Sebenarnya, Tak Ada Kejutan di Piala Dunia 2018

Konten Media Partner
17 Juli 2018 19:27 WIB
Replika trofi Piala Dunia 2018. (Foto: Lee Smith/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Replika trofi Piala Dunia 2018. (Foto: Lee Smith/Reuters)
ADVERTISEMENT
Betul itu. Tak ada kejutan di Rusia. Kalau pun ada, itu hanya dalam kepala fans. Mereka ingin melihat timnya ada di setiap laga. Dan menang di setiap turnamen.
ADVERTISEMENT
Atau, kejutan hanya ‘dagangan’ FIFA, agar helat mereka terlihat berhasil. Sukses. Badan tertinggi sepak bola dunia itu memang memerlukannya, agar tiga perempat penduduk bumi ini tetap menyaksikan setiap event.
Satu lagi, yang butuh kejutan itu bandar judi, agar petaruh goyah.
Dari sisi permainan, sepak bola itu sendiri yang juara di kontestasi ke-21 ini. Sejak memasuki alaf baru segala sisi sepak bola ditingkatkan. Dan yang paling teratas adalah taktik. Baik dari segi permainan, performa. Hal-hal di luar itu, kelakuan pemain, teknologi, ‘mendidik’ psikologis pemain, juga diperhatikan. Semua untuk berjalannya taktik di atas lapangan.
Dan itulah mestinya kejutan abadi di setiap Piala Dunia.
Pembukaan Piala  Dunia 1994 (Foto: CHRIS WILKINS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Pembukaan Piala Dunia 1994 (Foto: CHRIS WILKINS / AFP)
Istilah ‘gelandang angkut air’, ‘flank’, ‘false 9’ hadir untuk membongkar kejumudan taktik yang berlangsung sampai Piala Dunia 1994. Brasil juara, tapi itu turnamen terburuk yang pernah ada.
ADVERTISEMENT
Dunia sempat khawatir ketika Brasil selesai dengan keindahan absolut di 1970. Apa lagi yang bisa dilakukan bola, ketika ‘malaikat-malaikat’ seperti Jairzinho, Carlos Alberto, dan Pele, selesai melayang-layang di lapangan rumput?
Bola tak lama menjawab. Hanya 4 tahun. Bahkan dua tahun sebelumnya. Saat sebuah klub bernama Ajax Amsterdam memperkenalkan Total Football. Tak hanya itu, Jerman (Barat) juga memperkenalkan Ramba Zanga yang kemudian disebut sebagai ‘Taktik Abad-21’.
Keduanya bertemu di final 1974. Ramba Zanga menang.
Edisi berikutnya, Total Football kembali ke final. Kali ini bertemu dengan Tango. Luis Cesar Menotti tak sekadar mencomot istilah, tetapi menerapkan dalam pertandingan. Lihatlah gol kedua Mario Kempes. Bak penari Tango, ia meliuk untuk menciptakan getaran di jala.
ADVERTISEMENT
Filosofi Total Football sendiri baru menemukan tubuhnya di Piala Eropa 1988. Rinus Michels, sang filosof, sesunggukan bahagia melihat gol 'tendangan pelangi' Marco van Basten dan 'tandukan banteng' Ruud Gullit.
Piala Dunia sesudahnya adalah neraka, kecuali 1986. Tango kembali dan merengkuh piala. Dan ingat, bukan karena kebesaran hati Diego Maradona semata. Tetapi kejelian Carlos Bilardo yang meminta 'Si Boncel' mengalah tak menjadi bintang sendiri.
Maradona pada laga Piala UEFA 1988. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Maradona pada laga Piala UEFA 1988. (Foto: AFP)
Umpan magisnya pada Jorge Valdano di menit 86 akan diingat Jerman (Barat) sebagai pisau tipis teramat tajam yang mengiris sejarah indah mereka di Piala Dunia. Toh, tanpa jadi pencetak gol terbanyak, Maradona mendapat kucuran sinar mentari Meksiko paling terang.
Dua Piala Dunia berikutnya jadi masa kekelaman abad modern bola. Para pelatih hanya menerapkan satu taktik dan itu dipakai sepanjang pertandingan. Jika dalam kondisi unggul, permainan diulur. Oper ke kiper, oper ke bek, kiper, bek, kiper, bek. Sungguh membosankan. Dan betapa miskinnya strategi waktu itu.
ADVERTISEMENT
Untunglah, 1998 datang. Fajar baru bagi filosofi dan taktik. Yang tidak ikut, tersingkir, contoh Italia.
Cesare Maldini punya Baggio dan Del Piero. Tapi, ia enggan memakai keduanya. Azzuri disingkirkan 'Le Blues Prancis' di perempat final. Banyak yang menganalisis, itu kekalahan taktik bukan potensi pemain. Taktik Cesare sudah usang. Baiknya disimpan dalam gudang.
