news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Eks Kadis di Sumbar Bantah Terima Dana Korupsi SPJ Fiktif

Konten Media Partner
17 April 2018 7:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Langkan.id, Padang - Mantan Kepala Dinas Prasarana Jalan, Tata Ruang dan Pemukiman (Prasjaltarkim) Provinsi Sumbar, Suprapto dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Padang dalam sidang korupsi Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Fiktif senilai Rp 62,5 miliar. Dalam kesaksiannya, Suprapto membantah menerima dana tersebut.
ADVERTISEMENT
Dihadapan Mejelis hakim, Suprapto dengan tegas mengatakan proyek pembebasan lahan untuk pembangunan strategis tersebut merupakan proyek nasional dan dibiayai APBN. Dia tidak tahu proyek tersebut akhirnya dibiayai APBD.
“Saya mengetahui ini dibiayai APBD, saat masuknya dana Rp 30 miliar dalam anggaran perubahan tahun 2012. Karena ini adalah jalan nasional, maka seharusnya anggaran dari APBN tidak dari APBD. Saya sudah sampaikan dalam rapat bersama gubernur, tapi proyek ini tetap saja dilaksanakan,” kata Suprapto dalam kesaksiannya, Senin (16/4/2018).
Sebagai kepala dinas, Suprapto pernah menyampaikan ke gubernur tentang kewenangan kegiatan tersebut, namun gubernur tetap menjalankanya dan menyampaikan kegiatan tersebut menjadi tanggungjawab provinsi. Akhirnya dana tersebut masuk ke rekening dinas Suprapto pada pengujung 2012.
ADVERTISEMENT
“Seharusnya untuk proyek ini ada izin dari Menteri Keuangan agar proyek nasional bisa dibayai daerah, itu pun kalau daerahnya kaya. Tetapi Sumbar bukan termasuk daerah yang APBD-nya besar. Setahu saya Menteri Keuangan tidak pernah mengeluarkan izin untuk itu,” lanjutnya.
Dia mengatakan, dalam pelaksanaan proyek ganti rugi tanah tersebut dibentuk tim 9 oleh Walikota Padang dan Bupati Padang Pariaman. Namun, gubernur juga menyiapkan tim percepatan yang dipimpin oleh Syafrizal yang saat itu menjabat Biro Pemerintahaan sebagai koordinator pelaksana.
“Pembentukan tim percepatan itu dasarnya saya tidak tahu. Setahu saya tidak ada aturan itu, karena potensial ada duplikasi kewenangan di sana. Faktanya memang tim bentukan provinsi tersebut berperan lebih dominan di sana, sampai-sampai menunjukkan mana yang boleh dibayarkan, mana yang tidak,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Dia juga menyebut tim percepatan dari provinsi saat itu langsung berkoordinasi dengan Yusafni yang kini jadi terdakwa. Dia juga tidak mengetahui ada kwitansi dan dokumen lain dipalsukan, karena tidak ada laporan atau pengaduan yang diterimanya sebagai kepala dinas.
“Setiap bulan kami selalu ada rapat progres di dinas, tetapi tidak pernah ada laporan terjadi masalah. Setiap tahunya, laporan itu ada dan dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Saya perintahkan, 14 hari setelah ganti rugi harus dilakukan eksekusi, di Jalan Samudra tersebut, hanya lima orang yang memiliki sertifikat, itu telah dibayarkan. Sisanya, tidak ada sertifikat, maka tidak ada dibayarkan ganti ruginya,” ucap Suprapto.
Terkait pembuatan rekening penampungan pada Bank Mandiri pada 2012, dia mengaku memberi izin untuk membuka rekening tersebut, karena kondisi mendesak dan telah berkonsultasi dengan kepala DPKA Sumbar, Zul Evi Astar.
ADVERTISEMENT
“Waktu itu Yusafni dan beberapa orang panitia menghadap saya, meminta izin untuk buka rekening di Bank Mandiri, karena kalau masih tetap direkening dinas karena sudah diakhir tahun maka sisinya akan ditarik langsung oleh pusat. Saya izinkan, dengan alasan mendesak dan program sedang berjalan, hanya di akhir 2012 itu, tidak untuk tahun-tahun selanjutnya,” ujarnya.
Namun, kenyataanya rekening tersebut masih dipergunakan hingga beberapa tahun berikutnya. Hal tersebut tidak diketahui Suprapto. Dia tidak mengetahui adanya temuan kwitasi fiktif oleh BPK yang merugikan negara Rp 62,5 miliar tersebut. Suprapto pun membantah menerima dalam bentuk uang ataupun barang.
“Saya bersumpah demi Allah, saya tidak pernah menerima dalam bentuk apa pun dari pengadaan lahan. Kalau saya ada menerima, mulai hari ini juga detik ini juga saya jadi orang kafir,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Terkait satu unit mobil Hyundai Tucso yang diterimanya, Suprapro mengakui barang tersebut memang ada pada dirinya hingga saat ini. Namun, mobil tersebut adalah milik negara yang dibeli berdasarkan peket pemeliharaan jalan.
“Yusafni di samping PPTK juga kasatker pemeliharaan jalan nasional. Saat itu ada paket, saya sedang berunding pengadaan mobil dengan kabid. Yusafni sebut bisa pakai APBN untuk pengadaan mobil tersebut, saya terima mobil itu dan memang menggunakan pakai plat hitam karena pengadaannya dilakukan pihak ketiga, jika sudah selesi maka mobil tersebut akan berplat merah,” kata dia.
Tidak hanya itu, Suprapto juga menyebut Yusafni pernah menemuinya. Saat itu Yusafni diminta seseorang untuk membantu biaya Pemilihan Gubernur tahun 2015, dengan dijanjikan menjadi kepala dinas di Padang Pariaman oleh mantan Wagub Sumbar, Muslim Kasim.
ADVERTISEMENT
"Waktu itu, saya sampaikan kepada Yusafni, status sebagai PNS jangan pernah terlibat politik praktis.Karena saya sangat emosi sehingga tidak menanyakan siapa yang memintanya seperti itu. Yusafni penah bilang dijanjikan menjadi kadis oleh Muslim Kasim,” terang Suprapto.
Dalam kasus korupsi SPJ fiktif ini, Suprapto didakwa ikut terlibat secara bersama-sama melakukan korupsi dengan Yusafni. Perbuatan itu dilakukan sejak tahun 2012 sampai 2016.
Kasus korupsi itu merugikan negara sebesar Rp 62,5 miliar. Yusafni sebagai aktor utama disebut menyalahgunakan kewenangan, serta membuat SPJ fiktif lebih dari satu.
Dia juga dianggap melakukan pengadaan tanah dengan cara memalsukan daftar nama pemilik tanah yang nantinya akan menerima ganti rugi, memotong anggaran, dan melakukan penggelembungan.
Uang hasil korupsi itu disebutkan JPU ditransfer ke sejumlah pihak dan dibelanjakan Yusafni. Khusus pemakaian pribadi, Yusafni setidaknya membeli mobil sebanyak 12 unit dalam kurun 2013 hingga 2016, termasuk sejumlah alat berat dan tanah di beberapa tempat. (Almurfi Syofyan)
ADVERTISEMENT