4 'Pendeteksi Polusi' Alami yang Ada di Sekitar Kita

Lampu Edison
Edison 9955 kali gagal menemukan lampu pijar yang menyala. Jika ia berhenti di percobaan ke 9956, mungkin sekarang kita tidak akan punya lampu.
Konten dari Pengguna
15 Mei 2020 8:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lampu Edison tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebelum ada alat pendeteksi tingkat polusi, ternyata ada banyak organisme hidup di sekitar kita yang dapat mendeteksi adanya polusi di suatu wilayah. Para peneliti menyebutnya sebagai bioindikator, yaitu organisme hidup yang memberikan kita gambaran tentang kondisi kesehatan suatu ekosistem. Ada banyak bioindikator di sekitar kita, berikut adalah 4 bioindikator yang sering kita jumpai.
ADVERTISEMENT
1. Katak dan Kodok
Tahukah kamu jika amfibi seperti katak dan kodok adalah bioindikator? Yup, kodok dan katak dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu wilayah masih dalam kondisi baik atau tidak. Keberadaan dan jumlah populasi kodok dan katak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.
Normalnya, setiap 1000 tahun sekali ada 1 spesies amfibi yang punah. Namun selama 20.000 tahun terakhir setidaknya 168 spesies amfibi telah punah secara global. Alasan utama punahnya spesies amfibi adalah hilangnya habitat tempat tinggal mereka, meningkatnya tingkat polusi, adanya patogen, dan masuknya spesies asing.
Mengapa katak dan kodok begitu rentan? Hal ini karena katak dan kodok memiliki kulit permeable yang mudah terpapar dan menyerap zat beracun. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup mereka sangat mencerminkan kondisi lingkungan mereka, terutama kualitas air, vegetasi, dan habitat pemijahan. Maka tingkat kepunahan katak dan kodok yang tinggi mengingatkan kita akan pentingnya menjaga lingkungan di sekitar kita.
Katak. Gambar oleh Capri23auto dari Pixabay
2. Lumut
ADVERTISEMENT
Lumut umumnya ditemukan pada batang pohon dan batuan yang tersusun dari alga dan jamur, dan sangat sensitif terhadap racun di udara. Lumut memperoleh nutrisi dari udara bersih untuk berkembang sehingga menjadi bioindikator kualitas udara di sekitarnya. Lumut bereaksi terhadap perubahan ekologis di hutan, termasuk kualitas udara hutan dan iklim. Hilangnya lumut dari lingkungan menunjukkan stress pada lingkungan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar polutan seperti sulfur dioksida SO2, polutan belerang dan nitrogen N2.
Lumut sering digunakan untuk memantau kondisi hutan dengan alasan karena lumut adalah organisme sederhana yang tidak memiliki akar dan kulit. Kondisi hutan yang masih sangat baik ditandai dengan keberadaan lumut yang melimpah. Sedangkan hutan yang rusak ditandai dengan hilangnya keberadaan lumut.
Lumut. Gambar oleh woong hoe dari Pixabay
3. Bivalvia
ADVERTISEMENT
Bivalvia atau kerang-kerangan merupakan biota yang sering digunakan sebagai indikator pencemaran pesisir laut. Hal ini disebabkan karena kehidupan bivalvia berhubungan dengan sedimen, kebiasaan makan yang mampu menyaring bahan makanan atau filter feeder, dan kemampuannya yang dapat mengumpulkan bahan pencemar dalam tubuhnya.
Bivalvia telah diteliti untuk memantau tingkat pencemaran berbagai macam polutan di laut diantaranya radionuklida buatan, hidrokarbon terklorinasi, dan logam. Di Indonesia, jenis bivalvia yang sering digunakan untuk mendeteksi polutan di laut adalah jenis kerang hijau. Selain sebagai indikator polutan, kerang hijau juga dapat digunakan untuk menjernihkan air laut, hal ini dapat dilakukan karena kerang merupakan filter feeder atau filter alami yang dapat memperbaiki kualitas air laut.
Karena kemampuan filter feeder dan kemampuan mengumpulkan polutan dalam tubuh kerang, maka bagian lunak kerang sering terkontaminasi oleh polutan logam berat. Maka sebelum mengkonsumsi kerang ada baiknya diperhatikan kembali dari mana kerang tersebut diperoleh. Hindari mengkonsumsi kerang yang berasal dari perairan yang sangat tercemar.
Kerang Hijau. Gambar oleh RitaE dari Pixabay
4. Cacing Tanah
ADVERTISEMENT
Cacing tanah adalah organisme penting dalam sistem tanah, terutama karena efeknya yang menguntungkan untuk kesuburan tanah. Cacing tanah dapat membantu meningkatkan kesuburan tanah dengan membentuk lapisan bahan organik di tanah lapisan atas. Karena fungsi inilah cacing tanah dikenal sebagai bioindikator yang sangat baik untuk mendeteksi polusi tanah.
Sebuah pengamatan dilakukan di Bavaria selama 20 tahun, menunjukkan adanya peningkatan jumlah cacing tanah secara signifikan pada tanah yang subur. Peningkatan populasi cacing tanah tersebut disebabkan karena aktivitas manajemen pengolahan tanah yang baik. Penelitian juga menunjukkan bahwa konsentrasi bahan kimia dalam tubuh cacing tanah dapat menjadi indikator tingkat polusi tanah. Dari sini dapat kita amati bahwa cacing tanah adalah organisme yang tepat untuk mengevaluasi dampak aktivitas manusia terhadap tanah. Coba perhatikan tanah kebun di sekitarmu, jika kamu tidak menemukan cacing tanah, mungkin itu adalah indikasi tanah kebunmu kurang subur atau telah tercemar polusi.
Cacing Tanah. Gambar oleh Natfot dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Sumber:
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/21553769.2016.1162753
https://www.sciencelearn.org.nz/resources/1538-bioindicators