Ketika Rumah Bukan Menjadi Tempat Teraman

Kirana Lalita Pristy
Undergraduate student at Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada.
Konten dari Pengguna
27 Mei 2020 15:05 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kirana Lalita Pristy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi rumah. Foto: Dok. Kementrian PUPR
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rumah. Foto: Dok. Kementrian PUPR
ADVERTISEMENT
… Lebih baik disini,
Rumah kita sendiri.
(Godbless, Rumah Kita)
ADVERTISEMENT
Benarkah lebih baik?
Memasuki tahun 2020 ini, tak ada yang membayangkan segala imbas dari pandemi akan seperti ini. Maha dahsyat COVID-19 yang semula tersebar di satu daerah di Tiongkok, kemudian dalam sekejap mata seluruh dunia telah berada dalam ringkukannya. Alih-alih melakukan tindakan preventif sejak lama, pemerintahan di berbagai negara baru bertindak setelah virus menjangkiti wilayahnya. Kemudian mereka berbondong-bondong menetapkan kebijakan swakarantina dan lockdown dengan harapan dapat memutus rantai penyebaran.
Menjadi mahasiswa rantau di kota penuh pemimpi, Yogyakarta, sebisa mungkin ku usahakan pulang ke rumah beberapa kali dalam satu semester. Bukan apa–apa, hanya saja rasanya aku butuh waktu timeout berkala untuk me-recharge energiku dengan cara pulang. Ketika mendengar berita resmi dari kampus bahwa kegiatan perkuliahan dirumahkan, aku pun merasa sedikit senang dan ingin cepat–cepat berada di rumah. Hal yang sama juga dirasakan teman–teman rantau terdekatku walaupun pasti ada rasa sedih tidak bisa bertemu dalam jangka waktu panjang. Namun, di hari yang sama aku menemukan beberapa kicauan di jagad Twitter oleh mahasiswa lain yang berkata bahwa mereka lebih memilih untuk tidak pulang. Lebih baik melakukan swakarantina sendiri saja di kosan daripada harus pulang ke rumah. Alasannya? Ya, tak seberuntung kebanyakan dari kita, kondisi rumah dan keluarga mereka tak seideal sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Entah sudah hari keberapa swakarantina ini berlangsung. Tak dipungkiri sudah pasti rasa jenuh dan bosan menghinggapi. Ribuan keluh kesah warganet yang tersebar di media sosial membenarkan hal ini. Padahal sesungguhnya kita bisa menikmati waktu dengan melakukan kegiatan yang selama ini rasanya tak pernah sempat dilakukan. Seperti aku yang mulai mencoba yoga, melukis dengan cat air, quality time bersama keluarga, dan hal-hal lainnya yang bahkan tidak terpikirkan untuk dilakukan sebelumnya. Kegiatan tersebut membuat kita enjoy berada di rumah menjadi hal positif yang dapat kita petik. Sayangnya, tidak semua dari kita merasakan silver lining atau hikmah dari kebijakan pembatasan aktivitas sosial ini. Tidak, dalam tulisan ini aku tidak membicarakan tentang para medical warrior atau orang – orang yang masih harus bekerja di jalanan. Aku akan membicarakan tentang mereka yang terpaksa menjalani mimpi terburuk in the ‘comfort’ of their own house selama periode swakarantina berlangsung.
ADVERTISEMENT
Pada momen itu, mataku terbuka. Seketika relungku hangat terisi rasa syukur atas yang selama ini kumiliki, tetapi sesaat kemudian terasa getir karena menyadari kenyataan pahit yang tak sedikit orang alami ini. Domestic abuse atau kekerasan domestik itu kenyataan yang sangat nyata tapi tidak banyak terpampang dan telah menjadi urgensi global di tengah pandemi sebagai imbas dari kebijakan swakarantina dan lockdown. Kekerasan domestik tidak selamanya hanya terjadi antar pasangan suami-istri, menurut definisinya dapat juga terjadi antar anggota keluarga lainnya seperti orangtua dan anak (Women’s Aid UK, 2019). Bentuknya pun banyak tak harus secara fisik, bisa berbentuk verbal, psikologis, seksual, dan lainnya. Iya, tentu aku tau sebelum pandemi ini menyergap pun domestic abuse sadly has always been around, tetapi keharusan berada di rumah yang kita jalani ini kebanyakan memperparah keadaan yang sudah buruk.
ADVERTISEMENT
Keadaan menjadi lebih parah sebagaimana dalam masa krisis ini stress begitu mudahnya datang apalagi ditambah orang-orang terpaksa terjebak dalam bangunan rumah yang membuat intensitas interaksi satu sama lain meningkat dan terdapat keterbatasan untuk keluar terutama di negara-negara yang menerapkan lockdown total. Di sinilah celah risiko kekerasan domestik dapat terjadi dan kemudian menjadi lebih buruk. Seperti satu kisah seorang wanita di Kroasia yang baru saja kubaca (“COVID-19 and Domestic Abuse”, 2020), sebelum menjalani swakarantina suaminya kerap memanggilnya dengan kata-kata kotor, tetapi tidak pernah sampai menyentuhnya. Namun, pada suatu akhir pekan dalam keadaan sekarang suaminya membenturkan kepalanya untuk pertama kali. Begitu miris yang kurasakan saat menyadari kenyataan ini.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri beberapa lembaga swadaya dan lembaga bantuan hukum menyatakan adanya peningkatan laporan pengaduan kasus kekerasan domestik sejak Maret. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat kenaikan ini, yang dapat diakses dari SIMFONI (Sistem Informasi Online) di laman resmi KemenPPPA. Per tanggal 2 Maret—25 April 2020 tercatat terdapat 184 kasus kekerasan domestik terjadi pada perempuan dan 368 kasus terjadi pada anak.
Belum lagi masih ada banyak orang yang tak punya keberanian untuk melapor, atau yang lebih buruk lagi: ada juga yang tidak menyadari apa yang mereka sedang alami adalah bentuk dari kekerasan domestik. Betapa kekerasan domestik ini sebenarnya adalah persoalan genting yang seharusnya mendapat sorotan lebih dari masyarakat dan pemerintah. Mereka butuh uluran tangan kita.
ADVERTISEMENT
Aku ingin mengajak teman – teman semua yang mungkin belum sadar selama ini telah diberi anugrah kondisi rumah yang tak sempurna namun cukup untuk lebih mensyukuri dan menikmati proses swakarantina. Doaku menyertai kalian yang harus lebih kuat lagi bertahan melalui semua ini, semoga semuanya lekas jauh membaik. Ingatlah, kalian punya hak untuk bersuara. Carilah bantuan, bisa mulai dengan menghubungi hotline lembaga atau organisasi yang peduli seperti Komnas Perempuan, Yayasan Pulih, LBH Apik, dan Rumah Aman UTAMA. Percayalah tak sedikit yang peduli dan mau membantu. Kamu pantas hidup lebih baik, akan selalu ada harapan.