Pengamat Terorisme: Intelijen Tak Maksimal dalam Penanganan Teror Bom

Konten Media Partner
13 Mei 2018 14:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengamanan ledakan bom di Surabaya. (Foto: AP Photo/Trisnadi)
zoom-in-whitePerbesar
Pengamanan ledakan bom di Surabaya. (Foto: AP Photo/Trisnadi)
ADVERTISEMENT
Langkan.id, Padang - Rentetan aksi teror pascarusuh di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok terus terjadi. Setelah penusukan anggota Brimob, kini tiga ledakan serentak terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari kejadian di negara lain, serangan teror terjadi akibat kinerja yang gagal dari intelijen. Pengamat Terorisme UIN Imam Bonjol Padang, Muhammad Nasir, menyebut biasanya pejabat instansi terkait mengundurkan diri atau dimutasi karena gagal mencegah serangan teror.
"Makanya di Jepang atau Prancis, bila terjadi serangan teror, pimpinan densus, kepala kepolisian banyak yang mundur atau dimutasi. Alasannya, aksi pre-emptive gagal, intelijen tak bekerja maksimal," kata Nasir kepada Langkan.id, Minggu (13/5).
Nasir menyebut, Indonesia selalu mengedepankan langkah pencegahan dan penindakan terlebih dulu dalam penanganan teroris. Langkah tersebut merupakan tanggung jawab Polri, TNI, dan intelijen.
"Indonesia adalah pengamal mazhab preventive dan pre-emptive actions dalam penanganan teror. Tingkat preventive ada BNPT dengan program-programnya. Tingkat pre-emptive ada seluruh unit pengamanan keamanan, TNI, Polri, intelijen wabilkhusus Densus 88," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Nasir menyebut, sangat jarang aparat yang mengakui kekurangannya dalam penanganan teror di Indonesia. Mereka cenderung melindungi diri.
"Di sini, aparat keamanan tak punya malu. Hobi ngeles dan tak mau ngaku ada kelemahan dalam kinerjanya. Fokusnya terlalu ke arah pelaku, cenderung self defence," pungkasnya. (Abewe)