Biar Joker Saja

Lia Toriana
Penulis lepas di tengah waktu luang demi menjaga kewarasan menjalani peran sebagai ibu dari tiga anak perempuan.
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2019 11:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lia Toriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"The worst part of having a mental illness is people expect you to behave as if you don't." -Arthur Fleck
ADVERTISEMENT
Setelah rilis 4 Oktober lalu, film "Joker", sebuah karya epic dari Todd Phillips menjadi perbincangan. Mungkin juga bukan tanpa alasan, Phillips merilis film ini di rentang bulan penyadaran mengenai kesehatan jiwa (mental health) dan hari ini, Kamis (10/10) adalah perayaan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia.
Gambar dari akun Instagram @jokermovie
Phillips tampaknya memiliki minat besar pada isu kesehatan jiwa, karyanya tahun lalu "A Star is Born" juga mengangkat kegelisahan yang sama. Upaya ini patut kita apresiasi. Masih minim (bahkan minus) kesadaran publik mengenai pentingnya membincangkan dan menciptakan sistem pendukung terkait isu ini.

Isu Kesehatan Mental: Kerap Diabaikan

Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan 350 juta warga dunia mengalami persoalan kesehatan jiwa dengan berbagai bentuk. Jumlah tersebut setara dengan 5 persen dari total populasi dunia. Faktor penyebabnya beragam, mulai dari genetis, psikologis, dan sosiologis.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, WHO pada 2010 menyebutkan bahwa angka bunuh diri mencapai 1,6 - 1,8 persen per 100 ribu penduduk atau sekitar 5 ribu jiwa per tahun. Angka ini mestinya menjadi perhatian pemangku kepentingan. Minimnya akses terhadap informasi, pemahaman publik, bahkan pertolongan bagi korban memperpanjang daftar masalah.
Di masyarakat, mereka yang mengalami situasi ini pun tidak jarang mendapat label buruk dan dikucilkan. Masih kentalnya nilai tradisional dan percaya pada hal-hal klenik, sebagian masyarakat serampangan menyimpulkan bahwa korban terkena "guna-guna" atau nasib sial. Terburuk bahkan oleh keluarga sendiri, korban mengalami kekerasan, seperti: pemasungan.
Joaquin Phoenix di Film 'Joker' Foto: IMDb

Pentingnya Sumber Daya, Kesadaran, dan Akses

Masyarakat bisa diedukasi. Di tengah arus informasi saat ini, penyadaran kepada publik bisa lebih mudah dilakukan. Komunitas-komunitas mandiri yang sukarela membagi informasi dan pengetahuan mengenai kesehatan jiwa pun semakin banyak bermunculan. Mereka menggunakan kanal media sosial untuk menyebarluaskan pengetahuan. Tidak sedikit bahkan yang menawarkan pertolongan, melalui support group, konseling, atau rujukan kepada pihak yang lebih profesional.
ADVERTISEMENT
Namun bagaimana dengan masyarakat yang jauh dari privilese urban dan akses terhadap sumber daya? Pemerintah mesti lebih banyak berperan. Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengatakan bahwa jumlah dokter spesialis kedokteran jiwa masih minim di Indonesia. Data mereka menyebutkan angkanya hanya 987 orang. Masih jauh dibandingkan jumlah dokter spesialis lainnya.
Lalu, bagaimana dengan anggaran? Biar Gotham City saja yang memutus BPJS-nya, sehingga Fleck tidak bisa mengakses pengobatan bagi deritanya. Sayangnya, itu pun yang Indonesia alami. Hampir tidak ada anggaran khusus baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota untuk menangani persoalan kesehatan mental di Indonesia. Meskipun kita memiliki Undang-undang Kesehatan Jiwa. Padahal, ketersediaan sumber daya, mulai dari anggaran hingga personel menjadi solusi penting bagi tantangan ini.
ADVERTISEMENT

Apa yang Bisa Dilakukan?

Tentu kita bisa terhubung pada apa yang dialami Fleck. Upayanya untuk bersikap baik, senang, ramah, dan terus baik-baik saja di tengah derita sakit mental adalah kesakitan yang sebenarnya. Gotham City sudah terlalu banal. Fleck sudah terlalu tidak sabar dan pilihan mengakhiri diambilnya. Menghabisi mereka yang menyakiti dan dianggap menambah luka batinnya.
Tapi, kita bisa memilih untuk tidak menciptakan Gotham City baru di sini. Biar Joker saja yang melaluinya, tokoh fiktif yang ada di karya pembuatnya. Tidak perlu meromantisir, bahkan menjadikan pembenaran: "orang jahat adalah orang baik yang tersakiti." Cukup Fulgoso, jangan.
Kamu, saya, kita tidak sendirian. Belum ideal memang, tapi ada upaya solusi yang ditawarkan. Oleh sekelompok profesional sampai relawan. Tidak ada yang buruk atau bahkan lebih buruk jika kita mencari pertolongan. Seiring dengan itu, mengadvokasi ruang-ruang pengambilan keputusan agar isu kesehatan jiwa menjadi prioritas pemerintah pun sangat mungkin dilakukan. Beberapa koalisi masyarakat sudah lebih dulu menginisiasinya. Kamu, saya, kita adalah pejuang. Pilihan sikap kita bisa dimulai dari sekarang: menjadi bagian dari perubahan atau diam berpangku tangan.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Kesehatan Jiwa Sedunia.