Kakiku Sayang, Membantuku Jadi Pemenang

Konten dari Pengguna
30 September 2018 14:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Leani Ratri Oktilla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Leani Ratri, atlet bulu tangkis difabel Indonesia (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Leani Ratri, atlet bulu tangkis difabel Indonesia (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tinggal di kampung yang berjarak 11 km dari kota-GOR, membuat saya dan papa harus memutar otak dan berusaha keras agar bisa mendapatkan tempat latihan untuk mendukung latihan.
ADVERTISEMENT
Bermodalkan lapangan yang terbuat dari pasir dan kok bekas yang papa minta dari GOR. Akhirnya saya bisa latihan, dan saya baru mulai latihan jam 5 sore. Selama proses latihan itu memiliki kendala, yaitu gelap. Ya, akhirnya papa meneranginya menggunakan lampu petromax, karena saat itu listrik belum masuk ke kampung saya.
Tahun 1999, saat berumur 7 tahun saya sudah terjun ke kejuaraan nasional. Waktu itu masih bernama PORSENI kalau enggak salah.
Tapi yang paling berasa ya saat Paralympic, harus jauh dari keluarga. Karena saya merasakan proses yang cukup berat sebelumnya. Orang tua saya memperjuangkan bagaimanapun saya harus tetap latihan.
Oh iya, lupa bilang kalau saya 10 bersaudara semuanya atlet bulu tangkis waktu itu, cuma belum ada perhatian dari pemerintah daerah setempat. Jadi, yang paling berjuang ya papa saya harus nyari kok bekas untuk kami latihan dan membuat lapangan dari pasir.
ADVERTISEMENT
Leani Ratri Oktila. (Foto: Charles Brouwson/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Leani Ratri Oktila. (Foto: Charles Brouwson/kumparan)
Untungnya, saat di Paralympic semuanya sudah terfasilitasi. Rasanya sangat luar biasa.
Kalau ditanya apakah hal penting yang harus kita miliki? Yang terpenting adalah semangat.
Dulu saya punya cita-cita ingin jadi pemain Internasional. Ternyata Tuhan mengabulkan itu dan bersyukur sekarang saya memiliki gelar juara dunia dan peringkat satu dunia. Keluargalah yang menjadi alasan kenapa saya mampu mempertahankan itu semua.
Biarpun sekarang jauh dari mereka, setidaknya perkembangan teknologi bisa membuat saya merasakan semangat mereka. Jadi saya enggak mau sia-sia dengan kegiatan di sini. Mereka akan terus menjadi motivasi saya.
Semua yang dilewati saat ini, bukan berarti saya tidak mengalami masa sulit sebelumnya. Setelah kecelakaan, setahun saya tidak bermain lagi. Bisa dibilang mungkin pensiun.
ADVERTISEMENT
Kalau dibilang frustasi, enggak, bukan frustasi. Tapi ketika itu terjadi justru saya tahu mana sih orang yang benar sayang dan mana sih orang yang benar peduli ketika saya terjatuh. Keluarga dan teman-temanlah yang menemani saat itu.
Tentangan keluarga cukup besar terutama adik-adik, ketika saya ditawari untuk bermain di National Paraylmpic Committee (NPC). Karena mereka berpikir kenapa saya yang dari normal turun ke yang cacat. Kalau dari papa, lebih berpikir ke mental. Dia berpikir kalau Tuhan kasih saya seperti ini untuk istirahat bukan untuk bermain lagi.
Leani Ratri, atlet bulu tangkis difabel Indonesia (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Leani Ratri, atlet bulu tangkis difabel Indonesia (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Tapi saya berpikir saya masih mau main, cuma mental saya belum siap untuk turun. Waktu itu saya belum tahu cara bermain yang difabel seperti apa. Adik-adik saat itu main di Pekan Olahraga Nasional (PON).
