Konten dari Pengguna

Keadilan Sosial Bagi Golongan Tertentu dengan Syarat dan Ketentuan yang Berlaku

Lazuardi Imam Pratama
Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Banda Aceh.
16 Juni 2020 15:52 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Novel Baswedan di depan rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.  Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Novel Baswedan di depan rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meski hari lahir Pancasila selalu dirayakan dan bahkan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari libur nasional, namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan upaya penerapan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Belum lagi mampu menjawab kegelisahan publik terhadap dugaan inkompetensi penanganan pandemi COVID-19, kini integritas Pemerintah Indonesia kembali dipertaruhkan oleh utopia penerapan sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Seperti bunyinya, makna sila kelima menjelaskan tentang keadilan yang harus didapatkan oleh segenap rakyat Indonesia. Keadilan ini berlaku untuk seluruh aspek kehidupan, termasuk juga hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Kita masih terus disuguhi tontonan vulgar betapa hipokritnya negara dalam memaknai nilai-nilai Pancasila. Yang terbaru adalah saat publik dibuat geram oleh tuntutan jaksa terhadap terdakwa kasus penyiraman air keras Novel Baswedan. Novel Baswedan adalah seorang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikenal kerap kali menangani kasus-kasus besar dan berbahaya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan panjang menuju proses penegakkan keadilan bagi Novel, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian membutuhkan waktu hingga 3 tahun untuk memburu eksekutor aksi teror, sebelum akhirnya jaksa menuntut mereka dengan hukuman penjara selama 1 tahun. Sementara aktor intelektualnya tetap tak tersentuh dan masih bebas berkeliaran.
Para penguasa pun terlihat semakin tebal muka dalam menanggapi keraguan publik terhadap keseriusan negara mengungkap kasus ini. Sebuah ironi lengkap dengan topping komedi sedang dipertontonkan oleh negara kita.
Anda tidak harus menjadi seorang pakar atau akademisi untuk menilai betapa bobroknya proses hukum dalam upaya mencari keadilan bagi Novel Baswedan. Di beberapa media berseliweran alasan kenapa jaksa menuntut terdakwa dengan tuntutan ringan; yakni karena terdakwa dianggap tidak sengaja melukai wajah Novel. Sementara menurut pengacara terdakwa, kerusakan permanen pada mata kiri Novel bukan diakibatkan oleh serangan kliennya, melainkan karena kesalahan penanganan oleh pihak-pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Jika drama ini kita analogikan sebagai sebuah pertunjukan stand up comedy, maka pernyataan-pernyataan ngawur yang terkesan membela terdakwa tadi adalah punch line atau bagian paling lucu yang dipersembahkan oleh seorang komika (sebutan untuk pelaku stand up comedy). Namun sayangnya, kali ini komikanya adalah negara kita sendiri.
Kegelisahan ini diekspresikan dengan beragam cara oleh masyarakat. Salah satunya adalah dengan munculnya sebuah anekdot di media sosial yang merupakan plesetan dari sebuah lagu berjudul Ibu Pertiwi karya Ismail Marzuki yang berbunyi “Ku lihat ibu pertiwi, sedang stand up comedy.” Ternyata bersusah hati tak lagi tepat menggambarkan bagaimana perasaan ibu pertiwi saat ini, masyarakat menganggap ibu pertiwi sedang melucu dengan jokes receh dan ngawur tadi.
ADVERTISEMENT
Para penguasa dan penegak hukum di negara kita barangkali lupa dengan ungkapan Marcus Tullius Cicero, seorang filsuf sekaligus negarawan Romawi kuno yang terkenal dengan adagiumnya Salus populi suprema lex estoyang berarti keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Maka sudah selayaknya kita kembali merenung, negara hukum seperti apa yang tidak bisa menjamin keselamatan rakyatnya dari aksi teror, apalagi jika aksi tersebut berkaitan dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh sang korban.
Saya meyakini bahwa para penguasa dan penegak hukum di Indonesia bukanlah orang-orang bodoh yang tidak mengerti dasar-dasar hukum dan azas-azas keadilan. Namun sebaliknya, justru kepintaran yang dimiliki tidak sebanding dengan kejernihan nurani, sehingga segala kemewahan dan kekuasaan yang dititipkan sering kali disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Sejak berita penyerangan terhadap Novel menjadi perbincangan khalayak luas, publik memang sudah meragukan keseriusan dan kemampuan negara dalam mengungkap siapa aktor utama di balik kasus ini. Skeptisisme ini bukanlah suatu hal yang tidak berdasar, sebab publik menilai bahwa Novel telah mengambil langkah nekat dengan mengusik mereka yang diduga punya kuasa besar di negeri ini.
Keadaan ini semakin diperkeruh oleh iklim sosial politik kita yang telah tercemar oleh stigma polarisasi di tengah masyarakat. Aspirasi rakyat yang sejatinya merupakan jeritan rakyat direduksi oleh beberapa pihak sehingga seolah hanya menjadi rutinitas dukung mendukung secara elektoral semata. Alih-alih dijadikan sebagai bahan masukan, perdebatan yang terjadi di ruang publik juga kerap diartikan sebagai sebuah kendaraan yang memboncengi kepentingan pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tampaknya memang masih menjadi sebuah fatamorgana yang seolah nyata namun ternyata fana di negara kita. Keadilan memang mudah dijangkau oleh mereka yang memiliki kuasa, namun hanya sebatas angin surga bagi mereka yang berstatus sebagai rakyat jelata ataupun bagi yang mencoba menentang penguasa.
Kemilau kekuasaan memang kerap menyilaukan, saya teringat kembali dengan kisah yang ditulis dalam buku trilogi Marcus Tullius Cicero. Dalam buku tersebut diceritakan bagaimana Cicero dan Catilina yang merupakan lawan politiknya berseteru dalam upaya berebut kekuasaan. Catilina yang sempat menyusun siasat untuk mengkudeta Cicero yang sedang berkuasa, akhirnya dijatuhi hukuman mati tanpa melalui proses pengadilan. Kisah tersebut membuktikan bahwa Catilina bersedia melakukan apa pun demi merebut kekuasaan, sementara Cicero akan menempuh cara apa pun demi mempertahankan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Menjelang usia 100 tahun kemerdekaan, perilaku kita akan menentukan seperti apa negara kita kelak terbentuk. Mengutip kembali pesan Bung Karno, benar bahwa saat ini kita sedang dihadapkan pada sebuah jembatan emas yang di ujungnya terdapat dua jalan pilihan, satu menuju bangsa dengan sama rata sama rasa sesuai dengan amanat sila kelima, sementara yang satunya menuju bangsa sama ratap sama tangis dimana keadilan rakyat akan terus dikangkangi oleh oligarki yang bengis.