Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mencari yang Tak Terlihat
7 Februari 2022 2:43 WIB
·
waktu baca 7 menitDi pagi hari, ayah Uli, sejumlah orang kampung, lelaki tua itu, dan seekor kambing bersiap-siap untuk berangkat bersama ke tepi hutan. Uli bersikeras ikut. Ayahnya melarang, karena tidak mengetahui seberapa besar risiko yang akan dihadapi mereka. Uli pantang menyerah. Ayahnya lebih tidak ingin putrinya bolos sekolah. Sebentar lagi ulangan umum. “Aku kelas empat SD waktu itu,” tutur Uli sambil mengunyah kue nastar.
Rengekan anaknya yang gigih menyakitkan telinga, dan untuk menghindari sakit telinga itu, ayahnya membolehkan Uli ikut rombongan yang tengah mengemban tugas khusus ini. Anggota rombongan langsung bertambah: sejumlah laki-laki dewasa, seorang lelaki tua, seorang bocah perempuan bersuara melengking, dan seekor kambing.
Awalnya mereka berhenti di kebun penduduk yang berbatasan dengan hutan. Tidak seorang pun berbicara. Kambing membisu. Mereka duduk di tanah dan menunggu arahan lelaki tua itu yang berdiri mematung seperti tunggul. Ia kemudian memberi mereka isyarat untuk mengikutinya memasuki hutan. Parang-parang terayun menebas semak. Rombongan ini akhirnya berhenti di dekat sebatang pohon duku. Kambing ditambatkan di situ. Kakek itu komat-kamit, merapal jampi-jampi.
Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, sang paman muncul di permukaan tanah. Tubuhnya bergeming, seakan tidur lelap. Kambing itu hilang seketika. Pertukaran yang dianggap setara telah terjadi.
Uli terkencing sedikit di celana. “Aku kaget, Kariiiin,” katanya, sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri.
Lelaki tua itu lantas berkata kepada rombongan yang dipimpinnya, “Bawa pulang dia sekarang.” Ayah Uli dan orang-orang kampung pun bergantian memanggul pamannya, berjalan meninggalkan hutan. Ketika terbangun, pamannya tidak bisa mengingat apa pun yang dialami saat hilang. Peristiwa itu seolah tidak pernah ada, terhapus dari ingatan.
“Kamu menginap di rumah aku saja, Karin. Masih banyak cerita-cerita yang seru. Iiih, Karin sudah berapa tahun ya kita tidak jumpa? Kalau tidak kebetulan ada urusan di sini, kamu tidak akan mencari aku ‘kan?” Uli merajuk sebentar sebelum melanjutkan kisahnya.
Karina mampir di Medan untuk menyeberang ke Gunungsitoli keesokan harinya. Uli teman masa kuliahnya dulu di Jakarta.
Sebagian orang memercayai keberadaan tirau di kawasan hutan Gunung Kerinci. Makhluk pendek berbulu ini dijuluki manusia kerdil. Gerakannya secepat angin. Orang-orang berkhayal telapak-telapak kakinya menghadap ke belakang.
Kakek Uli pernah hampir terbunuh oleh gerombolan perampok di masa pendudukan Jepang. Ia dan lima temannya dihadang. Sekarung beras yang mereka dapat dengan merampas gudang Jepang direbut gerombolan bersenjata ini. Mereka melawan gerombolan sekuat tenaga. Karung beras pun terebut kembali, tetapi salah seorang perampok berhasil menikam lengan kiri kakeknya dengan lading beracun. Waktu itu belum ada cara untuk membuang racun dari luka tersebut. Mereka pun harus terus berjalan untuk sampai di Aceh. Dari cerita-cerita burung, orang-orang Aceh tidak pernah menyerah kepada penjajah. Cerita-cerita burung tersebar, sebagaimana burung-burung bermigrasi ke berbagai tempat di muka bumi. Dengan demikian, Aceh merupakan satu-satunya tempat untuk menyelamatkan diri dan berjuang bagi mereka yang tidak sudi diperbudak.
Di tengah perjalanan menyusuri jalan setapak di kawasan hutan Kerinci, kakek Uli menangkap kelebatan orang-orang yang berlarian di atas daun-daun dan ranting-ranting pepohonan. Sebelum mengetahui jati diri mereka, tiba-tiba makhluk setinggi sekitar satu meter menghadang jalan. Wujudnya persis manusia. Ia langsung mencekal lengan kakek Uli yang terluka lalu menjilati luka itu.
