Profesor Nurdin Abdullah; Pilkada adalah Arena “Festival Gagasan” dan “Festival Program”

Konten dari Pengguna
7 November 2017 14:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari leo tolstoy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Profesor Nurdin Abdullah; Pilkada adalah Arena “Festival Gagasan” dan “Festival Program”
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Barangsiapa muncul di atas masyarakatnya, dia akan selalu menerima tuntutan dari masyarakatnya-masyarakat yang menaikkannya, atau yang membiarkannya naik.... Pohon tinggi dapat banyak angin? Kalau Tuan segan menerima banyak angin, jangan jadi pohon tinggi."
ADVERTISEMENT
(Pramoedya Ananta Toer)
***
Apa yang terbayang jika politik adalah perseteruan sehat adu gagasan dan adu program diantara mereka yang bersaing memenangkan hati rakyat? Gontok-gontokan kualitas diri dan pembuktian kapasitas diri di hadapan masyarakat yang menjadi pemberi suara kepada mereka?
Suasana ini lebih jauh diperindah dengan gambaran yang menarik: lawan bertanding dalam politik adalah teman bermain, lawan politik adalah teman adu berpikir dan adu gagasan. Kontestasi seperti ini tentu menghasilkan pemerintahan dengan kualitas tinggi dan dengan masyarakat yang tak kehilangan kepercayaan kepada kontestasi elit politik. Kontestasi semacam ini mencerminkan politik yang tidak sekedar gaduh atau riuh saja.
Tapi bayangan kontestasi politik seperti ini tentu saja agak jarang dalam realitas politik kita. Politik adalah perseteruan yang menghalalkan beragam cara. Doktrin politik Machiavelli merepresentasikan ini: the end justify the mean (tujuan menghalalkan segala cara). Kekuasaan sebagai tujuan politik telah membenarkan berbagai macam cara. Elit politik tak merasa malu untuk mencaci rival-rivalnya dengan berbagai cara demi meruntuhkannya. Situasi ini membawa kontestasi pada segala cara yang tidak lagi menjunjung etis-etis politik.
ADVERTISEMENT
Situasi perseteruan politik yang terus tegang, saling merubuhkan dan menghancurkan antar rival politik (rivalitas yang panas) kian menegaskan pemahaman jelas masyarakat atas politik: ia tak ubahnya suatu tahta yang memikat, yang diburu dan diperebutkan. Tahta yang diperoleh oleh seseorang melalui cara menyingkirkan rivalnya. Tahta, dalam serial film game of thrones bahkan digambarkan sedemikian buruknya dalam tuturan Cersei Lannister: “when you play game of thrones, you win or you die. There is no middle ground.” (Saat kamu bermain dengan permainan tahta, kamu menang atau kamu kalah. Tak ada jalan tengah) (liputan6com).
Kedewasaan Politik dari Tanah Bantaeng
Tetapi di tengah arus deras politik yang menjelma kekuatan saling menghancurkan antar rival, sosok Profesor Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, muncul dengan jalan kebijaksanaan politik yang jarang, tapi menggugah dan membawa kebahagiaan. Ia hadir dengan citra politik yang hampir mustahil dalam realitas politik yang keras. Dengan segala kelembutan dan kesederhanaan, ia justru tampil dengan politik yang ramah dan memaafkan. Setiap kali ia memperoleh serangan yang bahkan mengarah pada penghancuran dirinya, semisal ia dituduh dengan berbagai label yang buruk kepadanya, dianggap tidak punya komitmen dan sebagainya, tetapi justru tak membuatnya berfikir untuk memberi lawan dengan serangan balik. Dia tidak memperlakukan politik sebagai ajang saling serang: saat ia diserang dengan pukulan, ia harus menyerang balik dengan pukulan. Tidak seperti itu wujud politik dalam perlakuannya.
ADVERTISEMENT
Tentu bukan saja sang profesor yang memperoleh serangan-serangan seperti itu, berbagai isu negatif juga menyasar kepada calon-calon lainnya. Ujaran-ujaran yang sumbernya tidak jelas, hoax dan produksi berita fitnah lainnya menyasar dan menyerang siapapun. Maraknya dunia media sosial justru memfasilitasi berlalu-lalangnya politik yang penuh kegaduhan, kekacauan, dan dihiasi caci maki (yang sudah pasti berkualitas rendahan atau tak ada nilainya sama sekali) (sulselsahabatrakyatcom).
Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng yang telah mendeklarasikan diri maju di Pilgub Sulsel tahun 2018, menyadari persoalan ini. Sebagai seorang pemimpin, menghadapi situasi ini bukanlah hal yang baru baginya. Yang suka dan yang membenci tentu adalah hal yang biasa dalam setiap kepemimpinannya. Ada kebijaksanaan kuno yang bilang: pohon semakin tinggi, semakin harus siap menghadapi terpaan angin kencang. Saat dia mendapati dirinya kian mendapat serangan yang bertubi-tubi dari lawan-lawan politiknya atau dari oknum-oknum tidak dikenal melalui serangkaian kampanye negatif dan hitam kepadanya, dia kian menyadari bahwa yang perlu ditingkatkannya adalah kesabarannya bukan marah dan bagaimana menyerang balik. Itulah cara dia memperlakukan politik.
ADVERTISEMENT
Profesor Nurdin Abdullah Menunjukkan Kelembutan pada Rivalnya
Yang kian menakjubkan dari sang profesor di tengah realitas politik yang kian keras, dia justru menunjukkan sikap lembutnya kepada kontestan lainnya. Misalnya, sebuah doa ditujukan kepada Ichsan Yasin Limpo, adik kandung Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Doa itu berharap agar IYL turut maju dan berkompetisi dalam pilgub Sulsel. Doa ini memang sederhana tetapi tentu saja menggugah bagi kalangan yang awam politik, yang memahami politik sekedar untuk memenangkan diri demi kekuasaan.
Ichsan Yasin Limpo mantan bupati dua periode di Kabupaten Gowa. Dia telah menerima SK rekomendasi dukungan dari PPP, pemegang tujuh kursi di DPRD Sulsel. Kemudian dukungan menyusul datang dari Partai Demokrat (baru berupa surat tugas yang sifatnya belum final karena masih harus melalui pengujian selama 1,5 bulan). Tetapi akhirnya partai berlambang mercy ini tetapkan pilihan melalui SK rekomendasi (merdekacom).
ADVERTISEMENT
“Kita doakan saudara kita (IYL) supaya jangan ada ganjalan, supaya juga bisa maju. Biarlah di final nanti rakyat yang menentukan kepada siapa mererka menjatuhkan pilihan.” Kalimat ini terdengar begitu tulus. Ungkapan ini muncul dari hati yang lapang dada. Tentu saja bagi mereka yang melihat politik sebagai sekedar ‘permainan intrik’, kalimat ini tak ubahnya kalimat receh tak berkelas. Tapi mari tempatkan pikiran kita tidak semata-mata pada kotak kecurigaan. Ungkapan ini mencerminkan sebuah keluasan hati seorang pemimpin sejati. Karakteristik pemimpin sejati mengedepankan apa yang terbaik bagi rakyat. Saat dirinya bersaing dengan lawannya, sang lawan baginya bukan musuh yang harus ditumbangkan. Lawan politik, sekali lagi, adalah rivalitas gagasan dan program. Itulah yang ditegaskan oleh Profesor Nurdin Abdullah. Kesadaran ini membawanya pada kematangan dan ketulusan berfikir: bahwa hasil akhir sebuah kontestasi ditentukan oleh rakyat. Yang dipilih rakyat bukan saja memenangkan hati rakyat, tapi juga berarti menghasilkan gagasan atau rencana program yang lebih meyakinkan dirasakan oleh rakyat. Dan apapun hasilnya, sejauh itu yang terjadi, bagi Nurdin Abdullah itu tidak masalah.
ADVERTISEMENT
Pikiran-pikiran ini menunjukkan bahwa menjadi pemimpin bukan sebuah ambisi pribadi melainkan tuntutan dari masyarakat. Dia menyadari ia bukan siapa-siapa dalam memimpin Bantaeng. Tetapi dia sadar bahwa ada kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya oleh masyarakat dengan penuh kehormatan, maka dia bekerja dalam kepemimpinan itu dengan pula penuh kehormatan demi melayani masyarakat. Kehormatan yang diberikan oleh masyarakat harus dibalas dengan kepemimpinan yang melayani masyarakat. Itu prinsip tegasnya dalam memimpin.
Dengan demikian, yang terpenting bagi Nurdin Abdullah dalam kontestasi politik bukanlah permusuhan politik yang tidak berarti, bukan persaingan tak makna. Dalam politik, seperti yang akan dijalani oleh dia dan calon-calon gubenur Sulawesi Selatan ini, adalah bagaimana memenangkan hati rakyat melalui festival gagasan dan festival program. Kelembutan dan kedewasaan politik adalah sebuah cermin sikap dan kelembutan kepribadian diri Nurdin Abdullah yang selalu menginginkan ‘harmoni’ di dalam masyarakatnya. Dia mengatakan: “Jangan sampai Sulsel justru diklaim sebagai daerah yang keras padahal itu bukan budaya Sulsel.” (merdekacom).
ADVERTISEMENT
Dari Profesor Nurdin Abdullah, kita belajar bahwa rivalitas dalam rivalitas sesungguhnya hanyalah sebuah festival gagasan dan program. Di luar itu, perdebatan-perdebatan atau permusuhan yang berlarut-larut harus disikapi sebagai sekedar lelucon atau dagelan yang tak perlu menarik perhatian. Terima kasih, prof.