Berjuang Membangun SMP di Desa Sole: Para Guru Merangkap Jadi Nelayan

Konten Media Partner
3 September 2019 13:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kondisi Madrasah Sanawiah Nurul Huda di Dusun Sanahuni, Desa Sole. Dok: Adnan
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi Madrasah Sanawiah Nurul Huda di Dusun Sanahuni, Desa Sole. Dok: Adnan
ADVERTISEMENT
Lentera Maluku. Tiga lelaki asal Desa Sole, Kecamatan Huamual Belakang, Kabupaten Seram Bagian Barat, mendirikan sekolah di Dusun Sanahuni, Desa Sole. Ketiganya bernama Adnan (27 tahun), Fahmin Simina (30 tahun), dan La Aoma Taslim (50 tahun). Mereka membangun sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) lantaran miris mengetahui tak ada SMP di kampung halamannya tersebut.
Proses belajar mengajar siswa Madrasah Sanawiah Nurul Huda di Dusun Sanahuni, Desa Sole. Dok: Adnan
Ketiga lelaki ini resah dengan minimnya layanan pendidikan yang ada di kampung halamannya. Pasalnya, belum ada SMP di sana, yang terdekat dari Desa Sole hanyalah SMP Negeri 5 Seram Bagian Barat, letaknya di Dusun Telaga Nipa. Satu-satunya akses menuju Dusun Telaga Nipa adalah melalui jalur laut dengan menumpang perahu motor sekitar 20 menit, dengan biaya Rp 5.000 per orang.
ADVERTISEMENT
Itu pun kalau kondisi lautnya sedang baik. Bila musim ombak tiba, anak-anak Sole terpaksa harus menumpang dan tinggal di rumah-rumah warga Dusun Telaga Nipa. Beruntungnya, kedua dusun ini sudah saling memahami kondisi alam yang demikian, sehingga mereka menerima anak-anak dari Dusun Sanahuni dan Desa Sole untuk menginap sampai selesai musim ombak.
Kepada Lentera Maluku, Selasa (3/9), Adnan memaparkan bahwa masyarakat Sole tidak hanya membutuhkan bangunan SMP, tetapi juga butuh perhatian berupa sarana dan prasana pendidikan lainnya. Hal ini dikarenakan Desa Sole hanya punya satu sekolah, yaitu SD Negeri Sanahuni, itu pun keadaan sekolahnya sangat memprihatinkan.
Tampak luar Kondisi bangunan Madrasah Sanawiah Nurul Huda di Dusun Sanahuni, Desa Sole. Dok: Adnan
Lantas keresahan itu menggerakkan hati mereka untuk segera melakukan perubahan. Pada tahun 2016, ketiganya bermusyawarah dengan warga untuk mendirikan SMP. Sayangnya, pada saat itu ide mereka tidak ditanggapi serius, karena warga belum menaruh kepercayaan. Tetapi hal demikian tidak menyurutkan langkah Adnan cs.
ADVERTISEMENT
"Awalnya sulit karena ditentang sebagian masyarakat, karena mereka takut sekolahannya tidak jelas. Masih swasta, warga mau sekolah yang statusnya negeri," ungkap Adnan.
Akhirnya mereka bekerja sama dengan Yayasan Nurul Huda. Mimpi Adnan dan teman-teman pun terwujud. Mereka berhasil mendirikan Sekolah Menengah Pertama bernama Madrasah Sanawiyah Nurul Huda.
Proses belajar di kelas. Dok: Adnan
Proses pembangunan dimulai dengan mengumpulkan dana awal hasil swadaya warga. Ada yang menyumbang semen, kayu, hingga seng, dan sebagian bahan bangunan dibeli dari uang sumbangan warga. Jadilah sebuah gedung sekolah dengan dua ruangan. Satu ruang untuk kantor dan satu lagi untuk ruang kelas.
Dua ruangan itu dibagi lagi, kelas 8 dan kelas 9 menggunakan satu ruangan, sementara kelas 7 berbagi dengan ruangan guru. Sayangnya, mereka bahkan tidak punya alat olahraga. Untuk memenuhi kebutuhan siswa, pihak sekolah akan meminjam alat olahraga dari para pemuda di Dusun Sanahuni, Desa Sole.
ADVERTISEMENT
"Saya ingin sekolah kami lebih diperhatikan oleh pemerintah. Ruang kelas dibuat menjadi permanen. Tenaga pengajar ditambah, serta penambahan buku-buku referensi, alat praktek penjas, dan IPA," harap Adnan.
Kondisi Madrasah Sanawiah Nurul Huda di Dusun Sanahuni, Desa Sole. Dok: Adnan
Mulanya, lanjut Adnan, belum banyak siswa yang mendaftar ke Madrasah Sanawiah Nurul Huda, mereka pun hanya punya sekitar belasan siswa.
Namun, saat ini sudah ada 36 siswa yang menimba ilmu di sana, dari kelas 7 hingga kelas 9. Mereka hanya punya lima orang guru, itu pun masih berstatus honorer. Pada tahun 2018, dilakukan pembangunan satu ruang kelas. Sehingga, saat ini total ada tiga ruangan.
Sebelumnya, meja dan kursi yang digunakan sebagai sarana belajar di kelas diambil dari MTs Nurul Huda di Limboro. Tetapi berkat kerja sama yang baik dengan para orang tua, kini meja belajar dibuat oleh orang tua siswa. Sementara itu kursi plastik dibeli oleh pihak yayasan.
ADVERTISEMENT
Mereka belum memiliki buku paket atau tematik sebagai penunjang proses belajar-mengajar. Para guru juga harus mengeluarkan dana pribadi untuk membiayai operasional sekolah.
Kondisi sekolah yang masih menggunakan papan untuk pembatas. Dok: Adnan
Dalam setahun pertama, para guru ini tidak mendapat gaji. Pada tahun 2018, setelah mendapat dana Biaya Operasional Sekolah (BOS), mereka mendapat honor Rp 200.000 per bulan.
"Namun sekarang kami sudah merasa lega, karena sudah mendapat izin operasional dan juga bantuan operasional sekolah," ungkap Adnan.
Adnan yang merupakan lulusan Pendidikan Kimia Universitas Darussalam pada tahun 2015 itu, kini mengajar tiga mata pelajaran di Madrasah Sanawiah Nurul Huda Desa Sole, yaitu Penjaskesrek (Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi), Matematika, dan IPA. Demikian juga rekan-rekan pengajar lainnya, rata-rata memegang lebih dari dua mata pelajaran.
ADVERTISEMENT
Untuk menambah penghasilan, Adnan dan guru-guru lainnya kerap bekerja sebagai pencari ikan menggunakan bobo, sebuah alat tangkap ikan tradisional di daerah Seram.
Mereka menggunakan metode bagi hasil, Adnan dan pencari ikan lain akan menerima bayaran tiap kali selesai menjual hasil tangkapan. Bobo tempat mereka bekerja adalah milik orang lain. Hasil yang didapat digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.
Meskipun bergelut dengan kesulitan dan berbagai hambatan, guru-guru di Madrasah Sanawiah Nurul Huda, Desa Sole, tetap semangat melakukan tugas dan tanggung jawab demi mengabdi pada Nusa dan Bangsa. (LM3)