Aktor Akademik Kampus Tanggapi Permendikbud No. 30 Tahun 2021

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP merupakan lembaga yang berada di bawah struktur pimpinan pusat Muhammadiyah yang bergerak di bidang kebijakan, politik, demokrasi, dan masyarakat sipil
Konten dari Pengguna
14 Desember 2021 14:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktor Akademik Kampus Tanggapi Permendikbud No. 30 Tahun 2021
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus tampaknya tidak memiliki nilai jeda saat terkuak ke publik. Satu demi satu korban pelecehan dan kekerasan seksual sudah semakin berani untuk melaporkan apa yang ia alami di sosial media, mulai dari bentuk laporan video maupun tulisan, baik langsung ataupun tidak langsung.
ADVERTISEMENT
Kita semua sama-sama tau bahwasanya kasus pelecehan dan kekerasan seksual merupakan permasalahan yang sangat urgent dan telah lama dinanti pencegahannya. Pasalnya, hingga tahun 2021 belum ada aturan khusus yang menaungi kasus ini.
Selama ini sebagian besar kampus hanya berpaku pada SOP dan Kode Etik Civitas Akademika, sehingga ketika terjadi kasus tersebut korban tidak memiliki perlindungan hukum yang kuat, akibatnya tidak jarang kasus ini tidak selesai hingga akhir.
Dibentuknya Permendikbud No.30 Tahun 2021 tidak lain untuk melindungi seluruh korban pelecehan dan kekerasan seksual di kampus dan memberikan tempat aman untuk semua mahasiswa dalam menimbah ilmu. Namun, tidak lupa kita juga paham bahwa tidak semua kebijakan mampu menyenangkan semua orang, ada beberapa pihak yang menganggap bahwa peraturan ini lebih kepada menghalalkan zina. Apalagi, pasal yang paling disorot adalah pasal 5 dan 6.
ADVERTISEMENT
Pada Podcast yang dilaksanakan oleh LHKP PP Muhammadiyah yang bertajuk Pro Kontra Permendikbud No. 30 Tahun 2021, Dewi Amanatun Suryani sekaligus dosen menyampaikan bahwa ketika beliau membaca naskah akademik kebijakan ini ada prosedur yang terlewatkan, karena kalau kita lihat bahwa perumusan kebijakan ini lebih kepada secara psikologis sementara dalam merumuskan kebijakan kita juga memperhatikan secara yuridis dan filosofis.
Diketahui bahwa perumusan kebijakan ini berlangsung secara singkat, sehingga tidak terlalu melibatkan semua elemen masyarakat khususnya Ormas Agama. Dan ketika kebijakan ini dikeluarkan ada beberapa pasal yang dianggap multitafsir, contohnya pada pasal 5 dan 6.
Ahmad Kusyairi Husain dari Sekjen Ikatan DAI Indonesia dalam wawancaranya di Mata Najwa mengemukakan bahwa perlu adanya norma agama yang dimasukkan di dalam Permendikbud No. 30 Tahun 2021. Karena jika melihat pasal 5 beliau menyebutkan bahwa pasal ini mengesankan adanya legalisasi perbuatan asusila dan sex bebas berbasis persetujuan. Karena, telalu sering diksi "persetujuan" ini diulang. Sehingga, seakan-akan jika ini dilakukan tanpa adanya pemaksaan penyimpangan itu seakan-akan menjadi benar dan dibenarkan.
ADVERTISEMENT
Kita semua sepakat bahwa yang namanya pelecehan dan kekerasan seksual itu terjadi tanpa adanya persetujuan atau consent dari korban. Namun, perlu diketahui bahwa setiap frasa dan narasi yang digunakan di dalam kebijakan memang harus dipertimbangkan secara eksplisit. Sehingga, hal ini tidak menjadi pemasalahan baru ketika menjatuhkan sanksi. Karena ketika kita berbicara mengenai persetujuan di hukum pidana sendiri agak susah untuk memberikan sanksi.
Berbicara mengenai waktu, jika tadi disebutkan bahwa perumusan kebijakan ini berlangsung secara singkat, Dewi Amanatun Suryani mengemukakan bahwa di dalam proses perumusan kebijakan kita tidak hanya dilihat dari waktu saja, karena di dalam proses perumusan kebijakan semua harus sesuai dalam sasaran, dimana harus ada filosofis, sosiologis dan yuridis.
ADVERTISEMENT
Jika kita menilik lebih jauh, sebenarnya pada tahun 2000 ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden sudah ada Permendibud yang dikeluarkan untuk pengarusutamaan kesetaraan gender pada dunia pendidikan. Sehingga menurut Dewi Amanatun Suryani kebijakan ini yang seharusnya diterapkan. Apalagi, jika kita berbicara mengenai kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus maka kita berbicara mengenai mindset. Kalau perguruan tinggi tidak pernah punya cara pandang pengarusutamakan gender di mana dari sumber daya, sarana prasarana, dan juga analisis terhadap data-data maka ini sulit.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan baru ada 19% perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki aturan yang jelas dalam mengatur kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus. Tentu, ini merupakan fakta yang sangat miris tapi harus perlu kita ketahui. Program SGDs yang menempatkan kesetaraan gender pada salah satu program tentu akan menyulitkan kita dalam proses pengimplementasiannya jika permasalahan pelecehan dan kekerasan seksual tidak menjadi titik konsen yang serius.
ADVERTISEMENT
"Saya melihat bahwa pro dan kontra kebijakan ini berangkat dari apa itu gender, gender itu adalah konstruksi sosial budaya. Ketika konstruksi sosial itu menjadi mainstream, maka tentunya ketika merumuskan kebijakan juga berangkat dari latar belakang filosofi tentang gender itu sendiri, jangan sampai hanya salah satu pihak saja. Karena yang namanya pengarusutamaan gender adalah keadilan dan kesetaraan" tutur Dewi Amanatun Suryani.
Beliau menjelaskan bahwa sebenarnya ketika membaca naskah akademik ini payung hukum terkait Permendikbud ini agak lemah. Karena, belum ada PP dan belum ada Perpres yang membahas mengenai hal ini dan memang semua dasarnya dari undang-undang, undang yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak atas kebebasan dalam hal ini yaitu berpendapat dan mendapatkan perlindungan.
ADVERTISEMENT
"Ketika kita berbicara mengenai persetujuan di dalam perundang-undangan ini sebenarnya ini adalah hal lain dan agak berbeda, karena ada undang-undang lain yang mengatur tentang persetujuan antara kedua belah pihak dan di dalam Permendikbud No. 30 tahun 2021 ini bukan ranahnya" tutur Dewi Amanatun Suryani menambahkan.
Sebagai penutup, beliau mengemukakan bahwa perlu ada kajian ulang secara mendalam terhadap kebijakan ini baik secara fisiologis, sosiologis dan yuridis. Sehingga, dalam hal penyusunan ini dapat melibatkan juga stakeholder, seperti Ormas dan lembaga-lembaga yang sebenarnya perlu diajak untuk duduk bersama jangan sampai dalam perumusan kebijakan tidak menerapkan asas keterbukaan.
Untuk menilik lebih jauh podcast ini, silakan berkunjung ke link di bawah ini: