Menagih Solusi di Balik Kritik: Buah Kegagalan Penguasa Penuhi Tuntutan Tuannya

Lazuardi Imam Pratama
Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Banda Aceh.
Konten dari Pengguna
15 Mei 2020 7:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kritik Foto: picpedia
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kritik Foto: picpedia
ADVERTISEMENT
Di usia reformasi yang hampir mencapai 22 tahun, rasanya kita masih sangat jauh dari cita-cita sebagai negara yang dapat menjalankan sistem demokrasi secara utuh. Masih banyak anak tangga yang harus ditapaki, begitu banyak rintangan yang harus dilewati.
ADVERTISEMENT
Salah satu pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh bangsa kita dalam menyongsong penerapan demokrasi seutuhnya adalah perihal kebebasan berpendapat.
Sebagaimana yang dituangkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara menjamin setiap rakyatnya untuk dapat bersuara dan menyampaikan pendapat baik secara lisan maupun tulisan, selama cara yang ditempuh tidak menentang batasan-batasan tertentu yang dirancang untuk menjaga nilai luhur dalam berdemokrasi.
Di Indonesia, masih begitu banyak hambatan yang dapat menjerat rakyat yang sedang berupaya menyuarakan pendapat. Contoh kasus yang paling anyar adalah perihal penangkapan Ravio Patra, seorang peneliti kebijakan publik yang terkenal vokal terhadap penguasa. Penangkapan tersebut dilakukan pada tanggal 23 April 2020. Meskipun akhirnya dibebaskan setelah menjalani penahanan selama berjam-jam, namun hingga kini proses penangkapan Ravio Patra masih dianggap janggal karena diduga berkaitan dengan sikap kritisnya terhadap pemerintah.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat kembali ke belakang, begitu banyak catatan-catatan kelam yang berkaitan dengan pembungkaman suara rakyat yang hingga kini tak juga terselesaikan.
Bentuk lain yang menurut saya menjadi bagian dari upaya pembungkaman suara rakyat adalah perilaku penguasa yang kerap kali menagih solusi atas setiap kritik yang dilontarkan. Fenomena ini seolah dipertegas oleh sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa ‘kritik harus disertai dengan solusi’.
Ungkapan tersebut sering kali dijadikan kartu as oleh penguasa untuk membungkam mereka yang mencoba bersuara dan mengkritisi berbagai kebijakan yang diambil. Menjamurnya industri buzzer belakangan ini semakin mempermudah mereka yang malas mendengar kritik untuk menjadikan ungkapan tersebut familiar dan seolah tak terbantahkan lagi kebenarannya.
Jika dalil yang diutarakan adalah seputar kriteria sebuah kritik yang tidak boleh dilandasi oleh kebencian, berita bohong, ataupun fitnah, saya sangat setuju. Namun jika yang dikemukakan adalah kehadiran sebuah solusi yang merupakan syarat wajib sebelum mengkritik, saya rasa kita perlu mengkaji kembali perihal tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan gambaran apakah fenomena di atas benar-benar relevan dengan cita-cita kita yang ingin memperjuangkan nilai-nilai demokrasi di republik atau hanya akal-akalan penguasa untuk berupaya membungkam rakyatnya?
Saya pernah beberapa kali mendapatkan respons berupa tuntutan solusi atas kritik yang saya lontarkan kepada penguasa. Awalnya saya sempat merenung, mencoba meyakinkan diri saya bahwa tuntutan tersebut ada benarnya.
Setidaknya saya juga mempertimbangkan beberapa hal, salah satunya adalah mengingat beban pemerintah yang begitu berat dalam menjalankan amanah rakyat. Bahkan saya juga sempat mengingatkan beberapa teman yang vokal terhadap kebijakan pemerintah untuk turut memikirkan solusi sebelum melontarkan sebuah kritik.
Seiring berjalannya waktu, saya semakin sadar bahwa kepatuhan saya terhadap cara seperti ini sedikit banyaknya akan berdampak buruk untuk kemajuan demokrasi. Perasaan tersebut mendorong saya untuk mengkaji lebih dalam definisi kata kritik sesuai dengan kaidah yang berlaku di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
ADVERTISEMENT
Menurut KBBI, kritik didefinisikan sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Definisi menurut KBBI tersebut merupakan sebuah makna leksikal yang bersifat tetap.
Saya tidak melihat adanya penjabaran yang menyandingkan antara sebuah kritik dan keharusan solusi di belakangnya. Saya mulai menyadari bahwa keduanya adalah persoalan yang berbeda.
Dengan demikian, rakyat yang merupakan sebenar-benarnya tuan dari para pejabat penyelenggara negara tidak memiliki tanggung jawab absolut untuk memberikan solusi atas setiap kritik yang dilontarkan.
Mencari solusi dari setiap permasalahan adalah tugas yang wajib dilaksanakan oleh penguasa, sebab kepada mereka dimandatkan banyak hal oleh rakyat. Wewenang untuk mengelola anggaran, instrumen negara, dan luasnya kekuasaan sejatinya bertujuan untuk mendongkrak gagasan dalam menggali sebuah solusi.
ADVERTISEMENT
Sah-sah saja jika ada rakyat yang bersedia memberikan solusi, namun tidak benar jika solusi tersebut dijadikan sebagai syarat wajib untuk melontarkan sebuah kritik. Solusi alternatif dari rakyat adalah sebuah bonus.
Penguasa juga sering kali mereduksi gaung kritik dengan alasan kesantunan dan tata krama bahwa kritik tidak boleh menyinggung ataupun membuat marah pihak yang dikritik. Saya pun menduga bahwa penguasa hanya sedang pura-pura lupa pada hakikat kritik yang sebenarnya memang tidak menyenangkan.
Kritik tidak bertujuan untuk menyanyikan sanjungan kepada penguasa dengan puji-pujian basi yang bersifat normatif sehingga membuat mereka mabuk kepayang dan lupa dengan berbagai kekurangannya.
Perihal kesantunan kritik terletak pada cara penyampaiannya, bukan pada kontennya. Selama kritik tersebut didasari oleh fakta dan data yang dapat dipertanggung jawabkan, rakyat bebas menguliti penguasa agar tidak lupa dengan tanggung jawabnya.
ADVERTISEMENT
Kita butuh keberagaman dialektika untuk menambah perspektif baru dalam merawat negara. Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh rakyat adalah suatu bentuk kepedulian dan partisipasi dalam pembangunan. Pemerintah tidak boleh membungkam tuannya dengan tagihan solusi atas sebuah kritik maupun dengan alasan kesantunan dan tata krama ketimuran yang semu.
Sejatinya sebuah kritik bertujuan untuk memperjelas hal yang masih dianggap buram, agar muncul pandangan baru dalam melihat persoalan.
Lagi pula filsuf Yunani, Aristoteles sudah pernah mengingatkan kita semua dengan petuahnya, “Kritik adalah sesuatu yang dapat dengan mudah anda hindari dengan tidak mengatakan apa-apa, tidak melakukan apa-apa dan tidak menjadi apa-apa.” Jadi jika anda merasa tidak sanggup menerima kritik, lebih baik tidak usah menjadi apa-apa.
ADVERTISEMENT