Aime Jacquet, pelatih Prancis waktu itu, sadar betul memiliki Zinedine Zidane. Tapi, ia enggan meletakkannya sebagai sentral. Bagi Aime, tim adalah segalanya. Bahkan ketika politik ‘darah murni’ menyerang, ia berada paling depan dalam membela anak asuhnya.
Di final, siapa yang menyangka mereka akan menang tiga gol tanpa balas saat menghadapi Brasil? Ingat, Brasil datang ke Prancis sebagai status juara dunia dan diisi pesohor bola.
ADVERTISEMENT
Setiap tim butuh pemain bintang. Soalnya, bagaimana mengeluarkan cahayanya agar cemerlang? Itu butuh taktik. Itu pula yang disadari Luis Scolari saat menukangi Brasil 2002. Datang sebagai underdog di Korsel-Jepang, Scolari menjadikan lini tengah dan belakang sebagai tembok tebal.
Brasil, juara Piala Dunia FIFA 2002 (Foto: AFP Photo/Odd Andersen)
zoom-in-whitePerbesar
Brasil, juara Piala Dunia FIFA 2002 (Foto: AFP Photo/Odd Andersen)
Kebebasan ala 'burung kenari' di masa lalu hanya diberikan kepada Ronaldo-Rivaldo-Ronaldinho. Itu pun dengan pesan: jangan melupakan pertahanan! Maka Cafu-Carlos melintas-lintas dari sisi luar menyisir pertahanan lawan, lalu sekonyong-konyong sudah berdiri di pertahanan sendiri.
Lalu, dari mana lawan akan masuk, ketika Gilberto selalu menghentikan serangan dari tengah dan mesti menghadapi dua tiang tinggi Edmundo-Lucio untuk duel udara?
Jika taktik yang mesti berkuasa dan memiliki potensi kejutan, kenapa kita harus ternganga saat Italia dan Belanda tersingkir sebelum final sebenarnya dimulai?
ADVERTISEMENT
Italia selesai di 2006. Pencarian Marcello Lippi terhadap ‘ruang jelajah’ menemukan puncaknya. Ia melakukan dengan memakai seluruh pemain yang dibawa ke Jerman. Lawan selalu terlambat menganalisis pemain baru yang diturunkan mantan pelatih Juventus itu.
Ia tak ragu memakai Piero-Totti dalam satu bingkai. Duet Cannavaro-Matterazi jadi ideal mengawal lini pertahanan. Seluruh strategi disesuaikan dengan lawan yang akan dihadapi.
Ia menyuntikkan macam-macam motivasi. Termasuk provokasi. Semua dilakukannya agar mental pemain yang didera kasus Calciopoli ‘tersembuhkan’. Italia sempat seksi di Piala Eropa 2012 dan 2016. Sempat pula mencegah final ideal Spanyol-Jerman di 2012. Namun, Tiki-Taka sedang berada di puncaknya.
Andai Louis van Gaal masih melatih Belanda, aib ini tak akan muncul. Di Brasil 2014, Belanda sampai ke semifinal. Namun, serangan dari luar datang. Van Gaal dianggap mencabut tradisi Total Football dari akar permainan 'Oranye'.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana saya akan memainkannya (Total Football)?” sanggah Van Gaal, “saya tak punya Johan Cryuff.”
Anehnya, serangan tak menjadi-jadi saat Bert van Marwijk tidak memakai sistem ini sewaktu masuk final Afrika Selatan 2010.
Lalu, Argentina. Oh, Argentina, harusnya mereka tersingkir di fase grup agar lebih cepat sadar betapa tak majunya strategi yang mereka mainkan dalam tiga edisi terakhir. Maradona-Messi muncul jadi duet pelatih-pemain di 2010. Duo itu bahkan bisa melawan 'Pasukan Thanos'.
Tapi, Maradona gila menyerang. Ia menaruh Sergio Arguero, Gonzalo Higuain, Carlos Tevez, dan Lionel Messi dalam satu skema. Belum lagi sayap-sayap lincah seperti Ezequiel Lavezzi dan Angel di Maria.
Sebelum menghadapi Jerman, Tango adalah tim dengan sebelas pemain yang punya gerigi di sepatunya. Tapi, 'Panser' tahu cara menghabiskan oli di sepatu anak asuh Maradona dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Alejandro Sabella mengulangi kesalahan yang sama di 2014. Kali ini di final. Memang, Sabella tak memasang lima pemain berhawa penyerang. Tapi, menjadikan Messi sebagai poros.
Joachim Loew membuat kerangkeng dua lapis untuk 'Si Kutu'. Mulai dari Bastian Schweinsteiger, Sami Kheidira sampai Phillip Lahm. Messi mati kutu. Jerman meraih gelar keempatnya.
