Melihat Perbatasan Pemukiman Gajah dan Manusia di Lampung Timur

Konten Media Partner
11 Maret 2020 14:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para peserta Uji Coba Paket Wisata Desa Labuhan Ratu VII saat tracking ke perbatasan pemukiman warga dengan Taman Nasional Way Kambas, Selasa (10/3) | Foto: Obbie Fernando/Lampung Geh
zoom-in-whitePerbesar
Para peserta Uji Coba Paket Wisata Desa Labuhan Ratu VII saat tracking ke perbatasan pemukiman warga dengan Taman Nasional Way Kambas, Selasa (10/3) | Foto: Obbie Fernando/Lampung Geh
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Lampung Timur - Uji Coba Paket Wisata Desa Labuhan Ratu VII, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur yang difasilitasi Konsorsium Unila-ALeRT di bawah dukungan program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) ini melanjutkan kegiatan untuk melihat batas pemukiman dan kearifan lokal masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Petualangan hari kedua pada Selasa (10/3) diawali dengan tracking di sekitar Desa Labuhan Ratu VII untuk melihat langsung perbatasan antara pemukiman warga dengan Taman Nasional Way Kambas.
Pada pukul 08.00 WIB, para peserta berkumpul di tempat yang ditentukan oleh panitia penyelenggara. Sunandar selaku guide perjalanan memulai tracking dengan mengenalkan pohon yang menjadi makanan badak sumatra.
"Ini Pohon Pule, untuk ditanam di hutan Way Kambas. Kalau sudah rimbun untuk makanan badak sumatra, ini tanaman yang disukai badak," katanya kepada peserta tracking.
Bibit Pohon Pule yang merupakan makanan kesukaan Badak Sumatra yang tengah dibudidayakan oleh warga Desa Labuhan Ratu VII, Selasa (10/3) | Foto: Obbie Fernando/Lampung Geh
Kemudian perjalanan dilanjutkan untuk melihat langsung perbatasan antara Desa Labuhan Ratu VII dengan Taman Nasional Way Kambas. Dimana lokasi ini yang sering terjadinya konflik antara manusia dengan gajah liar.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pantauan Lampung Geh, perbatasan tersebut berupa sebuah tanggul yang di dasarnya terdapat sebuah rawa. Tanggul tersebut dibangun dengan gundukan tanah yang panjangnya sekitar 13 kilometer. Sunandar memaparkan, jarak antara pemukiman warga dengan hutan kawasan kurang lebih hanya 100 meter saja.
Para peserta Uji Coba Paket Wisata Desa Labuhan Ratu VII saat berada di atas tanggul pembatas antara pemukiman warga dengan Taman Nasional Way Kambas, Selasa (10/3) | Foto: Dimas Prasetyo/Lampung Geh
"Batas rumah warga itu cuma 100 meter dari rumah warga sudah langsung hutan, kita berbatasan dengan hutan Taman Nasional Way Kambas," paparnya.
Menurutnya konflik antara gajah dan manusia di Lampung Timur ini sudah berlangsung cukup lama. Warga pun sudah melakukan berbagai cara untuk menghalau gajah agar tidak bisa masuk ke dalam pemukiman.
Namun, kepintaran gajah membuat warga cukup sulit untuk mengembalikannya ke dalam hutan. Sementara ini hanya tanggul pembatas berkat dana swadaya masyakat yang cukup efisien untuk menghalau gajah-gajah liar tersebut.
ADVERTISEMENT
"Tahun 1992 dipasang setrum tenaga surya, tetapi gajahnya pinter dia merobohkan pohon untuk merusak kawat setrum itu lalu dia lewat situ. Dulu pernah pasang sirine, pas dia (gajah) lewat nabrak kawat lalu sirinenya bunyi. Awalnya takut gajahnya, tapi lama-lama dia sudah terbiasa," urainya.
Warga juga sempat memasang sebuah drum putar berduri yang ditempatkan di jalur perlintasan gajah menuju pemukiman warga. Tetapi karena kecerdikannya, gajah liar tersebut justru membuat jalur baru.
"Sudah berbagai macam cara untuk menghalau gajah tadi, pernah dipasang drum putar, jadi insting gajah ini pintar. Yang belum dicoba kita buat bacaan 'Gajah Dilarang Masuk'," ungkapnya sembari gurau.
