Terseok-seok Pendidikan di Pelosok Banda Neira

Konten Media Partner
2 Mei 2019 21:40 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kondisi jalan menuju Desa Uring. Dok: Lentera Maluku
Lentera Maluku. Di pelosok negeri ini, tepatnya di Desa Uring, Kecamatan Banda Naira, Kabupaten Maluku Tengah, terdapat seorang pahlawan tanpa tanda jasa Bernama Parida Rajab. Perempuan berusia 32 tahun ini berprofesi sebagai guru honorer bergaji Rp 500 ribu.
ADVERTISEMENT
Kehidupan Parida seperti ini: Sejak pagi ia sudah bangun dan membereskan rumah. Lantas, membuat sarapan untuknya, suami, serta si putri semata wayang. Tanpa bisa menghabiskan banyak waktu, ia bergegas sebab tidak boleh terlambat untuk tiba di sekolah.
Sore hari seusai mengajar, Parida seringkali tak pulang ke rumah. Ia pergi ke hutan membawa keranjang, mencari buah kenari dan pala untuk dijemur dan dijual ke pasar. Hasilnya memang tak seberapa. Tapi sebagai guru honorer, Parida tak bisa bergantung pada Dana Bantuan Operasional Sekolah, apalagi ia sudah merasakan bagaimana rasanya gaji tertunggak dua bulan.
Parida memangku putrinya. Dok: Lentera Maluku
Selama 10 tahun belakangan ini, seperti itulah kehidupan Parida. Tapi lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah As-Salama, Kota Tual, Maluku Tenggara, itu tak kenal lelah dan tak putus harapan untuk diangkat menjadi guru tetap.
ADVERTISEMENT

Terseok-seok Sekolah Terpelosok

Ketika Lentera Maluku menyelami kehidupan Parida, terungkap fakta miris Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 7 Banda Satap, tempatnya mengajar.
Tampak depan SMP Negeri 7 Banda Satap. Dok: Lentera Maluku
Sudah delapan tahun Parida mantan guru kontrak di SD Inpres Uring itu mengajar di SMP tersebut. Selama itu pula, ia--juga murid-muridnya--ke sekolah dengan berjalan kaki, hampir setiap pagi, hampir setiap hari. Jalanan yang ditempuh bukan aspal mulus melainkan tanah yang bisa berubah menjadi lumpur kala hujan.
Jalanan menuju SMP Negeri 7 Banda Satap. Dok: Lentera Maluku
Sudah terpelosok, digdaya sekolah ini nampak terseok-seok. Buku-buku pelajaran di sana sudah usang, tak ada satu pun yang baru. "Bahkan, satu buku dipakai sampai tiga siswa," kata Parida.
Sebagian siswa SMP ini juga berasal dari Tuttra, desa yang jaraknya 2 kilometer dari Desa Uring. Tujuh guru di sekolah ini (satu guru tetap serta enam guru honorer) harus pintar-pintar membagi pengetahuan, dengan buku ala kadarnya.
ADVERTISEMENT
Bangunan SMP ini hanya memiliki tiga ruangan yang seluruhnya terpakai sebagai kelas. Tak ada perpustakaan, tak ada laboratorium, tak ada ruangan guru.
Bangunan SMP Negeri 7 Banda Satap. Dok: Lentera Maluku
Anak-anak SMP itu tak belajar komputer. Internet pun tak ada. Jaringan telepon seluler hanya ada Telkomsel--yang masuk pada Desember 2017. Itu pun bukan internet dan amat susah mendapatkan sinyalnya.
Desa ini teramat jauh dari keramaian ala "kota". Untuk menjangkau pusat kecamatan saja, warga harus menempuh 10 kilometer jalur darat yang berupa tanah (atau lumpur) atau mengarungi laut di atas kapal berbiaya Rp 15 ribu.
Parida bercerita, pernah suatu waktu ada dua guru berstatus pegawai negeri sipil yang mengajar di SMP ini. Tapi tak lama, mereka tak tahan dan mengundurkan diri. (LM3)
ADVERTISEMENT