Perang Israel-Palestina: Konflik Berbasis Identitas atau Politisasi Budaya?

Larasati Hidiaputri
Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
7 April 2024 0:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Larasati Hidiaputri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Konteks Sejarah

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik antara Israel dan Palestina memiliki akar sejarah yang kompleks. Pertentangan dari kedua belah pihak yang telah berlangsung sejak lama ini pun makin menajam akibat intervensi dari berbagai aktor eksternal. Titik balik yang mentransformasi konflik ini terjadi pada tahun 1948. Setelah kekuasaan Inggris di wilayah Palestina berakhir, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya. Kemerdekaan ini didasarkan pada Deklarasi Balfour tahun 1917 oleh Inggris yang menjanjikan homeland atau tanah air kepada bangsa Yahudi. Keputusan Israel ini didukung oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi isu karena Inggris juga berjanji untuk mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Arab, termasuk Palestina, di wilayah bekas kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah. Namun, Inggris menjustifikasi bahwa pembentukan negara Israel bukan merupakan pelanggaran terhadap komitmen sebelumnya karena Korespondensi McMahon-Hussein tidak secara spesifik menyebut nama “Palestina”. Alhasil, terjadi perang antara Israel dan negara-negara Arab di sekitarnya pada 1948. Seiring dengan berjalannya perang, ratusan ribu orang Palestina terpaksa dan dipaksa untuk pindah secara massal oleh milisi Zionis. Peristiwa eksodus ini dikenal dengan nama “Nakba” atau bencana.
Pada tahun 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 194. Resolusi ini kemudian menjadi basis dan memberikan hak bagi orang Palestina untuk kembali ke tempat asalnya. Dalam beberapa dekade berikutnya, parameter yang terkandung dan mengatur kepulangan pengungsi dalam Resolusi tersebut menjadi bahan perdebatan.
ADVERTISEMENT
Dari 1948 sampai 1967, mayoritas negara-negara Arab di Timur Tengah membela kedaulatan dan mendukung kemerdekaan Palestina. Namun, hal ini mulai berubah sejak terjadinya Perang Enam Hari tahun 1967. Wilayah negara-negara tetangga, seperti Peninsula Sinai dan Dataran Tinggi Golan, dikuasai oleh Israel. Pada akhirnya, Dewan Keamanan PBB pun mengeluarkan Resolusi 242. Resolusi ini menyatakan bahwa Israel perlu keluar dari wilayah yang didudukinya selama perang. Selain itu, Israel juga perlu mengehentikan peperangan dan menghormati serta mengakui kedaulatan politik dari setiap negara di wilayah perang dan hak untuk hidup damai. Resolusi ini menciptakan konsep “land for peace”. Ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab mulai mereda setelah Perjanjian Camp David. Pada sisi lain, terdapat ambiguitas dukungan yang diberikan oleh negara-negara Arab terhadap kemerdekaan Palestina.
ADVERTISEMENT
Selnjutnya, sejumlah negosiasi dan perjanjian dilakukan dalam upaya untuk meredakan konflik antara Israel dan Palestina. Salah satu yang signifikan adalah Perjanjian Oslo pada tahun 1993. Melalui perjanjian ini, Israel dan Palestinian Liberation Organization (PLO) setuju untuk membentuk badan otoritas sementara yang akan memerintah Palestina, terutama di Gaza dan Tepi Barat. Israel juga setuju untuk keluar dari sebagian wilayah di Tepi Barat, meskipun pemukiman atau settlements warga Israel akan tetap diawasi oleh tentara militer Israel.
Meskipun terdapat berbagai upaya secara terus-menerus untuk mewujudkan perdamaian, seperti Perjanjian Camp David, Perjanian Oslo, dan bahkan Perjanjian Abraham pada tahun 2020, konflik terus berlanjut. Komitmen Israel untuk mematuhi perjanjian-perjanjian sebelumnya memudar. Pada tahun 2000an, Israel mulai membangun tembok-tembok di Tepi Barat. Tembok-tembok yang katanya ditujukan untuk mengamankan pemukiman Israel, justru membatasi warga Palestina dalam mengakses kebutuhan sehari-harinya. Tembok pembatas dan pos-pos keamanan yang dibangun oleh Israel juga menghambat aktivitas perdagangan dan mobilitas warga Palestina. Sejumlah serangan juga dilakukan oleh pihak Israel di wilayah Palestina dan terhadap warga Palestina secara masif tanpa memperhatikan hukum internasional.
ADVERTISEMENT

