Tidak Hanya di Padang, KPAI Catat Ada 5 Kasus Intoleransi di Indonesia

Konten Media Partner
26 Januari 2021 15:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komisioner bidang pendidikan Retno Listyarti saat konferensi pers tentang KPAI di awal 2019 mencatat banyaknya kasus-kasus anak di bidang pendidikan, Jakarta, Jumat (15/2/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Komisioner bidang pendidikan Retno Listyarti saat konferensi pers tentang KPAI di awal 2019 mencatat banyaknya kasus-kasus anak di bidang pendidikan, Jakarta, Jumat (15/2/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berharap kasus yang terjadi di SMKN 2 Kota Padang, Sumatera Barat, menjadi pintu masuk untuk pembenahan dan evaluasi berbagai aturan di sekolah di Indonesia yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
ADVERTISEMENT
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan dari banyak survey dan penelitian juga memberikan fakta lapangan bahwa terjadi praktik-praktik intoleransi di sekolah di berbagai daerah di Indonesia.
"Berbagai penilitian terkait ada atau tidaknya  praktik intoleransi di sekolah dilakukan oleh beberapa lembaga, diantaranya adalah Setara Institute dan Wahid Institute," kata Rento dari keterangan tertulisnya, Selasa 26 Januari 2021.
 
Ia menyebutkan dari hasil penelitian dari Wahid Institute, sebagian guru, termasuk kepala sekolah, cenderung lebih memprioritaskan kegiatan ataupun nilai-nilai agama mayoritas saja. 
Selain itu, sebagian guru juga dinilai tidak dapat membedakan antara keyakinan pribadinya dengan nilai dasar toleransi yang seharusnya ia ajarkan ke muridnya.
Hal ini salah satunya terjadi di Bali pada tahun 2014. Pada saat itu terjadi kasus pelarangan penggunaan jilbab di beberapa sekolah seperti SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar.
ADVERTISEMENT
Selain itu Juni 2019 lalu, surat edaran di Sekolah Dasar Negeri 3 Karang Tengah, Gunung Kidul, Yogyakarta, menimbulkan kontroversi karena mewajibkan siswanya mengenakan seragam Muslim.
Intoleransi juga sempat terjadi di SMAN 8 Yogyakarta karena kepala sekolahnya mewajibkan siswanya untuk mengikuti kemah di Hari Paskah.
Protes yang dilakukan sebelumnya oleh guru agama Katolik dan Kristen tidak ditanggapi oleh kepala sekolah yang pada akhirnya mengubah tanggal perkemahan setelah ada desakan dari pihak luar.
Pada awal tahun 2020, seorang siswa aktivis Kerohanian Islam (Rohis) SMA 1 Gemolong, Sragen, merundung siswi lainnya karena tidak berjilbab. Kasus tersebut kemudian viral dan menarik begitu banyak perhatian.
"Pada akhirnya siswi yang dirundung pindah sekolah ke kota lain, karena ia merasa tidak aman dan nyaman dengan cara temannya yang terlalu jauh memasuki privasi dirinya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kasus itu memprihatinkan, apalagi terjadi di sekolah negeri. Sekolah semestinya menjadi tempat yang paling aman dan nyaman untuk tumbuh kembang anak.
Potensi intelektual dan spiritual (keagamaan) di asah sedemikian rupa hingga kelak menjadi bekal bagi dirinya untuk hidup di masa depan. Nyatanya, sekolah terkadang menjadi tempat yang tidak ramah bagi siswa yang berbeda.
Dari berbagai kasus intoleransi dan diskriminasi yang terjadi di sekolah, maka KPAI mendorong pengarusutamaan nilai-nilai kebhinekaan di sekolah-sekolah negeri.
"Sekolah harus menjadi tempat strategis membangun kesadaran kebhinekaan dan toleransi. Upaya-upaya yang bisa dilakukan dengan peningkatan kapasitas kepala sekolah, guru-guru, termasuk pejabat di dinas pendidikan atau kementerian pendidikan,” ucap Retno.
Menurutnya harus ada partisipasi orang tua murid untuk memastikan agar anak-anak mereka tidak mengalami diskriminasi atau mengambil jalan pemahaman intoleran.
ADVERTISEMENT
Mereka bisa melaporkan kasus-kasus diskriminasi kepada lembaga pengawas eksternal seperti Ombudsman atau organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu ini.
"Bisa pula memaksimalkan peran forum guru. Forum guru bisa menjadi tempat di mana mereka bisa bersama-sama mencari solusi membangun nilai-nilai toleransi,” sebutnya.