Refleksi Orde Pra-Reformasi dalam Menanggapi RKUHP yang Telah Disahkan

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP merupakan lembaga yang berada di bawah struktur pimpinan pusat Muhammadiyah yang bergerak di bidang kebijakan, politik, demokrasi, dan masyarakat sipil
Konten dari Pengguna
9 Desember 2022 13:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Laksana kembali merefleksikan ke orde baru di mana setiap napas kehidupan dibalut dengan peraturan yang cukup membatasi lini kehidupan di mana seharusnya negara demokrasi bebas mengutarakan pendapat, pergerakan, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, orde baru tidak hanya menyisakan kegelapan tentang bagaimana negara mengatur warganya sedemikian kaku namun juga mementingkan bagaimana aspek pangan yang cukup menjadi tonggak kehidupan warganya.
Swasembada pangan menjadi kekuatan utama kejayaan masa orde baru yang seringkali dielu-elukan hingga saat ini. Tak ayal warga kerap kali membanding-bandingkan masa saat ini dengan kondisi pra-reformasi tersebut.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwasanya sebuah kebijakan tentu pasti lahir dari sebuah proses politik yang di dalam prosesnya sarat akan kepentingan kelompok yang memiliki peran tunggal dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat yaitu partai politik.
Orientasi sebuah partai politik secara naratif memang ingin mewujudkan kesejahteraan warga negara Indonesia. Mari kita refleksikan menuju dua setengah dekade kebelakang bahwa pasca runtuhnya orde baru partai politik mulai menunjukan eksistensinya, di mana partai penguasa harus berjuang melawan arus reformasi yang mulai tergerus eksistensinya.
ADVERTISEMENT
Hal ini didukung oleh datangnya puluhan partai yang datang dan pergi untuk menjadi petarung dalam PEMILU. Yang menjadi catatan khusus bagi elite partai merupakan bagaimana partai yang seharusnya menjadi organisasi yang mementingkan kepentingan masyarakat namun acap kali justru keputusan bersifat mutlak atau otorian pimpinan belaka.
Lalu di mana titik demokrasi yang dijanjikan ketika reformasi berhasil ditangguhkan 24 tahun lalu? Apakah setiap pejuang orde hanya memiliki cita semangat perjuangan hanya ketika batas tersebut usai direbutkan?
Entah, yang pasti kita sebagai warga negara harus tetap menjadi pengawas utama dalam pergerakan roda negara yang dewasa ini dipegang kendali oleh segelintir elite saja. Perlu dipahami juga bahwasanya negara sedang dalam proses adaptasi yang seharusnya segala aturan dan kebijakannya menyejukkan suasana.
ADVERTISEMENT
Adaptasi bukan lagi membicarakan bagaimana hidup pada kondisi pandemi, melainkan bagaimana membangun gairah hidup setelah cukup nyaman oleh kemudahan-kemudahan dalam bekerja selama pandemi.
Mari kita mulai deskripsikan satu persatu bagaimana RKUHP ini berubah menjadi sebuah Undang-Undang yang telah disahkan pada 6 Desember 2022 kemarin. Pasal dalam sebuah Undang-Undang memang elastis, namun bagaimana ketegasan pemangku kebijakan itu yang menjadi perhatian untuk kita semua.
MENKOPOLHUKAM mengatakan bahwasanya RKUHP telah melewati proses masukkan dan aspirasi. Dalih RKUHP yang telah digunakan merupakan peninggalan Belanda dan dianggap sudah tidak relevan dengan kehidupan saat ini.
Namun, justru saat ini terkandung berbagai pasal kontroversial yang sulit diterima seperti pasal penghinaan terhadap presiden, pidana kumpul kebo, pidana penyebaran komunis, vandalisme, dan lain sebagainya. Kita ketahui bersama bahwa sebuah kebijakan tidak akan bisa menyenangkan semua pihak, namun kebijakan yang seharusnya merupakan produk yang akan dijalankan oleh warga negara tidak bisa mengerdilkan gerak kebebasan warga negaranya.
ADVERTISEMENT
Lalu ketika semua batasan tersebut telah disahkan, maka definisi demokrasi seperti apa lagi yang mereka maksud? Negara harus mempertimbangkan betul bagaimana celah yang timbul pasca disahkannya RKUHP ini.
RKUHP terdiri dari Buku I dan Buku II yaitu tentang Ketentuan Umum dan Tindak Pidana, klasifikasi tindak pidana dibagi menjadi Sangat Ringan, Berat, dan Sangat Berat. Maka dengan hal ini tidak ada lagi yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran.
Selanjutnya beberapa pasal yang cukup membatasi pers dalam kebebasan berpendapat seperti Pasal 285 (draf RKUHP 5 Februari 2018) tertulis: “Setiap orang yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.”
ADVERTISEMENT
Lalu, dalam pasal 305 huruf (d)—terkait contempt of court atau penghinaan terhadap lembaga peradilan—dijelaskan bahwa, “Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.”
Hal ini cukup berbenturan dengan pasal kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan amanah Undang-Undang Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan dan sebagainya ditetapkan sebagai undang-undang.”
Inilah sebagaian pasal yang cukup membuat celah yang justru mendorong kriminalisasi, mengancam lembaga independent dan lain sebagainya. Kita hanya bisa memperjuangkan sesuai dengan konstitusi di mana perjuangan untuk ditolaknya RKUHP menjadi sebuah Undang-Undang telah menemui titik buruknya.
ADVERTISEMENT
Apakah kondisi negara kita akan selalu acuh dengan arus gelombang yang tertimbun di dasar. Apakah pemerintah atau pemangku kebijakan tidak mampu mendengar berbagai kontradiktif yang lahir pasca isu revisi Undang-Undang ini.
Mereka bahkan tidak menyebarluaskan draft yang seharusnya menjadi bahan kajian publik, lalu demokrasi seperti apa yang dimaksud oleh mereka? Inilah kalang kabut wajah Indonesia pasca disahkannya RKUHP.