Kesehatan Mental dan Hak Asasi Manusia

Lefri Mikhael
Mahasiswa Hukum - Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Konten dari Pengguna
24 Desember 2020 18:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lefri Mikhael tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Sebuah keadaan akibat Pandemi Covid-19

ADVERTISEMENT
ilustrasi : Dunia diserang Covid-19 Miroslava Chrienova via Pixabay
Dunia saat ini masih berjuang bertahan dari serangan lawan yang tak terlihat, lawan itu bernama Virus Covid-19, atau yang biasa kita sebut dengan virus corona. Virus ini turut menyerang Indonesia sejak awal tahun 2020, atau setidaknya diketahui pertama kali pada awal Maret 2020 dan memakan korban jiwa hingga sebanyak 20.408 orang dan masih dapat terus bertambah (data https://coronavirus.jhu.edu/map.html 24 Desember 2020, pukul 16.20 WIB). Jumlah yang cukup besar yang tidak dapat kita bayangkan sejak awal, sejak pernyataan pejabat di negeri ini yang justru tidak menganggap serius yang tidak lebih bahaya dari sekedar flu biasa. Tentu hal ini menjadi perhatian serius akan isu kesehatan nasional. Salah satu aspek kesehatan yang terdampak adalah kesehatan mental, atau biasa kita sebut sebagai kesehatan jiwa.
ADVERTISEMENT
Kesehatan mental adalah satu kesatuan dengan konsep kesehatan secara umum sehingga tidak kalah penting untuk diperhatikan bagi kita, sebagai manusia yang memiliki akal, jiwa, dan pikiran.
Sayangnya, aspek penting dari diri manusia tersebut terganggu, bahkan tercemar dengan kondisi real yang saat ini kita rasakan akibat Pandemi Covid-19. Bagaimana tidak? Pandemi Covid-19 menghancurkan kita, baik fisik dan mental. Pemberitaan peningkatan kasus penderita tersiar di berbagai kanal media, pembatasan aktivitas dan social life kita yang mengharuskan adanya jaga jarak, menghindari kerumunan, maupun stay at home yang digaungkan berbagai kalangan. Siapa yang dapat bertahan dengan kondisi di atas? Tidak ada, kita sebagai homo socius sejatinya membutuhkan interaksi dan relasi dengan insan lainnya secara langsung.
ADVERTISEMENT
Hal diatas diperparah dengan berbagai kebijakan publik yang ditempuh, pembelajaran dari rumah, bekerja secara remote, pembatasan sektor usaha, ancaman resesi dan kolapsnya ekonomi menghantui para pekerja, bahkan itu bukan sekedar “hantu” lagi, melainkan kenyataan yang dirasakan pelajar dan mahasiswa yang harus belajar secara daring; pebisnis yang harus gulung tikar akibat gagalnya mempertahankan bisnisnya; hingga buruh dan pekerja kantoran yang harus diberhentikan dari penghidupannya selama ini dengan alasan efisiensi anggaran. Menurut data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2020, terdapat hingga 29,12 juta penduduk usia kerja yang terdampak Pandemi Covid-19, baik berupa pengurangan durasi kerja hingga terpaksa menganggur sebanyak 9,77 juta orang diantaranya (sumber : katadata.co.id).
foto : brilio.net
Kombinasi serangkaian dampak domino Pandemi Covid-19 hampir dapat dirasakan oleh setiap orang, baik yang tua hingga muda dan yang miskin hingga yang kaya.
ADVERTISEMENT
Dampak tersebut tidak dapat dipungkiri berefek pada emosi, pikiran, dan jiwa kita, dimulai dari level terendah hingga tertinggi yang berujung pada bunuh diri. Dari pelajar dan mahasiswa yang harus stress akibat adaptasi pembelajaran daring dengan segala sisi buruknya, overthinking akibat keadaan yang membosankan, hingga isolasi sosial akibat sulit berinteraksi secara langsung dengan sahabatnya, hingga kepala keluarga yang bingung bagaimana harus berjuang memenuhi kebutuhan dasar keluarganya akibat pundi-pundi rupiah menurun hingga harus berutang pada pinjaman online yang tidak kalah sadisnya. Satu hal yang pasti, kesadaran akan keadaan jiwa, mental, dan emosi yang sehat adalah keniscayaan, yang harus dipenuhi manusia secara kodrati.
10 Desember lalu kita semua memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional, peringatan tersebut perlu diresapi secara serius oleh berbagai pihak, khususnya negara yang bertanggungjawab atas kesehatan warga negaranya, termasuk pada aspek kesehatan mental. Kesehatan mental sebagai bagian dari hak asasi manusia ditegaskan dalam berbagai instrumen hukum. Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), apabila disimpulkan menyatakan bahwa setiap orang berhak atas standar hidup yang memadai untuk Kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya. Secara lebih tegas hak sehat secara mental terdapat dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang menyebutkan setiap orang berhak untuk menikmati standar hidup tertinggi atas kesehatan fisik dan mental. Bahkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disepakati bersama sebagai konstitusi kita mengakui dan menjamin hak kesehatan warga negara dalam Pasal 28H ayat (1) dengan memberikan tanggungjawab besar bagi negara untuk menjamin dan menyelenggarakan pelayanan Kesehatan secara memadai menurut Pasal 34 ayat (3).
ADVERTISEMENT
Penjaminan secara hukum atas hak kita untuk sehat secara mental/jiwa telah terpatri, namun itu semua dikembalikan pada bentuk implementasi dan realisasi negara kita, terkhusus Pemerintah saat ini dalam keadaan Pandemi Covid-19 ini.
Pemerintah harus pro-aktif dalam menyebarkan narasi positif yang tentunya tidak hanya sekedar omong kosong. Pemerintah juga harus mampu menyediakan pelayanan public,secara khusus atas layanan pendampingan kesehatan mental (atau Kesehatan jiwa) yang dapat dirasakan semua orang tanpa terkecuali, mulai dari penghadiran aplikasi layanan pendampingan psikolog/psikiater secara online hingga pelayanan lanjutan di setiap tingkat fasilitas kesehatan, mulai dari puskesmas hingga rumah sakit yang tentunya dengan biaya terjangkau bahkan gratis, demi memberi keyakinan pada warga masyarakatnya bahwa negara hadir untuk menjamin kesehatannya, hingga aspek kesehatan mental yang seringkali masih dianaktirikan. Dalam keadaan das sein, memang Pemerintah telah meluncurkan layanan bantuan konsultasi psikologi bernama Sejiwa gelombang 1 yang dapat diraih melalui hotline 119 ext 8 pada April lalu, namun sayangnya hingga saat ini belum ada kejelasan keberlanjutan program tersebut. Sejatinya pembangunan bangsa yang baik bukanlah membangun pabrik dan gedung tinggi di kawasan investasi, melainkan pembangunan manusia yang sehat secara fisik dan mental demi peningkatan produktifitas bangsa. Akhir kata, selamat hari hak asasi manusia internasional! Sehat mental adalah hak asasi kita!
ADVERTISEMENT