Jerman juara Piala Dunia 2014. (Foto: FIFA)
zoom-in-whitePerbesar
Jerman juara Piala Dunia 2014. (Foto: FIFA)
Entah apa yang ada dalam pikiran Jorge Sampaoli kali ini. Kenapa ia begitu enggan memasang Messi-Dybala? Kejadian 1-1 dengan Islandiakah penyebabnya?
Alumnus Prancis 1998, Bixente Lizarazu, menyebut Tango 2018 memiliki masalah internal. Dan kita tak perlu menduganya. Messi tetap simalakama. Terutama untuk timnas. Hari ini bukan zaman Messiah lagi. Siapa yang masih percaya, niscaya akan terlempar.
Siapa pun pelatih Argentina berikutnya mesti meminta Messi bukan lagi jadi penyerang-pengumpan. Messi harus jadi pemimpin sejati. Seperti Maradona yang mau berkompromi jadi pengumpan di laga yang tepat.
ADVERTISEMENT
Lalu, benarkah Jerman terpapar kutukan? Tak ada kutukan di zaman kontemporer. Apalagi untuk taktik bola.
Loew terlambat menyadari kebekuan taktiknya. Ia terlalu fokus membina anak muda. Padahal, calon lawan yang akan dihadapi ratusan kali menonton permainan anak asuhnya.
Satu pertanyaan tersisa, kenapa Loew tidak membawa Leroy Sane? Inggris dan Belgia maju ke semifinal karena ada pemain Manchester City dan Tottenham Hotspurs di dalamnya. Media menyebut, polesan Joseph Guardiola dan Mauricio Pochettino yang membuat hal itu terjadi.
Spanyol? Bagaimana kita berharap banyak pada sebuah kesebelasan yang mengganti pelatih dua hari sebelum kick-off? Jika pelatihnya masih Julen Lopetegui, El Matador punya kesempatan.
Soalnya bukan pada pola. Di 2014, Vicente del Bosque terlalu keras kepala memainkan gaya 2010. Pemainnya masih sama, tapi semangatnya sudah beda. Dan Del Bosque ragu memainkan pemain mudanya.
ADVERTISEMENT
Metode High-pressing makin mendapatkan tempat. Pemain tengah ditumpuk sampai empat di pola 3-4-3 dengan kemungkinan dua winger juga bermain sebagai penahan bola pertama begitu tim mendapat serangan.
Sergio Basquet jelas tak mampu lagi menjelajahi ruang sedemikian luas dengan pemain lawan yang bertambah banyak. Xavi juga sudah pensiun. Iniesta cenderung lebih ke kiri. Marco Asensio adalah pilihan tepat. Selain muda dan bertenaga, 'Young Guns' Real Madrid itu mau bertempur di lapangan tengah.
Sayang, Fernando Hierro belum mampu menemukan kimiawi tim. Tepatnya, tidak cukup waktu.
Dan Brasil. Trauma 2014 belum sembuh sempurna. Kalah dengan skor terbanyak sepanjang sejarah jelas tak mudah diobati.
Neymar sebagai bintang utama bertambah trauma dengan cedera. Makanya, mahfum saja, ia guling-guling walau hanya tersentuh sedikit saja. Dan jadi olok-olok di media sosial.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, secara permainan, Tite berhasil. Willian paling berkembang. Neymar tak melulu jadi target umpan. Sayang, Selecao belum punya penyerang sekelas Ronaldo. Gabriel Jesus perlu jam terbang lebih. Mungkin di Qatar nanti ia menemukan peak performance-nya. Dan Tite terlalu fokus menyembuhkan trauma Neymar.
Pada Kroasia, Piala Dunia jadi berwarna. Mereka selalu jadi kuda hitam di setiap turnamen. Franz Beckenbauer pernah bilang bercita-cita memiliki pemain yang ‘suka makan rumput’. Dan itu ada pada tim Kroasia.
Selintas, permainan mereka terlihat chaos. Tapi, dari complete disorder and confuse itulah lahir sebuah taktik lihai. Pola mumpuni hari bukan mengubah pola dalam setiap pertandingan, tapi mengubahnya dalam pertandingan. Lawan Inggris sebagai misal.
Sempat tertinggal 0-1, Zlatko Dalic langsung mengubah formasi dari 4-3-3 ke 4-1-4-1. Akibatnya, area main lebih tinggi. Luca Modric lebih punya ruang berkreasi setelah tak sempat dimatikan.
Aksi Luka Modric di laga menghadapi Inggris. (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Luka Modric di laga menghadapi Inggris. (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
Sisi sayap kanan lebih hidup. Sehingga perhatian gelandang Inggris terpecah. Sime Vrsaljko aktornya.