Konflik Israel-Palestina melalui Lensa Orientalisme

Konflik Israel-Palestina ini dapat dikaji melalui perspektif Orientalisme. Orientalisme menjadi pintu pembuka terhadap studi pascakolonial. Perkembangan Orientalisme dilatarbelakangi oleh makin besarnya pengaruh Islam di dunia. Jatuhnya Konstantinopel pada 1453 dan perluasan wilayah Kesultanan Utsmaniyah menjadi ancaman bagi Barat. Menurut Edward Said, Orientalisme merupakan istilah yang dikaitkan dengan the Orient (masyarakat non-Barat atau Timur) yang diamati dan dijelaskan dalam arti tertentu yang diciptakan oleh bangsa Eropa dan negara-negara Barat. Seorang orientalis adalah siapa pun yang mempelajari atau mengajarkan mengenai masyarakat Timur secara sistematis. Orientalisme sendiri didasarkan pada perbedaan yang dikonstruksi antara dunia Barat dan Timur. Karena Orientalisme memposisikan sejarah Timur dari sudut pandang Barat, studi tentang masyarakat Timur perlu dipahami dengan memperhitungkan konteks historis dan peran kekuasaan kolonial Barat yang besar.
ADVERTISEMENT
Diskursus di Eropa dan Amerika Serikat mengenai Orientalisme menciptakan adanya disiplin yang secara sistematis mengelola dan bahkan, memproduksi kebudayaan Timur dari segi politik, sosiologi, militer, ideologi, ilmiah, dan imajinasi, terutama setelah Abad Pencerahan. Studi formal mengenai Timur berkontribusi terhadap terbentuknya ideologi dan pada akhirnya, menjadi justifikasi untuk agenda kolonial dari Barat dalam upaya untuk mendominasi masyarakat Timur. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Orientalisme bukan hanya khayalan belaka oleh bangsa Barat terhadap masyarakat Timur, melainkan juga teori dan praktik yang melibatkan adanya investasi materiel dari negara-negara kolonial.
Said menyatakan bahwa representasi Timur dalam teks sastra, catatan perjalanan, dan tulisan lainnya dari Eropa menciptakan dikotomi antara Eropa dan the other. The other atau “yang lain” di sini adalah masyarakat Timur. Orang-orang Eropa dianggap rasional, sedangkan masyarakat di Timur yang dijajah adalah sebaliknya. Timur adalah wilayah yang misterius dan penuh dengan orang yang imoral. Barat itu identik dengan kemajuan dan ilmu pengetahuan, sedangkan Timur dikaitkan dengan keterbelakangan. Seakan-akan, Timur adalah sesuatu yang selalu bertolak belakang dengan Barat.
ADVERTISEMENT
Salah satu orientalis yang ternama adalah Samuel Huntington. Melalui bukunya yang berjudul “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”, Huntington berargumen bahwa konfrontasi antarperadaban adalah tahap terakhir dalam evolusi konflik. Skenario konfrontasi yang paling mungkin terjadi adalah perang antara peradaban Barat dan Islam. Menurut tesisnya, Islam adalah agama yang agresif dan membawa ancaman terhadap dominasi Barat.
Dalam realitas, stereotip-stereotip terhadap bangsa-bangsa non-Barat dilanggengkan demi kepentingan Barat. Misalnya, penggambaran masyarakat Timur melalui film Hollywood yang penuh dengan klise, atau liputan berita pasca Perang Enam Hari yang memperlihatkan orang Arab sebagai pengungsi, pejuang gerilya, dan bahkan, teroris. Tidak hanya di Barat, identitas ras juga dipolitisasi oleh Pemerintah Israel. Alhasil, banyak pengikut Zionisme yang percaya bahwa umat Yahudi adalah pilihan Tuhan sehingga tidak mengakui kesetaraan antarbangsa. Misinterpretasi kitab agama Yudaisme juga tidak jarang ditemukan. Orang-orang Arab digambarkan sebagai “anak ular” yang kotor. Hal-hal ini mendorong proses dehumanisasi yang sistematis dan bersifat rasial terhadap warga Palestina oleh Pemerintah Israel.
ADVERTISEMENT
Penyederhanaan terhadap narasi-narasi sejarah menjadi berbahaya ketika dijadikan basis untuk praktik diskriminatif. Pelabelan suatu kelompok masyarakat dengan atribut yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil anggota dari kelompok tersebut mengabaikan fakta bahwa masyarakat Timur itu beragam dan tidak dapat dikotak-kotakkan. Kawasan Timur Tengah sendiri penuh dengan beragam kepercayaan serta tradisi. Oleh sebab itu, Konflik Israel dan Palestina tidak dapat sepenuhnya dipahami melalui perspektif satu pihak saja. Konflik ini bersifat multidimensi dan melibatkan berbagai macam faktor, seperti politik, budaya, sejarah, ekonomi, serta sosial.