Dosen Bercadar Dipecat, Kemenag Dinilai Diskriminasi dan Melanggar HAM

Konten Media Partner
6 Maret 2019 11:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dosern bercadar Hayati Syafri mengajukan banding ke BKN, Senin 4 Maret 2019. (Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Dosern bercadar Hayati Syafri mengajukan banding ke BKN, Senin 4 Maret 2019. (Istimewa)
ADVERTISEMENT
Langkan.id, Padang- Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia menilai pemecatan Dosen IAIN Bukittinggi Hayati Syafri sebagai Aparatur Sipil Negara) oleh Kementerian Agama, diskriminasi dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
ADVERTISEMENT
"Berdasarkan fakta-fakta yang ada, dapat disimpulkan bahwa adalah benar telah terjadi diskriminasi dan pelanggaran HAM dalam kasus pemberhentian Hayati Syafri dosen bercadar IAIN Bukittinggi Sumatera Barat," ujar Koordinator tim PAHAM Busyra, Rabu (6/3).
Ia mengatakan, dalam Surat Keputusan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada 18 Februari 2019, dinyatakan Hayati melanggar Pasal 3 angka 11 dan angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010, karena dianggap melakukan pelanggaran disiplin, berupa tidak masuk kerja tanpa alasan yang jelas.
Busyra menilai pemecatan Hayati dinilai tidak wajar. Malah cacat prosedur dan melanggar HAM.
Alasannya, kata dia, penetapan sanksi pelanggaran berat tanpa didahului teguran, dan peringatan tertulis merupakan suatu yang bertentangan dengan prosedur penjatuhan sanksi yang terdapat didalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, penjatuhan sanksi berat tanpa diiringi teguran dan peringatan tertulis tidak mencerminkan adanya upaya pembinaan PNS sebagai tujuan utama dari peraturan pemerintah tersebut.
"Dalam hukum administrasi, penjatuhan sanksi pemecatan merupakan suatu upaya terakhir dalam penegakan disiplin PNS," ujarnya.
Busyra mengatakan, berdasarkan fakta, Hayati mendapat izin dari atasan IAIN Bukittinggi atas ketidakhadirannya karena izin belajar di program doktor Universitas Negeri Padang sejak 2014 hingga 2017.
Hayati juga pernah meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude dengan IPK 3.83. Prestasi ini harusnya membanggakan IAIN Bukittinggi dan Kementerian Agama.
Namun, menurutnya, meskipun tak hadir, Hayati tetap menjalankan perannya sebagai dosen sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu mengajar, melakukan penelitian, melakukan pengabdian masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Sekalipun Hayati tidak masuk kerja, tugas mengajarnya selalu dipenuhi. Bahkan Hayati tetap bisa melayani mahasiswa dalam bimbingan tugas akhir dengan menyediakan waktu konsultasi dikala mahasiswa butuh. Semua itu dapat dibuktikan dengan adanya laporan beban kerja dosen dan laporan kinerja dosen," ujanrya.
Ia menyebut, ketidakhadiran yang dipermasalahkan Kementerian Agama terjadi pada 2017. Permasalahan ini terkesan ada kaitannya dengan sanksi yang diterima Hayati karena menggunakan cadar.
Hayati pernah diperiksa dan dinonatifkan karena menggunakan cadar di lingkungan kampus pada 2018. Penggunaan cadar dinilai pihak Kampus sebagai suatu yang radikal dan ekslusif.
"Selain itu penggunaan cadar juga dikaitkan dengan pelanggaran UUD, pancasila, sumpah PNS dan kode etik dosen yang pada faktanya penggunaan cadar ini sama sekali tidak memiliki hubungan dengan substansi aturan yang dimaksud," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Busyra mengatakan, pelarangan bercadar merupakan salah satu bentuk penyimpangan terhadap hak warga negara dalam menjalankan agamanya yang telah dijamin Pasal 29 UUD 1945.
Bentuk upaya paksa pelarangan bercadar tersebut, kata dia, dilakukan Kementerian Agama melalui penjatuhan sanksi pelanggaran disiplin PNS dengan prosedur yang cacat dan tidak berdasar. (Zada)