ADVERTISEMENT
Saat para pemain bertahan lawan berusaha meredam tiga penyerang dan gelandang bertahan harus berhadapan dengan Modric dan Rakitic, justru para pemain fullback terbukti dapat menjadi sosok kunci. Dengan lini depan seperti Mandzukic, Perisic, Ante Rebic, dan Andrej Kramaric, Timnas Kroasia jadi sangat mematikan, demikian analisis Irfan Subhan di laman pikiranrakyat.com.
Pelatih kepala Tim Nasional Kroasia, Zlatko Dalic, mengatakan kisah indah Kroasia melenggang ke final Piala Dunia merupakan ”keajaiban” sepak bola yang dibangun dengan dasar kerja sama dan kesatuan yang membuat mereka mampu menyingkirkan tim-tim dengan talenta individu yang brilian.
”Ini Piala Dunia paling aneh. Tim mana pun dapat memiliki pertahanan yang terorganisasi dengan baik sehingga tidak ada selisih kemenangan yang sangat besar. Tim adalah segalanya. Kami memiliki individu-individu hebat dan itulah mengapa saya membangun kesatuan yang menjadi tujuan tim,” tutur Dalic seperti dilaporkan Reuters dan termaktub dalam laman yang sama.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, bola permainan taktik bukan individu.
Kroasia bermain baik, tapi Prancis yang mengangkat piala. Pemain Kroasia, Dejan Lovren, bilang, Prancis hanya menunggu dengan serangan balik dan kelengahan mereka. Tapi, bukankah itu taktik? Dan Didier Deschamp tidak hanya menunggu. Ia menyiapkan arus serangan bawah yang amat dahsyat.
Timnas Prancis mengangkat trofi Piala Dunia 2018 (Foto: Kai Pfaffenbach/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Prancis mengangkat trofi Piala Dunia 2018 (Foto: Kai Pfaffenbach/REUTERS)
Didier sadar, melawan belahan jiwa Kroasia Modric-Rakitic tidak bisa langsung dari tengah. Meski ia sudah meminta Paul Pogba menjadi deep playmaker.
Matuidi diminta main lebih ke kiri. Begitu juga Pogba, main lebih ke kiri, untuk meredam fullback Kroasia. Pogba juga diberi tugas khusus: setelah mendapat bola, sebisanya langsung mengumpan ke Kylian Mbappe.
Mbappe, pemain muda memesona itu, disebut sebagai pelari hebat ke dalam kotak pinalti. Setelah Kroasia lelah menjelang menit 60, Mbappe mengoyak-ngoyak pertahanan Kroasia. Deschamps tidak hanya mengubah taktik di setiap dan dalam permainan, tapi memperhitungkan detailnya.
ADVERTISEMENT
Saat menang susah payah melawan Australia, Deschamps mengistirahatkan Dembele. Ia memasukkan Oliver Giroud sebagai penyerang (pemantul lebih tepat) dan menjadikan Antoine Griezman sebagai freerole.
Giroud begitu percaya pada pelatihnya. Sehingga, tak menembakkan satu shoot on goal pun sepanjang turnamen, ia mendapatkan piala yang tak semua pemain kelas dunia pun bisa merengkuhnya. Termasuk, Messi dan Ronaldo.
Apakah Kroasia kalah taktik? Tidak, Kroasia kalah matang. Sebuah ‘taktik’ yang juga diperhitungkan oleh pelatih mana pun. Ingat, Dalic baru saja menagani tim usai play-off.
Sejak tersingkir 2010, Prancis mempersiapkan skuad sebaik-baiknya. Tersingkir oleh Jerman di 2014, kritikus meramal, Prancis-lah yang akan juara di 2018. Sebabnya, pemain muda yang dimiliki.
Prancis juara dengan plus: Rata-rata umur pemainnya 26 tahun. Mereka masih punya kesempatan untuk menjadi negara pertama merebut piala dunia dua kali beturut-turut usai era Jules Rimet.
ADVERTISEMENT
Deschamps juga meniru cara Aime dalam mendidik anak asuhnya. Usia muda pemain membuat Deschamps memilih sifat kebapakan.
Giroud pindah ke Chelsea setelah berbincang dengannya. Pogba yang jadi gelandang serang diyakinkan jadi holding-midfileder. Griezman lebih banyak mencetak gol dari titik putih, tapi pergerakannya membuat alarm bahaya berbunyi di daerah pertahanan lawan.
Apakah Deschamps saja yang melakukan? Tidak. Hampir seluruh tim.
Jadi, kalau ada yang kalah, pasti ada yang salah dalam taktik dan pendukungnya. Bukan karena kutukan atau keberuntungan. Keberuntungan hanya hal yang datang setelah seluruh proses dilakukan dengan benar.
Jadi, sekali lagi, kejutan mana yang dimaksud?
(Penulis: S Metron Masdison)