Sstt! Ada Sains Di Balik Spoiler

Lampu Edison
Edison 9955 kali gagal menemukan lampu pijar yang menyala. Jika ia berhenti di percobaan ke 9956, mungkin sekarang kita tidak akan punya lampu.
Konten dari Pengguna
17 April 2021 11:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lampu Edison tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahukah kamu, bahwa selama berabad-abad budaya spoiler −bocoran atau beberan− telah ada di ranah hiburan seperti perfilman, teater, sastra? Dahulu, pembeberan plot atau jalan cerita sebelum film/teater/sastra dimulai adalah sebuah hal yang lumrah. George Lucas, misalnya, membeberkan plot cerita Star Wars setahun sebelum filmnya tayang.
ADVERTISEMENT
Namun, kini spoiler menjadi hal yang cukup “mengerikan” untuk diperbincangkan. Semenjak internet tersedia, dimana orang-orang bebas mengunggah apapun di internet −tak terkecuali spoiler− “peringatan spoiler” menjadi suatu hal yang umum untuk dilakukan. Kata-kata seperti “Peringatan, konten ini mengandung spoiler” ataupun “Spoiler alerts!” adalah kata-kata yang nyaris wajib dicantumkan di awal sebelum mengunggah konten spoiler.
Sumber: Wikimedia commons
Spoiler dan rasa kendali seseorang
Benjamin Johnson, seorang asisten professor dari University of Florida College of Journalism and Communications Advertising, dalam wawancaranya di Vox, menjelaskan reaksi seseorang terhadap spoiler.
Benjamin Johnson bersama rekannya Judith E. Rosenbaum, meneliti bagaimana reaksi orang terhadap spoiler. Penelitian terbaru mereka (2019) menunjukkan bahwa sebagian orang menyukai spoiler dan sebagian lainnya membenci spoiler adalah suatu hal yang rumit. Penelitian mereka menemukan bahwa hal tersebut mungkin ada hubungannya dengan rasa kendali seseorang.
ADVERTISEMENT
Johnson mengungkapkan bahwa spoiler kecil efeknya tidak sekuat yang orang-orang pikirkan. Namun jika spoiler kecil tadi diberikan kepada orang-orang yang tidak menginginkan/mengharapkan spoiler, maka hal itu dapat membuat seseorang kehilangan kendali atas pengalaman menonton atau membaca.
Selain itu –meskipun menurut Johnson hal ini masih berupa spekulasi− orang yang mencari-cari spoiler mungkin melakukannya karena mereka ingin merasa seolah-olah mengendalikan pengalaman mereka dengan cerita tersebut.
Orang-orang yang tidak ingin memecahkan misteri atau teka-teki cerita dan hanya ingin tahu bagaimana akhir ceritanya saja, menurut Johnson, adalah tipe orang-orang yang cenderung memilih mencari-cari spoiler. Selain itu orang-orang yang menyukai spoiler cenderung tidak menyukai pengalaman emosional yang besar. Mereka tidak ingin hal-hal yang mereka tidak ketahui terjadi pada karakter dalam plot cerita.
ADVERTISEMENT
Spoiler justru semakin membuat seseorang menikmati jalan cerita?
Agak kontroversial dengan pendapat orang yang menghindari spoiler, Nicholas Christenfeld, seorang Profesor psikologi UC San Diego, justru mengungkapkan bahwa spoiler tidak merusak sebuah cerita. Spoiler justru semakin membuat orang-orang menikmati jalan cerita.
Dalam eksperimen awal di tahun 2011, tim Christenfeld meminta 819 partisipan untuk membaca sebuah cerita pendek dan menilai seberapa besar mereka menyukai cerita di akhir. Partisipan dibagi menjadi dua grup: sebagian partisipan diberi spoiler dan sebagian lainnya tidak diberi spoiler. Hasilnya cukup mengejutkan, grup partisipan yang diberi spoiler justru lebih menikmati jalan cerita dibandingkan dengan grup partisipan yang tidak terpapar spoiler.
Studi selanjutnya, tim Christenfeld mencoba variasi yang berbeda. Partisipan diminta untuk membaca sebuah cerita, namun sebelum partisipan menyelesaikan cerita, tim Christenfeld menghentikan partisipan. Lagi-lagi hasil studi menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan. Meskipun masih berada di pertengahan jalan cerita, banyak partisipan yang lebih menikmati cerita dengan spoiler, sebelum mencapai bagian akhir spoiler.
ADVERTISEMENT
Jadi kamu tim mana?
Sumber: 1, 2, 3, dan 4