Haru Biru Penerbitan Buku

Fadly Suhendra
Editor/Asesor LSP/Pranata Humas Muda BRIN
Konten dari Pengguna
22 Mei 2024 10:25 WIB
·
waktu baca 16 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadly Suhendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru saja masyarakat Indonesia memperingati pentingnya buku dan literasi. Perayaan Hari Buku Nasional (HBN) yang ditetapkan setiap 17 Mei menjadi refleksi untuk menghargai keberadaan buku sebagai sumber pengetahuan dan inspirasi. Dengan kata lain, perayaan HBN sejatinya bertujuan untuk meningkatkan minat baca masyarakat serta menghargai peran buku dalam pembangunan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Secara historis, HBN kali pertama dicanangkan pada 17 Mei 2002, bersamaan dengan peringatan hari jadi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang dibentuk pada 17 Mei 1980. Tidak saja itu, HBN juga diperingati sebagai hari jadi Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), sebuah asosiasi profesi yang menghimpun para penerbit buku dari seluruh Indonesia, dibentuk pada 17 Mei 1950 di Jakarta.
Dengan demikian, peringatan HBN yang bersamaan dengan lahirnya Perpusnas dan Ikapi tersebut menyiratkan makna simbolis dan komitmen pada pembangunan budaya literasi, industri penerbitan, serta buku sebagai salah satu produk pengetahuan dan budaya yang akan mencerminkan peradaban bangsa Indonesia.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Bennett (2005) dalam The Book as a Cultural Object. Menurutnya, buku bukan hanya medium untuk menyampaikan informasi, melainkan juga sebuah objek budaya yang memiliki nilai simbolis dan historis; buku mencerminkan identitas, kekuasaan, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Dalam hal ini, perayaan HBN tidak saja menjadi momentum untuk mengingatkan pentingnya literasi dalam masyarakat, namun juga menegaskan bahwa akses terhadap bahan bacaan dan produksi pengetahuan adalah fondasi utama dalam membangun sumber daya manusia (masyarakat) Indonesia yang unggul dan cerdas sebagaimana yang digaungkan pemerintahan Jokowi.
ADVERTISEMENT
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara harfiah literasi diartikan sebagai kemampuan menulis dan membaca; pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu: dan kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Lebih jauh, literasi sains diartikan sebagai kemampuan untuk memahami fenomena alam dan sosial serta kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat secara ilmiah untuk dapat hidup lebih nyaman, sehat, dan baik.
Dalam kaitan ini, peningkatan kemampuan literasi, disinyalir dapat membuka pintu menuju masa depan yang lebih cerah dan berbudaya. Melalui literasi, seseorang dapat mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia, merangsang imajinasi, serta memperluas wawasan dan pandangan hidup.
Namun, dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah, peringatan HBN juga memunculkan pertanyaan tentang masa depan literasi membaca buku di Indonesia. Bagaimana kita dapat memastikan bahwa akses terhadap buku dan pengetahuan tetap merata di seluruh pelosok negeri? Bagaimana kita dapat mendorong minat baca dan mengembangkan budaya literasi di tengah-tengah masyarakat yang semakin terdorong oleh teknologi digital?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu melihat bagaimana dunia penerbitan buku di Indonesia sebagai salah satu entitas yang memproduksi buku sebagai sumber literasi. Haru biru yang terjadi dalam penerbitan buku beberapa tahun ini, kiranya menjadi sesuatu yang patut menjadi perhatian dalam perayaan HBN tahun ini.

Haru Biru Penerbitan Buku

Haru biru penerbitan buku di Indonesia kali pertama terjadi di penghujung tahun 2021 hingga pertengahan 2023. Ketika itu banyak penerbit mengalami hambatan dalam menerbitkan buku akibat adanya krisis nomor ISBN yang dikelola oleh Perpustakaan Nasional. Terkait persoalan ini, cukup banyak yang telah mengulasnya, tiga di antaranya Arys Hilman Nugraha, Ketua Umum Ikapi melalui tulisannya yang berjudul “ISBN Bukan untuk Gengsi”, Bambang Trim selaku praktisi perbukuan yang mengurai perihal "ISBN dan Dumi Buku”, dan Anggun Gunawan seorang akademisi dari perguruan tinggi yang mengurai soal "ISBN, Penerbit Indie, dan Regulasi Kemendikbud". Pihak Perpusnas melalui Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan juga telah menguraikan berbagai persoalan ini dalam webinar sosialisasi layanan ISBN.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai ulasan tersebut, beberapa hal penyebab krisis ISBN dikemukakan, di antaranya karena banyak publikasi yang tidak relevan untuk diberi ISBN, seperti laporan kinerja lembaga negara, laporan program/kegiatan, makalah kebijakan, dan laporan penelitian. Adanya regulasi yang mewajibkan untuk menulis dan menerbitkan buku bagi aparatur sipil negara (ASN) yang mengambil jalur karier sebagai pejabat fungsional, seperti guru, dosen, dan peneliti juga menjadi persoalan yang disinyalir turut berkontribusi.
Pasalnya, kebijakan tersebut mengakibatkan buku diterbitkan hanya untuk kebutuhan memenuhi persyaratan administrasi. Lebih jauh, persyaratan sebuah buku agar dapat diakui hanya sebatas buku harus ber-ISBN dan diterbitkan oleh penerbit yang terdaftar sebagai anggota IKAPI. Dapat disinyalir, cikal bakal persyaratan tersebut dimaksudkan bahwa buku yang diterbitkan harus tersedia untuk publik karena itu ber-ISBN, kedua diterbitkan oleh penerbit yang kredibel. Dalam konteks penerbit yang kredibel, mungkin diharapkan penerbit yang terdaftar di IKAPI adalah penerbit yang menjalankan fungsinya sebagai “Gate Keeper”. Namun, dalam praktiknya tidak demikian. Dua peraturan yang cukup detail mengatur ini ada pada Pedoman Operasional Penilaian angka kredit kenaikan jabatan akademik/pangkat dosen yang dikeluarkan Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti, Tahun 2019 dan Peraturan Kepala LIPI Nomor 20 tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, kebijakan tersebut memicu munculnya berbagai layanan penerbitan buku yang instan untuk mereka yang harus memenuhi persyaratan kenaikan pangkat. Satu sisi hal ini berdampak positif bagi perekonomian, tumbuhnya bisnis penerbitan dengan menawarkan layanan penerbitan berbayar yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan penulis. Sisi lain, persoalan ini menjadi bias karena peran penerbit yang selayaknya melakukan peran “Gate Keeper”, justru hanya jualan “stempel” ISBN dan Anggota IKAPI sebagaimana persyaratan yang diperlukan. Hal inilah yang disinyalir turut berkontribusi dalam kekacauan penggunaan ISBN di Indonesia. Karena buku-buku yang diterbitkan dengan jumlah terbatas, tidak tersedia untuk publik, padahal nomor ISBN yang dikeluarkan Perpusnas terbilang fantastis sebagaimana yang diuraikan Ketua Ikapi dalam tulisannya yang berjudul “ISBN Bukan untuk Gengsi”. Bahkan International ISBN Agency yang berpusat di London memberikan peringatan tentang ketidakwajaran pengajuan ISBN di Indonesia tersebut.
ADVERTISEMENT
Layanan penerbitan buku instan ini dengan mudah ditemukan di berbagai media sosial dan grup-grup WhatsApp (WAG), merambah ke berbagai komunitas dan instansi. Penerbitan buku dengan jumlah cetakan terbatas, antara 1‒5 eksemplar, menawarkan kecepatan dan biaya murah sebagai daya tariknya, mulai dari Rp300 ribu‒1 juta per judul. Bahkan dalam promosinya menggaransi atau memberikan jaminan buku pasti terbit. Layanan seperti ini pun dapat dengan mudah kita temukan di mesin pencari dengan hanya mengetik kata pencarian “layanan penerbitan buku”.
Layanan penerbitan seperti itu tentu menciderai cita-cita pembentukan Ikapi yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan peran literasi dalam kehidupan publik dan mengembangkan industri penerbitan buku. Upaya penerbit untuk berkontribusi aktif dalam pendidikan dan peningkatan peradaban bangsa sebagaimana yang dinyatakan Ikapi pada websitenya jelas tidaklah sejalan. Tampaknya Ikapi perlu lebih giat melakukan fungsinya, yaitu sebagai sarana dan pusat komunikasi, informasi, konsultasi, advokasi dan pelatihan untuk industri penerbitan buku di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Realitas Penerbitan Buku
Di beberapa kesempatan, ketika melakukan kegiatan sosialisasi dan asistensi penulisan buku, tidak jarang saya mendapati pertanyaan-pertanyaan yang cukup memprihatinkan. Pasalnya, banyak penulis yang notabene dosen dan peneliti memiliki karya yang diterbitkan dengan jumlah sangat terbatas, bahkan ada yang hanya satu eksemplar. “Saya telah menerbitkan buku, namun hanya cetak terbatas sejumlah 5 eksemplar, dapatkan buku tersebut saya terbitkan kembali dalam versi elektronik agar dapat dimanfaatkan?” Ada juga kasus pertanyaan ini: “Bagaimana cara agar buku saya tersedia secara online? Buku saya hanya diterbitkan 1 eksemplar, dan penerbit berjanji akan mendistribusikan secara online namun sudah satu tahun tidak kunjung ada?”
