Cara Masyarakat Kuno Mengatasi Stres

Lampu Edison
Edison 9955 kali gagal menemukan lampu pijar yang menyala. Jika ia berhenti di percobaan ke 9956, mungkin sekarang kita tidak akan punya lampu.
Konten dari Pengguna
20 Januari 2019 23:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lampu Edison tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Data dari Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyebut 450 juta orang di seluruh dunia secara langsung dipengaruhi oleh gangguan mental dan disabilitas. Lebih jauh dipaparkan bahwa pada tahun 2030, dibanding kondisi kesehatan lainnya, depresi akan menempati daftar teratas sebagai kondisi kesehatan yang paling menjadi beban finansial di seluruh dunia. Dr. Steven Ilardi dari University of Kansas melalui penelitiannya menjelaskan faktor-faktor yang menjadikan manusia semakin mudah stres. Menurut penulis buku The Depression Cure ini, peningkatan angka depresi seseorang merupakan hasil sampingan dari modernisasi, industrialisasi, dan kehidupan urban. Ketergantungan kita terhadap gadget dan kenyamanan karena mampu menjadi masyarakat yang sangat berkembang secara teknologi menempatkan kita pada kondisi yang monoton untuk selalu kerja berlebih, kekurangan tidur, dan tekanan yang sangat tinggi dalam mencapai kemapanan teknologi. Peneliti sekaligus psikolog tersebut menambahkan, tingkat paparan cahaya yang kita habiskan untuk aktivitas outdoor telah menurun. Begitu pun dengan waktu rata-rata yang dihabiskan orang dewasa untuk tidur di malam hari. Jika dahulu umumnya 9 jam waktu kita dihabiskan untuk tidur, kini menjadi hanya 6,5 jam per harinya. Tidak hanya itu, terjadi pengikisan komunitas yang semakin mengisolasi dan terpecah-pecah. Oleh karenanya kita mengalami stres yang terus-menerus. Menurut Dr Ilardi, semakin jauh mempelajari tentang depresi secara neurologis, ia semakin menyadari bahwa hasil tersebut menunjukkan respon stres yang tak terkendali di otak. Meski demikian, sejumlah masyarakat disebut Ilardi pada dasarnya memiliki tingkat stres nol persen, sebut saja kelompok Amish Amerika dan masyarakat Kaluli di Papua New Guinea. Dr. Ilardi mengamati beberapa persamaan yang nampak dari masyarakat-masyarakat yang “bebas-depresi” tersebut, kemudian melihat adanya variabel-variabel umum tertentu yang selanjutnya dijadikan dasar dalam penelitiannya yang berjudul “Therapeutic Lifestyle Change Project (Proyek Terapi Perubahan Gaya Hidup).” Pada proyek ini subjek yang memiliki depresi secara klinis diminta untuk memasukkan sejumlah perubahan gaya hidup ke dalam kehidupan mereka selama beberapa minggu. Perubahan yang dimaksud meliputi mengonsumsi makanan yang kaya akan omega-3, menjalankan olahraga harian rutin, banyak berjemur di bawah sinar matahari langsung, tidur malam dengan waktu yang cukup, terlibat dalam beberapa bentuk aktivitas sosial sehingga membentuk relasi sosial, serta yang tidak kalah penting berpartisipasi dalam tugas-tugas bermakna yang akan menjauhkan kita dari pikiran-pikiran negatif. Hasilnya pun menakjubkan, subjek penelitian Dr. Ilardi menunjukkan penurunan depresi yang luar biasa. Mereka yang melibatkan diri secara mendalam dengan mengikuti cara hidup yang lebih aktif dan reflektif ini menunjukkan berbagai pengalaman, seperti kesadaran personal dan transpersonal yang meningkat, peningkatan apresiasi terhadap kehidupan termasuk kematian, meningkatnya rasa terhadap tujuan dan rencana-rencana hidup, serta rasa kepedulian terhadap orang lain yang juga meningkat. Partisipan juga menunjukkan spiritualitas dan penerimaan diri yang meningkat. Meski demikian, penurunan ini akan menunjukkan angka yang signifikan bila tidak hanya dibandingkan dengan kelompok kontrolnya saja, tetapi juga ketika dibandingkan dengan orang-orang yang telah diberi perawatan melalui obat-obatan anti depresi. Apa yang dicetuskan Dr. Ilardi ini diamini juga oleh penulis buku “How Plato and Pythagoras Can Save Your Life. Nicholas Kardaras, Ph.D membuat penemuan serupa yang didasarkan pada pemikiran atau kearifan kuno. Ia mendeskripsikan cara hidup yang sangat menyeluruh dimana telah dikenal pada masa peradaban kuno sebagai “Bios Pythagorikos” atau Cara Hidup Pythagorean. Bios Pythagorikos menurut Kardaras yakni ketika seseorang berusaha untuk “menyesuaikan” diri agar berada dalam keselarasan dengan semesta yang lebih besar melalui pikiran, tubuh, dan jiwa yang sehat. Hal ini hanya dapat dicapai dengan latihan fisik, konsumsi yang sehat, berjalan-jalan dalam rangka meditasi setiap hari. Melakukan perenungan mendalam mengenai matematika, musik, kosmologi, dan filosofi melalui diskusi kelompok juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk membantu seseorang memahami alam semesta lebih baik lagi dan tujuan kita di semesta ini. Saat seseorang mampu menyesuaikan diri dengan baik dan memperoleh keselarasan, mereka dapat kemudian mengaktualisasi diri sebagai pribadi yang bermakna. Bagi orang-orang Yunani, bertindak atau berpikir benar merupakan kunci untuk memperoleh kesejahteraan dan tentu saja akan berdampak pada tingkat depresi kita. Oleh karenanya, apabila mungkin kita sempat mengalami tekanan atau depresi, cobalah untuk menjalankan solusi dari zaman kuno ini dibanding menggunakan obat-obatan.
Sumber gambar: unsplash.com/NikShuliahin
ADVERTISEMENT