Batik di Ranah Minang Sudah Berkembang Sejak Abad ke-13

Konten Media Partner
7 Oktober 2019 21:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Proses pembuatan Batik Blora "Krajan Pratiwi" Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Proses pembuatan Batik Blora "Krajan Pratiwi" Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Langkan.id, Padang – Berdasarkan hasil penelitian Herwandi dalam orasi ilmiah saat dikukuhkan menjadi guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat menyebutkan bahwa tardisi membatik di Ranah Minang sudah ada sejak abad ke-13, diasumsikan sudah melewati 5 periodisasi.
ADVERTISEMENT
Menurut Herwandi, tradisi menggambar di atas kain dengan canting merupakan asli budaya Indonesia, meskipun Negara lain juga punya tradisi yang sama.
Dikatakannya, tradisi membatik di Sumatera Barat juga dipengaruhi sejarah sejarah para raja dan kesultanan di Pulau Jawa. “Pusat pesebaran batik di Indonesia bermula di Pulau Jawa, termasuk penyebaran ke Sumbar,” jelasnya.
Penguatan bahwa budaya membatik di Sumbar sejak abad ke-13, kata Herwandi, bahwa itu dibuktikan dengan ditemukannya patung Amoghapsa di Dharmasraya. Patung itu dikirim dari jawa oleh raja Singosari Kertanegara dalam peristiwa Pamalayu tahun 1298 Mahsehi.
“Amoghapasa merepsentasikan seorang tokoh yang memakai carik yang bermotif batik. Disekitarnya juga ditemukan Gerabah yang dihiasi pola bunga, yang juga jadi pola hiasan batik di tanah Jawa,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Batik pada periode kedua, terjadi pada abad ke-16. Seni batik terlihat di pusat kekuasaan kerajaan Pagaruyung. Batik diperdagangkan tidak hanya dari Jawa, bahkan juga ke Cina. Mundurnya kerajaan Pagaruyung turut memudarkan seni batik.
Periode selanjutnya, pada masa penjajahan Belanda. Saat itu, penjajah menghentikan pasokan kain batik dari Jawa. Kondisi ini membuat sejumlah pedagang mulai memproduksi batik sendiri.
Periode keempat, pada masa awal kemerdekaan. Saat itu, tercatat sejumlah pengusaha batik di Pariaman dan Payakumbuh. Sejumlah kota-kota lain juga sudah memiliki sentra batik. Hingga pada tahun 1994 tidak lagi jelas perkembangannya.
Industri batik dapat angin segar pada akhir abad ke-20. Usaha dari Gubernur Sumbar, Hasan Basri Durin (1987-2997) bersama istrinya kembali menghidupkan industri batik di Sumbar. Hasan Basri memotivasi pengrajin batik dengan mengirimkan mereka belajar ke Jogjakarta pada tahun 1994.
ADVERTISEMENT
“Sejak saat itu muncul sejumlah orang-orang yang berminat untuk mengembangkan batik sampai saat ini,” ucapnya.
Menurut Herwandi, masih banyak peluang untuk usaha batik di Sumbar. Sebagai industri kreatif, Sumbar masih banyak kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM). Kadang, karena tidak mampu memenuhi pesanan pasar, malah memesan ke sentra produksi batik di Jawa. “Permintaan pasar sebetulnya jauh lebih besar dari permintaan yang ada, namun tidak terpenuhi oleh produksi lokal,” katanya. (Adi S)