan Makin ‘Angkuhnya’ China

Desi Kurniawati
Saya berprofesi sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang. Latar belakang pendidikan sarjana akuntansi dan magister manajemen.
Konten dari Pengguna
5 Oktober 2020 11:59 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Desi Kurniawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Donald Trump. Sumber Foto : Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump. Sumber Foto : Reuters
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Publik dunia selama ini menganggap bahwa Donald Trump, presiden Amerika Serikat adalah tokoh yang sangat angkuh. Dia dianggap sangat arogan, rasis, dan kontroversial. Presiden yang secara terbuka menyatakan ‘perang’ terhadap China ini sempat meremehkan virus COVID-19. Namun pada akhirnya, ia kualat karena telah mengakui dirinya justru salah seorang yang positif penyakit asal China tersebut.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari segala macam kontroversinya, statement Trump dalam pidato PBB belum lama ini dianggap ada benarnya. Dalam kesempatan tersebut, Trump secara keras menyalahkan China atas pandemi yang terjadi di seluruh dunia. Trump menilai China sengaja menutup negaranya dari kedatangan turis namun membiarkan warganya pergi ke luar sehingga menyebarkan virus ke seluruh dunia. Alhasil, Amerika terdampak paling besar. Hingga saat ini, 7,41 juta warga Amerika sudah terjangkit, termasuk Trump sendiri.
Terjangkitnya Trump membuat masyarakat China bersorak-sorai. Netizen China mengolok-olok habis Trump atas apa yang terjadi. Bahkan, media-media di China ikut serta ‘mengejek’ dan menyalahkan Trump sendiri karena dinilai terlalu meremehkan Corona. Tak ayal, China nampak semakin ‘angkuh’, percaya diri, dan merasa menjadi negara paling digdaya.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan diri China bukan tanpa alasan. Meskipun kerap kali dianggap sebagai ‘biang kerok’ pandemi, namun angka positif di China justru relatif kecil. Bahkan, angka positif Indonesia lebih besar dari China. Artinya, China terbukti mampu mengendalikan penyebaran pandemi di negaranya. Pantas saja, beragam negara tetap mendekati China agar segera mendapatkan vaksin. Termasuk Indonesia, saat ini tengah menguji vaksin Sinovac China yang menurut Presiden Joko Widodo diperkirakan sudah bisa digunakan awal Januari.
Berbeda dengan negara-negara pada umumnya, ekonomi China saat ini malah sedang mulai menggeliat. Sektor industri manufaktur hingga ekspor China mulai menunjukkan kinerja yang baik. Bahkan, pada kuartal kedua 2020 Produk Domestik Bruto China sudah berhasil tumbuh. Ini artinya, pemulihan ekonomi China cenderung yang paling cepat karena negara-negara lain justru masih dilanda kontraksi pertumbuhan ekonomi yang cukup dalam.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, perekonomian Amerika hingga saat ini masih ‘berantakan’. Meskipun ada beberapa negara bagiannya yang mulai pulih, namun secara keseluruhan kondisi ekonomi Amerika masih belum menunjukkan kemajuan. Bahkan, per akhir September 2020 lalu, 3,4 juta warga Amerika tercatat kehilangan pekerjaan karena ditutupnya perusahaan-perusahaan di sana. Jumlah gelandangan dan warga miskin juga tercatat naik tajam. Dengan positifnya Trump saat ini, kontan harga-harga saham perusahaan Amerika juga bergelimpangan yang bahkan menyeret turunnya IHSG.
Apabila dicermati lebih dalam, sebetulnya ada semacam perang ideologi di balik adu pengaruh dan ‘perang’ urat syaraf antara Amerika dengan China. Dalam hal ini, Amerika dengan demokrasinya, dan China dengan komunismenya. Sebagian pengamat memandang, Amerika kurang sanggup menekan penyebaran COVID-19 karena terlalu demokratis sehingga masyarakatnya cenderung kurang taat protokol kesehatan. Sementara China, berhasil menerapkan protokol yang sangat ketat karena masyarakatnya ‘sangat takut’ melanggar otoritas. Namun yang perlu dicatat, bukan berarti ideologi komunisme China lebih baik daripada demokrasi Amerika.
ADVERTISEMENT
Pada kenyataannya, watak komunisme cenderung angkuh dan menghalalkan segala cara. Indonesia menjadi salah satu negara yang pernah menjadi ‘korban’ sejarah paham komunisme tersebut. Hingga saat ini, isu-isu komunisme di Indonesia masih sering kali diembuskan. Terlebih, kepentingan segelintir pihak yang masih saja ‘menggoreng’ isu komunisme ini menyebabkan rakyat Indonesia selalu dihantui sejarah kelam tersebut. Padahal, apabila mengacu pada pandangan Gus Dur, beragam dendam terkait paham komunisme semestinya sudah tidak ada lagi. Menurut Gus Dur, anak-anak keturunan PKI juga merupakan bagian dari NKRI yang berhak berkarya dan mengabdi.
Meskipun memang jangan lagi ada dendam soal komunisme, namun bukan berarti tidak waspada. Utamanya Indonesia, tetap harus waspada terhadap ideologi komunisme China. Jangan sampai karena terlalu ‘dekat’ dengan China, Indonesia kebablasan dalam mengadaptasi beragam kebijakan China. Beragam kerja sama ekonomi yang dibuat bersama China jangan sampai membuat Indonesia kehilangan marwahnya sendiri. Meskipun hubungan kerja sama Indonesia dan China semacam ini sah-sah saja, Indonesia tetap harus selalu waspada. Sebagaimana kaidah orang Nahdlatul Ulama, al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah bahwa nilai-nilai lama yang baik perlu dilestarikan, serta nilai-nilai baru yang juga baik perlu diterapkan. Akan tetapi sangat perlu diingat bahwa paham komunisme bukanlah hal yang baik, karena paham terbaik adalah agama. Mudah-mudahan kita semua terhindar dari sifat angkuh dan memandang sepele.
ADVERTISEMENT