Minta Maaf Memang Penting, Tapi Bukan Alasan Pemaaf Menurut Hukum

Taufiq Idharudin
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2021 16:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiq Idharudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri menerima bantuan Rp 2 Triliun untuk penanganan COVID-19.  Foto: Dok Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri menerima bantuan Rp 2 Triliun untuk penanganan COVID-19. Foto: Dok Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nyaring di telinga kita bahwa banyak pejabat yang meminta maaf atas kesalahannya. Dari mulai pak Luhut Binsar Panjaitan yang meminta maaf atas kebijakan PPKM karena merasa kurang maksimal, hingga Kapolda Sumsel yang meminta maaf pasca "Prank Rp 2 Triliun".
ADVERTISEMENT
Kerap pula terjadi keributan baik di media sosial maupun di di dunia maya namun berakhir di atas meterai 6000.
Secara umum, minta maaf merupakan langkah positif. Hal itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan mengakui kesalahannya dan ingin berbuat lebih baik. Akan tetapi, bagaimana jika minta maaf atas kesalahan yang terkait hukum pidana? Apakah bisa otomatis dimaafkan dan tidak ada tindak lanjut?
Pada dasarnya ada dua hal yang menghapus pidana. Pertama alasan pembenar, kedua alasan pemaaf. Alasan pembenar maknanya bahwa suatu perbuatan yang pada dasarnya dilarang, akan tetapi dapat dibenarkan atas kondisi tertentu. Alasan pembenar salah satunya disebutkan dalam pasal 50 KUHP yakni: "orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak boleh dipidana".
ADVERTISEMENT
Contohnya seseorang yang diperintahkan untuk melakukan eksekusi dalam pidana hukuman mati. Orang yang melakukan eksekusi tersebut tidak dapat dijerat pasal pembunuhan karena perbuatannya merupakan perintah undang-undang.
Alasan pembenar lain yakni perbuatan yang dilakukan dalam karena daya paksa (pasal 48 KUHP), perbuatan yang dilakukan karena pembelaan terpaksa (pasal 49 ayat 1 KUHP) lalu perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang sah (pasal 51 KUHP). Melalui alasan pembenar ini, sifat melawan hukum suatu tindak pidana terhapus.
Berbeda dengan alasan pembenar, alasan pemaaf berfokus pada sisi pelakunya. Namun, perbuatan yang dilakukan si pelaku tetap merupakan suatu tindak pidana. Contoh alasan pemaaf adalah orang gila yang tidak dapat dipidana karena mencuri.
Orang gila tersebut terbebas dari pertanggungjawaban pidana lantaran kurang sempurna akalnya. Pasal 44 ayat (1) KUHP berbunyi: "Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal."
ilustrasi pixabay.com
Namun demikian, hakim tetap bisa memerintahkan agar seorang yang kurang sempurna dimasukkan ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa. Hal ini ditegaskan dalam pasal 44 ayat 2 KUHP.
ADVERTISEMENT
Bentuk alasan pemaaf yang lain yakni pembelaan diri yang melampaui batas sebagaimana dimaksud pasal 49 ayat 2 KUHP. Yang perlu dicatat, pembelaan di luar batas pembelaan seperlunya dikarenakan suatu guncangan hati atas serangan yang diterimanya. Maka, apabila seseorang yang melakukan pembelaan diri secara melampaui batas dikarenakan saat itu jiwanya tidak normal, tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Saling memaafkan sangat dianjurkan apabila menyangkut kasus antar dua warga negara misalnya pencemaran nama baik atau penghinaan. Restorative justice bisa menjadi pilihan untuk menyelesaikan masalah tersebut, karena tak semua masalah harus berakhir di penjara. Hal ini sejalan dengan langkah Kejaksaan Agung yang menggaungkan restorative justice.
Akan tetapi, jika perbuatannya mengarah pada tindak pidana umum, seperti menyebarkan hoaks maka tidak tepat bila minta maaf menjadi jalan pintas untuk lepas dari jerat hukum. Terlebih bila hoaks tersebut menimbulkan kegaduhan dan dilakukan oleh pejabat atau penegak hukum sendiri.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai bila warga biasa minta maaf maka proses hukum berlanjut, tetapi jika pejabat meminta maaf kemudian dicarikan pembenaran. Padahal yang dilakukan termasuk pelanggaran.
Pemberian maaf terhadap pejabat yang melanggar aturan jelas tidak mendidik masyarakat. Hal ini menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum dan membuka celah diskriminasi. Stereotip bahwa pejabat kebal hukum semakin mengkristal, dibarengi ketidakpercayaan warga atas penegakan hukum yang semakin menguat.
Oleh sebab itu, idealnya penegakan hukum dilakukan tanpa melihat latar belakang yang bersangkutan. Meminta maaf sah-sah saja karena itu bentuk penyesalan, namun harus ada proses hukum yang berlanjut. Tidak elok bila suatu pelanggaran serius yang merugikan orang lain apalagi instansi berhenti pada permintaan maaf. Karena minta maaf bukan alasan pemaaf apalagi pembenar.
ADVERTISEMENT
Seandainya minta maaf dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, Nenek Minah yang mencuri kakao tidak perlu meringkuk di jeruji besi. Bila mau jujur, penegakan hukum kita memang perlu dievaluasi.