Kisah Sekeluarga di Lampung yang Idap Talasemia

Konten Media Partner
5 September 2019 17:05 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ahmad Mafelino (kanan) anak dari Saroni (kiri) yang menyandang talasemia jenis mayor saat diwawancarai Lampung Geh di Rumah Singgah Thalassemia, Rabu malam (4/9) | Foto : Dimas Prasetyo/Lampung Geh
zoom-in-whitePerbesar
Ahmad Mafelino (kanan) anak dari Saroni (kiri) yang menyandang talasemia jenis mayor saat diwawancarai Lampung Geh di Rumah Singgah Thalassemia, Rabu malam (4/9) | Foto : Dimas Prasetyo/Lampung Geh
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Bandar Lampung - Ahmad Mafelino, bocah penderita penyakit talasemia jenis mayor asal Kelurahan Mekar Jaya, Kecamatan Gunung Agung, Kabupaten Tulang Bawang Barat, ini divonis dokter saat usianya 17 bulan.
ADVERTISEMENT
Ahmad adalah buah hati dari Saroni, pria yang sehari-harinya bekerja sebagai petani. Setiap bulan, Saroni harus hilir mudik ke Ibu Kota Lampung demi mendapatkan kantong darah untuk ditransfusikan ke tubuh anaknya.
"Saya sebagai orang tua punya anak talasemia, divonis dokter dari umur 17 bulan, sekarang sudah umur 8 tahun. Waktu pertama kali dengar anak saya divonis merasa putus asa, kata dokter talasemia itu penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan penyakit keturunan," beber Saroni kepada Lampung Geh, Rabu malam (4/9).
Untuk pergi ke Kota Lampung, Saroni harus menghabiskan waktu selama enam jam perjalanan. Saroni tak pernah mengeluh, karena menurutnya ini satu-satunya cara agar anak keduanya itu tetap sehat.
"Satu-satunya jalan untuk mencegah penyakit ini menjalar itu transfusi darah, saya juga sudah bersyukur ada jalan untuk memperbaiki penyakit anak saya ini," kata Saroni.
ADVERTISEMENT
Setidaknya sudah sekitar empat tahun, Saroni bersama anaknya rutin untuk melakukan transfusi darah di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandar Lampung.
Ahmad Mafelino, penyandang talesamia jenis mayor saat ditemui Lampung Geh di Rumah Singgah Talasemia, Rabu malam (4/9) | Foto : Dimas Prasetyo/Lampung Geh
"Ketika saya ke Bandar Lampung, saya langsung mampir ke rumah singgah ini. Kalau mau langsung urus ke rumah sakit sudah sore sampai sininya, jadi sudah tutup bagian pendaftarannya," ungkapnya.
Melalui rumah singgah talasemia ini, dirinya merasa terbantu, karena tempat ini bisa digunakan sebagai tempat istirahat usai menempuh perjalanan yang cukup jauh. "Jadi saya menginap di rumah singgah, saya merasa terbantu dengan adanya rumah singgah ini," ujar pria berusia 44 tahun tersebut.
Saroni menjelaskan dirinya dengan sang istri sama-sama menyandang talasemia karir (minor). Namun dirinya tidak mengetahui sudah sejak lama mengidap penyakit tersebut, sehingga gen tersebut menurun ke anaknya menjadi talasemia mayor.
ADVERTISEMENT
"Maka saya mohon kepada semua orang tua kalau bisa dicegah talasemia. Sebelum menikah harus melakukan pemeriksaan darah," ujarnya.
Saroni juga bercerita saat dokter memvonis anaknya menderita talasemia mayor, kala itu hatinya merasa hancur, sebab penyakit ini tidak dapat disembuhkan. "Anak saya memang dari kecil sering sakit-sakitan, panas, demam, batuk. Waktu dulu katanya anemia, ada yang bilang gizi buruk. Setelah periksa lab ternyata talasemia. Waktu itu saya putus asa, tapi saya pikir lagi namanya anak saya usahakan yang terbaik," ucap Saroni dengan penuh semangat.
Saroni berpesan, kepada orang tua yang sama-sama memiliki anak penyandang talasemia mayor, agar tidak pantang menyerah dan selalu rutin untuk melakukan transfusi darah. "Harus diobatkan kasihan sama anaknya, sebelum anaknya menikah harus diperiksa dulu darahnya agar tidak keturunan talasemia," tutupnya.(*)
ADVERTISEMENT
----
Laporan reporter Lampung Geh Obbie Fernando
Editor : Asa Nirwana