Menyikapi Aksi Bunuh Diri: Mengutamakan Ego Pribadi atau Rasa Empati

Konten Media Partner
23 Februari 2019 19:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi aksi bunuh diri | Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi aksi bunuh diri | Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Lampunggeh.co.id, Bandar Lampung - "Mohon doanya dari kalian semua. Tolong doakan kakak saya yang terbaik. Doakan kakak saya selamat," dengan suara parau dan terbata, salah satu adik Tyas Sancana bertutur sembari sesekali melirik bingkai foto keluarga di sisinya Jumat petang (22/2).
ADVERTISEMENT
Pada video yang beredar di media sosial tampak Dwi tidak mampu lagi berkata-kata, ketika menyebutkan kata 'kakak'. Betapa duka dan kehilangan orang tercinta amat dalam ia rasakan.
Selasa, (22/2) sekitar pukul 16.10 WIB jagad sosial media di Lampung marak beredar video rekaman aksi bunuh diri seorang pemuda yang melompat dari gedung salah satu pusat perbelanjaan setinggi 40 meter.
Beberapa warganet seolah berlomba, untuk saling tanggap dan cepat dalam merekam, mengunggah dan membagikan video detik-detik aksi bunuh diri tersebut.
Pada salah satu video pendek yang beredar, terdengar jelas suara perempuan berkata spontan dari dalam mobil, "Loncat, loncat, ayo loncat," disusul dengan komentar "bener gua lagi midioin, kan gara-gara gua jerit dia loncat beneran."
ADVERTISEMENT
Rekaman video pendek dari ponsel-ponsel lain kemudian saling susul memenuhi jagad maya dan meluas. Orang-orang yang sore itu ada di lokasi kejadian berbondong-bondong mendekat sembari menenteng gawainya.
Seolah luput bahwa tubuh ber-hoodie gelap yang kala itu jatuh dalam posisi tengkurap bersimba darah juga manusia. Ada teman, sahabat, hingga keluarga yang kemudian bersedih atas hilangnya sebuah nyawa.
Video selanjutnya menyusul, merekam seorang yang tampaknya petugas keamanan setempat, "Jangan disentuh, Pak. Biarin, biarin," melarang orang yang hendak mendekat, "cariin kardus. Koran."
Yang paling mengiris hati, dari sekian banyak rekaman gambar dan video yang terunggah itu, turut beredar pula sebuah foto yang jelas memperlihatkan detik-detik sebelum Tyas melompat dari arah depan yang berdiri tegak di ujung gedung.
ADVERTISEMENT
Evakuasi jasad pemuda yang diidentifikasi merupakan mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Lampung itu disaksikan oleh sejumlah warga serta diiringi derai hujan lebat yang seolah ikut berduka.
Heni, salah seorang saksi mata mengaku sudah berusaha menggerakkan orang-orang untuk membantu. Bahkan meminta beberapa pegawai untuk mengeluarkan matras untuk menolong korban.
"Saya juga melihat dari atas itu ada beberapa laki-laki, sepertinya bernegosiasi supaya (korban) tidak bunuh diri. Tetapi malah ikutan mengambil gambar, juga" katanya.
Padahal sejatinya Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melarang penyebarkan rekaman peristiwa bunuh diri dalam bentuk apapun yang tercantum dalam UU ITE Pasal 28.
Selain melanggar hukum, menyebarkan konten rekaman bunuh diri baik berupa gambar maupun video juga melanggar etika karena tidak sesuai dengan perlaku kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Kurangnya kepedulian dan perhatian antara satu orang dengan lainnya adalah peluang besar bagi suatu tempat untuk dijadikan lokasi bunuh diri.
Padahal ciri seseorang yang berpotensi ingin bunuh diri sangat bisa dikenali sekalipun dalam suasana ramai. Seseorang hendak melancarkan aksi bunuh diri, biasanya akan merasa gelisah. Ini ditunjukan dengan gestur tubuh seperti mondar-mandir di suatu tempat.
Umumnya orang yang melakukan bunuh diri karena merasa tidak ada harapan lagi dalam hidupnya. Penyebabnya bisa karena korban merasa depresi terhadap masalah-masalah yang tengah ia hadapi.
Kepedulian dan kepekaan orang terhadap sesamanya di lingkungan sekitar adalah antisipasi utama yang bisa dilakukan semua orang. Sayangnya di jaman modern seperti saat ini orang-orang cenderung lebih peduli pada telepon genggamnya.
ADVERTISEMENT
Lely Syamsul, salah seorang Psikolog yang dihubungi reporter Lampung Geh via telepon mengatakan, bahwa di era teknologi seperti saat ini, masyarakat memiliki kecenderungan untuk hidup individualis. Tidak mau tahu urusan orang lain dan merasa harus terlebih dahulu memuaskan ego pribadi.
"Ketika seseorang merasa memiliki tuntutan harus men-share kejadian yang ia lihat/dapatkan ke sosial media terlebih dahulu, hingga mengabaikan rasa kasihan kepada orang lain adalah indikasi awal bahwa orang tersebut mentalnya telah sakit," jelasnya.
Jenis orang ini cenderung tidak peduli bahwa apa yang ia pamerkan berpotensi membuka aib orang lain. Tidak peduli bahwa ada orang lain yang bersedih atas tindakannya.
Merasa pamer di media sosial adalah suatu kebutuhan. Merasa puas ketika berhasil membagikan lebih dahulu ke dunia maya dibanding orang lain.
ADVERTISEMENT
Pemahaman warganet yang minim perihal konten apa saja yang layak dan tidak untuk disebarluaskan di jagad maya, juga benih empati yang tidak tertanam baik dari keluarga sejak kecil tentu saja layak menjadi bahan renungan bersama.
Di tengah arus informasi yang deras tak terbendung serupa air bah, ditambah perkembangan teknologi yang kian canggih. Sudah sewajarnya benih pemikiran 'bagaimana perasaan orang terdekat' dari objek yang menjadi bahan adu ego ini muncul dari nurani masing-masing.
Mengedepankan rasa empati dan peduli ketimbang hasrat bangga karena berhasil membagi (share) suatu kejadian, tentu hal penting yang hatus digarisbawahi bagi orang-orang yang mengaku peduli sesama manusia. (*)
Laporan reporter lampunggeh Latifah Desti Lustikasari
Editor : M Adita Putra
ADVERTISEMENT