Seribu Momiji untuk Sebaris Harapan

Gerimis turun tepat ketika aku sampai di tempat itu. Rintik kecil seperti ribuan jarum dari langit membasahi daun-daun mapel merah yang berjatuhan, menutupi sebagian jalan. Momiji. Kami menyebutnya begitu.

Bangku kosong yang berada satu meter di depanku terlihat mulai basah. Semua orang di taman berlarian mencari tempat berteduh, sementara aku terus melangkah mendekati bangku kosong itu. Tepat saat itu seorang laki-laki berkacamata berlari kecil ke arahku sambil memasukkan kamera besarnya ke dalam tas slempang berwarna hitam. Saat melewatiku, dia melirik dan kami saling bertemu pandang dalam beberapa detik. Tatapannya menyiratkan keheranan. Aku berani bertaruh, ada sekian pasang mata lain yang menatapku heran. Berjalan di bawah guyuran hujan di sebuah area terbuka memang bukan hal yang biasa.

Kuhenyakkan bokongku di atas kursi kayu yang basah dan dingin. Kulirik jam bulat mungil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul dua siang. Seharusnya dia sudah di sini bersamaku, duduk berdua di bangku ini seperti tahun lalu… dan tahun sebelumnya saat pertama kali kami bertemu. Wajahku menengadah ke langit tepat saat angin bertiup cukup kencang, membawa tetes hujan bersama daun-daun momiji yang berguguran. Pemandangan yang selalu kusukai di setiap musim gugur, terutama saat bersama dia.