Memaknai 8 Tahun UU Bantuan Hukum

Laras Susanti  Dosen Hukum
Dosen di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
1 Maret 2019 11:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laras Susanti Dosen Hukum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Delapan tahun berlalu sejak Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum) disahkan. Sejak diimplementasikan tahun 2013, jumlah penerima bantuan hukum bertambah. Tahun 2018, misalnya, BPHN mencatat bantuan hukum diterima oleh 90.642 orang.
ADVERTISEMENT
Jumlah Organisasi Bantuan Hukum (OBH) pun bertambah. Sampai dengan tahun 2018, 405 OBH melaksanakan peran sebagai pemberi bantuan hukum. Tahun 2019, jumlah penerima bantuan hukum diperkirakan bertambah, awal tahun 2019, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mengumumkan 332 OBH di atas mendapat akreditasi ditambah dengan 192 OBH baru.
Guna mendorong bantuan hukum yang lebih baik, refleksi atas implementasi bantuan hukum menjadi esensial. Tentu saja angka-angka di atas penting dijadikan rujukan. Pendekatan yang bersifat kuantitatif, sayangnya, seringkali menggiring kita pada analisis yang feriperal. Refleksi atas implementasi bantuan hukum haruslah merujuk pada pencapaian tujuan bantuan hukum.
UU Bantuan Hukum dalam Pasal 3 menyebutkan bantuan hukum bertujuan untuk pemenuhan hak penerima bantuan hukum atas akses keadilan, pelaksanaan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum bagi seluruh warga negara, pelaksanaan bantuan hukum yang merata di seluruh wilayah Indonesia, dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada konteks itu, setidaknya ada dua jenis masalah yang menghambat pencapaian empat tujuan di atas: substansi dan teknis.
ADVERTISEMENT
Masalah Substansi
Pertama, bantuan hukum belum berpihak pada keadilan bagi kelompok rentan. Kelompok rentan, contohnya perempuan dan anak, acapkali menjadi korban kekerasan. Sebut saja, catatan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), di tahun 2017, sebanyak 348.446 kasus kekerasan pada perempuan dilaporkan. Dari angka tersebut, 335.062 kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga.
Sementara itu, catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) menerima 3849 aduan kekerasan terhadap anak di tahun 2017. Jumlah yang signifikan di atas belum termasuk kekerasan yang terjadi tanpa dilaporkan ke instansi terkait maupun penegak hukum.
Realitasnya, dana bantuan hukum lebih difokuskan pada pendampingan litigasi. Untuk litigasi, dana bantuan hukum yang diberikan sebesar Rp.8.000.000,00 per perkara. Alokasi tersebut biasanya digunakan untuk kebutuhan representasi bagi pelaku. Bagi korban, bantuan yang diberikan biasanya berbentuk konsultasi hukum yang besarannya Rp.140.000,00 per pertemuan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, dalam konteks relasi kuasa, masyarakat membutuhkan dukungan bantuan hukum melawan pemerintah. Dalam praktiknya, penggunaan bantuan hukum melawan pemerintah dianalogikan sebagai “jeruk makan jeruk”.
Tentu itu adalah paradigma yang keliru. Masyarakat miskin maupun rentan berhak atas bantuan hukum pun jika digunakan untuk melawan pemerintah.
Justru dengan dukungan bantuan hukum, jaminan atas persamaan kedudukan di hadapan hukum bisa tercapai. Upaya masyarakat tersebut harus diapresiasi sebagai bagian dari demokrasi dan upaya menjaga transparasi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.
Ilustrasi keadilan Foto: Istimewa
Kedua, bantuan hukum belum memaksimalkan peran paralegal. Secara substansi, UU Bantuan Hukum mengatur bahwa pemberi bantuan hukum dapat merekrut salah satunya paralegal. UU tersebut, sayangnya, tidak mengatur lebih detail mengenai tugas dan kewenangan paralegal. Kementerian Hukum dan HAM, kemudian menindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 Tahun tentang 2018 tentang paralegal dalam pemberian bantuan hukum. Permenkumham tersebut dipandang membuka peluang bagi paralegal untuk memberikan bantuan hukum baik non-litigasi maupun litigasi.
ADVERTISEMENT
Pada Mei 2018, Putusan Mahkamah Agung No. 22 P/HUM/2018 menyatakan Pasal 11 dan 12 Permenkumham tersebut bertentangan dengan UU Advokat. Implikasinya, paralegal tidak diperkenankan memberi bantuan hukum litigasi di pengadilan. Di satu sisi, peran paralegal dibutuhkan karena terbatasnya jumlah advokat yang menyelenggarakan bantuan hukum. Sementara itu, sampai saat ini, tidak ada undang-undang yang mengatur definisi, tugas, dan kewenangan paralegal.
Masalah Teknis
Pertama, persebaran OBH yang tidak merata. Meskipun jumlah OBH bertambah tapi OBH tersebut paling banyak berada di kota besar. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, sebaran OBH terbanyak adalah di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Tidak meratanya persebaran OBH tentu menjadi penghambat masyarakat untuk mengakses keadilan. Belum lagi fakta bahwa jumlah advokat yang bergabung dengan OBH tergolong sedikit. UU Bantuan Hukum tidak mengatur mengenai pendirian OBH baru di daerah.
ADVERTISEMENT
Kedua, prosedur administrasi yang seringkali menyulitkan pencari keadilan. Sejauh ini, yang digunakan adalah kategori miskin. Pencari keadilan harus melengkapi dokumen seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Beras Miskin (Raskin), Kartu Program Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Perlindungan Sosial (KPS), atau dokumen lain yang menerangkan kondisi miskin. Untuk mendapatkan surat tersebut diperlukan prosedur yang cukup panjang.
Belum adanya integrasi data penerima bantuan sosial yang bisa diakses oleh OBH maupun Kanwil menyebabkan prosedur administrasi tersebut dilakukan. Hal lain, kewajiban melengkapi dokumen tersebut sulit dipenuhi untuk kelompok rentan. Contohnya adalah istri yang menggugat suami dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. Di sejumlah kasus, istri berasal dari rumah tangga tidak miskin tapi istri bergantung secara finansial pada suami. Akhirnya, istri kesulitan mendapatkan represantasi hukum yang memadai.
Dewi Keadilan Foto: Thinkstock
Respons ke Depan
ADVERTISEMENT
Uraian di atas hanya sedikit gambaran masalah yang menghambat tercapainya tujuan UU Bantuan Hukum. Capaian bantuan hukum dengan jumlah OBH, dana, dan kasus yang meningkat harus pula didukung dengan merespons masalah di atas.
Sembari menunggu peluang perubahan UU Bantuan Hukum, selain menindaklanjuti program-program yang sudah disusun, Kementerian Hukum HAM dapat melengkapi kekurangan dalam hal substansi dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yakni memperluas jangkauan ke masyarakat rentan.
Kementerian Hukum dan HAM juga harus mendorong peningkatan jumlah dan kualitas OBH. Sementara, pemerintah daerah didorong untuk membentuk peraturan daerah tentang bantuan hukum. Tugas pemerintah daerah selain mengalokasikan dana bantuan hukum juga mendorong berdirinya OBH di daerah yang belum memiliki OBH.
ADVERTISEMENT
*Artikel ini, salah satunya, dianalisis dari hasil Seminar Nasional "Akses terhadap Keadilan dan Reformasi Regulasi dalam Perencanaan Pembangunan Hukum" pada Senin, 17 Desember 2018 di UC UGM.