Kakek Uli terkejut dan memilih tidak melakukan gerakan apa pun. Makhluk tersebut kemudian melompat kembali ke atas pohon. Menghilang. Uli menegaskan, “Luka kakek sembuh seketika.” Air liur tirau ternyata mengandung penawar racun. Jangan sampai mereka diburu perusahaan-perusahaan farmasi.
Siang itu Karina dijamu Uli makan di kafenya. Nasi dan sop buntut. Aroma sop menerbitkan rasa lapar. “Bumbunya aku bikin sendiri, nggak beli jadi. Makan, makan. Nanti tambah ya, “ Uli mondar-mandir melayaninya. “Kamu nanti bawa setoples nastar aku. Menjelang Idul Fitri dan Natal, ini yang paling banyak dipesan orang, sama itu... lidah kucing, putih salju, kastengel.” Suara Uli masih melengking.
Tidak berapa lama, seorang bocah laki-laki berambut keriting muncul bersama pengasuhnya. Putih, gemuk. “Tante, ini Roko. Salam sama Tante.” Uli mengenalkan putranya. Karina menatap bocah yang langsung bersembunyi di balik tubuh ibunya itu. “Nama anakmu unik sekali, Ul. Roko,” kata Karina memuji. Uli tertawa, lalu menjelaskan, “Roko itu berasal dari Rokok. Dulu suamiku perokok berat. Terus dia berhenti waktu aku hamil anak ini. Untuk mengenang momen itu, kami beri anak kami nama Roko. Roko Aliman Batubara. Biar nanti dia alim juga.” Tawa mereka pun berderai. Sahabat lama menghangatkan hati.
Pada tahun ia bertemu Uli, Karina ingat ada berita tentang penculikan putra pengusaha Hakka pendiri perusahaan balsem cap Macan, obat gosok yang terkenal. Lelaki itu disekap di sebuah rumah di Kebumen, Jawa Tengah. Kerabatnya di Singapura menyewa mantan tentara pasukan khusus Special Air Service atau SAS dari Selandia Baru untuk membebaskannya dan membawanya terbang langsung ke Auckland. Peralihan kekuasaan sedang terjadi di Indonesia. Negara dikuasai gerombolan-gerombolan yang bersaing. Tidak ada yang menggubris permintaan tolong dari keluarga pengusaha balsem. Pelaku penculikan itu gabungan oknum aparat dan anggota organisasi pemuda.
Karina menyukai cerita-cerita seperti yang dituturkan Uli, sehingga menemui orang-orang di mana pun yang mengetahui adanya manusia ajaib. Ketika ia melanjutkan penelitian rekannya, antropolog Helmut Herzog, di Borneo dulu, ia berhasil bertemu Luta, panglima Dayak Iban yang berusia 350 tahun. Ia mencatat pengalaman-pengalaman hidup Luta. Ia juga sempat berkenalan dengan sahabat karib Luta, Datu Pasir, yang menjelma jadi bengkarung kecil di hadapannya, melata di lantai.
Dalam salah satu kunjungan ke Halmahera, Karina mewawancarai salah seorang kepala suku setempat yang pernah bertemu orang-orang dari suku Moro, suku yang tidak terlihat. Ia menraktirnya minum air guraka yang ditabur irisan kenari dan makan pisang goreng mulu bebe di kedai yang menghadap Teluk Jailolo. Angin November lumayan kencang. Halaman-halaman buku catatannya tersibak-sibak. Akhirnya ia terpaksa menyalakan alat perekam.
Penelitian ini belum selesai, sehingga ia tidak dapat menyebutkan nama narasumbernya, kepala suku itu.
Sebagian kesaksiannya sudah ditranskripsi:
Bagaimana jika semua sungai telah tercemar limbah dan airnya tidak lagi aman untuk tubuh kita?
Kepala suku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya.
Beberapa hari sesudah itu, Karina menemui seorang pendeta yang dengan suka cita membagi cerita tentang orang Moro. Sang pendeta tadinya menganggap Moro sebuah legenda, tetapi pengalaman dosennya menunjukkan kebenaran yang lain.
Karina membaca kembali sebagian keterangan pendeta itu yang telah ditranskripsi:
Ia berencana pergi ke Dukono. Dukono ternyata nama sebuah gunung.
_________________
Catatan editor: Teks pembuka cerita ini dialihmediakan menjadi audio. Putar media player untuk mendapatkan kisah secara utuh. Anda akan mendengar penulisnya, Linda Christanty , bertutur langsung untuk Anda.
Baca kisah Linda Christanty lainnya dalam kumpulan Orang-Orang Hilang di bawah ini: