Etika Bermedia Sosial dan Euforia Pemilu 2024

Levina Yustitianingtyas
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya
Konten dari Pengguna
21 Februari 2024 12:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Levina Yustitianingtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era digital sekarang ini, komunikasi bisa dilakukan secara bebas tanpa batasan waktu dan tempat, ada banyak hal yang terabaikan. Masyarakat Indonesia yang seharusnya menjunjung adat ketimuran dapat menunjukkan nilai-nilai budaya Indonesia yang sudah dikenal dunia seperti keramah-tamahan dan kesopanannya. Sayangnya, hal ini sepertinya terlupakan dan terabaikan ketika berselancar di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Ketika mengunjungi platform media sosial seperti Instagram, Facebook atau Twitter maupun layanan video berbagi seperti YouTube, kita dengan mudah menjumpai konten-konten sensitif seperti konten dengan tema politik, suku, agama dan ras, bila kita merujuk pada kolom komentar tentu akan kita jumpai banyak sekali komentar-komentar yang tidak mengindahkan lagi norma-norma kesopanan yang ada di masyarakat Indonesia.
Konten-konten yang sedang ramai saat ini adalah konten dengan tema menjelang Pemilu 2024, ketika pelaksanaan pemilu yaitu yang telah dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024 dan setelah proses pemungutan suara atau hasil pemungutan suara. Model kampanye dalam pemilu telah berkembang dengan kemajuan teknologi, jika dulu model kampanye menggunakan penyebaran brosur atau pemasangan baliho yang mencolok, namun saat ini model kampanye menggunakan media sosial.
ADVERTISEMENT
Konten kampanye dapat tersebar di media sosial melalui postingan dan bukan berupa iklan. Bawaslu mengeluarkan kebijakan bahwa konten kampanye di media sosial diperbolehkan, sepanjang dengan syarat materi kampanye tidak dilarang oleh UU Pemilu.
Banyaknya permasalahan yang terjadi dimasyarakat kita karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan dalam beretika di media sosial, salah satunya adalah banyak pengguna telah dibutakan oleh pemberitaan yang tidak benar akibat hasutan yang beredar di jejaring media sosial.
Masyarakat Indonesia mudah terprovokasi dalam penyebaran berita-berita tidak benar dan berakhir dengan tindakan bullying. Perilaku buruk di dunia maya akan semakin meningkatkan fenomena aksi cyber bullying. Plafon-plafon media sosial ramai menyoroti tentang para calon pemimpin bangsa (calon Presiden dan calon Wakil Presiden) dan juga para calon anggota dewan yang ramai-ramai mencari simpati dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak sedikit juga pernyataan atau komentar-komentar yang tidak baik bahkan menjatuhkan secara personal yang akhirnya mengarah kepada bullying atau pembunuhan karakter para peserta pemilu.

Pelanggaran Cyberbullying

Dalam UU ITE pelanggaran atas cyberbullying diatur dalam pasal 27 ayat 3 dan 4, namun berdasarkan RUU ITE yang telah disahkan oleh DPR atas perubahan pasal 27A dan pasal 27B. Pada pasal 27A, dijelaskan bahwa pelaku cyberbullying diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun dengan denda maksimal Rp 400 juta.
Dan pasal 27B, menjelaskan bahwa pelaku cyberbullying diancam pidana penjara paling lama 6 tahun dengan denda maksimal Rp 1 miliar. Tentu saja hukuman tersebut berdasarkan pada berat dan ringannya tindak cyberbullying tersebut.
Cyberbullying termasuk dalam kejahatan siber karena alat dan media yang digunakannya dengan memanfaatkan jaringan internet atau plafon media sosial. Akan tetapi dalam KUHP belum dapat menjangkau pengaturan tentang kejahatan cyberbullying, dalam KUHP hanya mengatur mengenai pasal pengancaman dan penghinaan Pasal 368 ayat (1) dengan ancaman pidana paling lama 9 tahun, dan Pasal 310 ayat (1) dengan ancaman penjara paling lama 9 bulan atau denda maksimal 400juta.
ADVERTISEMENT
Tindakan cyberbullying tetap diberikan sanksi pidana bagi yang melanggar berdasarkan delik aduan dari korban. Sekali lagi, kemajuan teknologi yang menyebabkan memudarnya kebudayaan timur dan lunturnya norma-norma kesantunan dalam segala hal, sehingga memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat, khususnya kamu pelajar.
Selain itu, kemajuan teknologi juga menyebabkan rendahnya etika dan moral masyarakat, sehingga bukan kesantunan berbahasa yang terjalin melainkan kekerasan fisik, yaitu tawuran. Memilih kata dalam berkomunikasi juga perlu di perhatikan agar sebuah kegiatan atau tindakan membentuk dan menyelaraskan kata dalam kalimat dengan tujuan untuk mendapatkan kata yang paling tepat dan sanggup mengungkapkan konsep atau gagasan yang dimaksudkan oleh pembicara ataupun penulis.
Akibat kesalahan dalam memilih kata, informasi yang ingin disampaikan pembicara bisa kurang efektif, bahkan bisa tidak jelas bahkan sampai penyebaran berita tidak benar atau hoaks.
ADVERTISEMENT
Akan lebih bijak jika dapat menggunakan jari kita untuk menyebarkan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan akan lebih bijak pula jika dalam menggunakan plafon media sosial tidak menjatuhkan karakter seseorang hanya karena kepentingan pribadi ataupun kelompok.