Menariknya ada salah satu gajah yang paling disegani oleh masyarakat setempat, notabene gajah tersebut tak mempunyai gading dengan dijuluki Gajah Dugul. Gajah Dugul selalu hidup menyendiri tak berkelompok dengan gajah lainnya, namun gajah tersebut mempunyai suatu kekuasaan sehingga gajah lain takut dengannya.
ADVERTISEMENT
"Ada gajah yang ditakuti masyarakat yaitu diberi nama Gajah Dugul. Kalau cerita tentang gajah, dulu ada warga Dusun Margahayu yang meninggal karena gajah, ada juga yang luka. Jadi dulu waktu tanam jagung masyarakat buat pondok karena siang malam harus ditunggu jagungnya," kata Sunandar.
Pada masa itu, sambungnya, ada gajah liar masuk ke perkebunan. Warga sudah mengusirnya tetapi justru gajah tersebut mendekati pondok. Di pondok tersebut ada istri beserta anak korban yang ikut menunggu jagung.
Namun sang suami yang ingin menyelamatkan keluarganya itu nekat memancing gajah itu agar mengejarnya.
"Lalu dia (korban) kepegang sama gajahnya, terus sempat kelepas. Dia lari lagi lalu masuk ke sumur tua. Di situ gajahnya tetap di atas sambil berusaha ngambil korban dengan belalainya. Karena gak dapat, gajahnya coba ngubur korban pakai tanah di dekat-dekat sumur itu," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Beruntung korban tak sampai meninggal dunia, hal itu karena pertugas Polisi Kehutanan (Polhut) Taman Nasional Way Kambas langsung memberikan bantuan ke korban dengan mengusir gajah liar tersebut.
Sunandar menuturkan, jika gajah membunuh korbannya selalu tak mengeluarkan darah pada tubuhnya. Namun biasanya korban mengalami patah tulang bahkan hingga mengalami kecacatan.
"Masyarakat kena korban gajah itu tidak keluar darah, kata cerita orang tua dulu katanya kenapa darahnya gak ada karena dihisap oleh gajahnya," ujarnya.
Cerdiknya hewan bertubuh besar ini, jika membunuh korbannya selalu tak meninggalkan jejak. Ia sembunyikan korban dengan menutupnya menggunakan ranting dan dedaunan.
"Kalau orang itu sudah mati ditimbun dengan rerumputan supaya menghilangkan jejak. Kalau selama ini gajah betina belum pernah saya denger kalau ngamuk, biasanya gajah jantan. Gajah agresif ketika tiba masa kawin," pungkasnya.
Sebuah pondok tempat menunggu tanaman yang berada di pekebunan warga Desa Labuhan Ratu VII saat dilewati oleh peserta Uji Coba Paket Wisata, Selasa (10/3) | Foto: Obbie Fernando/Lampung Geh
Selanjutnya peserta tiba di sebuah perkebunan karet milik Puri. Di situ peserta diajarkan untuk melakukan pengirisan atau dikenal menderes pohon karet. Mula-mula jalur getah karet dibersihkan terlebih dahulu untuk menghilangkan getah yang membeku.
ADVERTISEMENT
Kemudian melakukan pengirisan kulit pohon karet dengan mengikuti jalur yang ada. Jika sudah selesai, getah akan mengalir dan menetes masuk ke dalam wadah berupa mangkuk kecil yang telah disediakan.
Para peserta Uji Coba Paket Wisata saat tiba di perkebunan karet warga Desa Labuhan Ratu VII untuk belajar menderes karet, Selasa (10/3) | Foto: Obbie Fernando/Lampung Geh
Para warga di desa yang memiliki perkebunan karet biasanya berangkat menderes pada saat matahari mulai naik. Bukan tanpa sebab, Puri mengatakan jika hal itu dilakukan karena tak menginginkan bertemu dengan Gajah Dugul.
"Di sini kalau deres karet harus sudah terang. Karena kalau terlalu pagi nanti takut ketemu Dugul," kata Puri.
Puri, pemilik kebun, saat mencontohkan cara menderes karet yang berlokasi di Desa Labuhan Ratu VII, Selasa (10/3) | Foto: Obbie Fernando/Lampung Geh
Sembari mengobrol dengan peserta, Puri mengeluhkan jika harga karet saat ini cukup tergolong rendah dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.
"Karet sekarang murah harganya Rp7500 ribu per kilo. Kalau dulu pernah sampai Rp14 ribu, ya mau gimana lagi," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Usai mencoba menderes karet, peserta melanjutkan petualangan ke home industry pembuatan tahu yang masih berada di wilayah Desa Labuhan Ratu VII.(*)