ADVERTISEMENT
Adik-adik menangis dan bilang “Mbak jangan turun di Pekan Paralympic Pelajar Nasional (Pepapenas), itu untuk orang-orang cacat. Kami malu kalau Mbak turun di sana. Mbak Ratri bekas pemain nasional masak turun di kelas seperti itu?”
Untungnya, ada seseorang yang mendukung waktu itu. Tepatnya yang saat ini menjadi suami saya. Dia selalu bilang “Kalau kamu punya cita-cita, dan impian, main aja. Toh enggak ada bedanya dia sama kita. Di hadapan Tuhan itu semua sama.”
Dan saya memutuskan untuk tetap main di Peparpenas tanpa sepengetahuan keluarga. Ya, saya berbohong. Saya bilang orang tua kalau pergi kuliah, padahal saya sedang mengejar impian dengan bermain bulu tangkis.
Adik-adik tahu kalau saya tetap main. Karena yang menjadi Liaison Officer dan linesman di sana teman mereka semua. Omongan mereka masih sama, mereka malu saya bermain di sini. Tapi sekarang mereka bangga dengan apa yang saya dapatkan.
ADVERTISEMENT
Saya berhasil membuat papa meneteskan air mata bahagia, ketika dia melihat medali pertama di Paralympic yang saya dapatkan. Musibah yang menimpa saya, justru membawa berkah. Ya, bersyukur aja.
Setelah kecelakaan, kaki saya memiliki selisih panjang satu sama lain. Awalnya hanya 7 cm, semakin lama karena latihan juga semakin berat, selisih di kaki jadi 11 cm. Cara mengakalinya ya sepatu sebelah kiri saya beri tambahan sol, supaya enggak terlalu timpang.
Kalau ditanya apakah kaki saya lemah pasca-kecelakaan tersebut? Enggak, malah setelah kecelakaan dan saya latihan kakinya jadi semakin kuat. Dokter juga heran dengan kaki saya yang seperti ini kok bisa lari di lapangan.
ADVERTISEMENT
Waktu pertama kali seperti ini, rasanya bukan sakit tapi takut. Apakah kaki saya masih bisa untuk melangkah? Tapi saya lihat, mereka yang pakai kursi roda aja, masih bisa bermain masa saya yang masih bisa berdiri harus ragu?
Apalagi pelatih saya bilang “Kamu bisa, kamu kan mantan atlet, enggak mungkin kamu enggak bisa ngalahin rasa sakit.”
Di Asian Para Games kali ini saya punya target pribadi. Semoga tiga medali emas, untuk single, double, dan mix. Walaupun lawan di double dan single berat, tapi yakin saya bisa.
China itu lawan berat untuk saya. Saat ketemu mereka, saya kalah. Tapi dengan porsi latihan yang lebih dan keyakinan, saya akan mati-matian apalagi main di negara sendiri yang notabenenya kita adalah tuan rumah. Pasti motivasinya lebih besar apalagi penonton pasti banyak.
ADVERTISEMENT
Saya pensiun nanti, setelah Olimpiade 2020. Soalnya badminton pertama kali dipertandingkan di Paralimpiade.
Kebanyakan di sini peringkat 5 besar dunia, padahal kita enggak ikut semua event. Hanya event-event besar saja. Kadangkan kita kesulitan di event. Indonesia hanya bisa ikut 3-4 event karena terkendala masalah biaya.
Pemilihan event itu dari tergantung dari besarnya poin. Pelatih akan menilai di mana sih yang poinnya besar. Itu yang kita ambil karena untuk mempertahankan peringkat.
Cuma untuk tahun depan, supaya bisa tampil di Olimpiade kita minimal harus ikut 6 sampai 9 event. Walaupun peringkat kita bagus tapi kita enggak ngikutin event-event itu tetap enggak qualified.
Mohon doa dan dukungan seluruh masyarakat Indonesia, kami juga ingin diperhatikan, didukung, dan dipublikasikan sama seperti di Asian Games. Tidak ada perbedaan antara kami dengan yang lain. Karena kita sama-sama membawa nama negara dan bendera Merah Putih.
ADVERTISEMENT