Lain lagi ketika kasus penerbitnya tidak ditemukan kembali. Dalam situasi ini, terdapat sejumlah judul buku karya dari akademisi di sebuah perguruan tinggi yang diusulkan ke Program Akuisisi Pengetahuan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Namun, buku-buku tersebut gagal diproses karena tidak mendapatkan izin atau rekomendasi dari penerbitnya. Pasalnya, pengelola penerbitnya sudah tidak ada. Kontak dan alamatnya sudah berubah. Lalu penulis berinisiatif untuk menerbitkan ulang, namun sama saja, penulis sudah tidak memiliki file naskahnya. Sekalipun naskahnya ada, persoalan akan terbentur dengan regulasi dari Perpusnas, terkait surat pengalihan hak penerbitan dari penerbit sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Situasi-situasi seperti ini seharusnya dapat dihindari jika penulis memahami seluk-beluk dalam proses penerbitan. Begitu juga dengan penerbit selaku pihak yang mengelola naskah. Dalam praktik penerbitan buku umumnya dilandasi atas berbagai kepentingan. Ada buku yang diterbitkan sekadar untuk memperingati hari ulang tahun atau perayaan tertentu, ada buku yang diterbitkan sebagai bentuk penghargaan, ada buku yang memang diterbitkan sebagai upaya mempreservasi dan mendokumentasikan pengetahuan atau informasi tertentu dengan mengonservasinya menjadi produk pengetahuan, dan alasan lain yang sesuai dengan tujuannya. Dalam konteks bisnis atau komersial, buku-buku yang diterbitkan akan melalui proses kurasi yang ketat, dipertimbangkan dari berbagai aspek, mulai dari trend hingga serapan pasar. Hal ini dilakukan karena penerbit selaku pihak yang bertanggung jawab atas serangkaian proses editorial akan menanggung resiko keuangan yang diinvestasikan untuk menerbitkan sebuah buku.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam konteks penerbitan buku yang diperuntukkan sebagai syarat kenaikan pangkat atau sebagai bukti atau luaran hasil kerja, selayaknya memiliki parameter atau kriteria yang sejalan dengan semangat membangun budaya literasi. Penerbitan buku yang ditujukan sebagai bukti luaran hasil kerja, sejatinya merupakan wujud atau merepresentasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki penulis sesuai dengan kompetensinya. Mereka yang berhasil mengajukan buku sebagai hasil kerja tidak saja berhasil dalam jenjang karier, namun juga mendapatkan kompensasi berupa remunerasi dan reputasi. Jadi, karya mereka harus dapat dimanfaatkan sebagai sumber pengetahuan. Buku-buku yang mereka hasilkan harus mudah ditemukan dan didapatkan, tidak hanya diterbitkan untuk keperluan administrasi dengan jumlah 1-5 eksemplar, yang itu tentu mencederai kepentingan publik, khususnya mereka yang berprofesi sebagai ASN. Dengan kata lain, persoalan penerbitan buku dengan jumlah terbatas, semata-mata untuk mendapatkan ISBN, menyebabkan hilangnya peran buku sebagai salah satu produk budaya. Jika buku diterbitkan dengan cara tersebut, hanya akan tercatat di dalam sistem bibliografi Perpusnas dan daftar riwayat hidup penulisnya (CV).
ADVERTISEMENT
Situasi ini juga terkait dengan hambatan yang membatasi akses ke pengetahuan, tidak saja persoalan visibilitas, namun juga terkait dengan aksesibilitas buku tersebut. Buku sebagai produk budaya harus dapat diakses oleh siapa pun. Selain itu, publikasi buku dapat menjadi contoh yang baik untuk menunjukkan dampak atas produksi pengetahuan yang dihasilkan dalam banyak bidang. Apalagi publikasi merupakan wujud intelektualitas, buah pikir dari kepakaran yang ditekuni penulisnya. Karenanya, kredibilitas seorang akademisi dan ilmuwan dibuktikan dari adanya portofolio berupa rekam jejak kontribusi intelektualnya melalui publikasi yang dihasilkan.
Upaya Perbaikan
Penyebab melonjaknya penggunaan ISBN, memang telah disikapi oleh Perpusnas melalui Peraturan Perpustakaan Nasional RI Nomor 5 Tahun 2022 tentang Layanan Angka Standar Buku Internasional (ISBN). Peraturan tersebut juga telah diturunkan dalam bentuk petunjuk teknis layanan ISBN yang juga diterbitkan pada tahun 2022. Selain mengatur mengenai buku yang layak dan tidak untuk mendapatkan ISBN, peraturan tersebut juga mengatur mengenai persyaratan yang harus dipatuhi oleh penerbit, seperti 1) buku diterbitkan secara umum dan luas; 2) buku tidak terbit secara berkala; 3) buku terdapat di pasaran, baik offline (toko buku) atau online (marketplaces); 4) penerbit memiliki titik akses ketersediaan buku; dan 5) karya cetak dan/atau karya rekam diterbitkan paling lambat tiga bulan setelah memperoleh ISBN.
ADVERTISEMENT
Empat dan lima persyaratan tersebut sejalan dengan yang pernah disampaikan Frankel et al. (2000) dalam artikelnya yang berjudul “Defining and Certifying Electronic Publication”. Menurutnya, siapa pun yang bertanggung jawab untuk menyediakan publikasi di era digital harus memiliki komitmen dalam menyediakan sarana yang gigih terkait alamat web untuk menemukan dokumen elektronik tersebut. Lebih jauh ditegaskannya, mempublikasikan karya di era digital berarti bahwa pengguna harus dapat menemukannya, versi apa pun yang mereka cari. Demikian juga dengan Waters (2016) dalam artikelnya yang berjudul “Monograph Publishing in the Digital Age” mengatakan bahwa karya dari fakultas, universitas, atau perguruan tinggi, dan penerbit akan berharga jika diciptakan agar pembaca menemukan dan membaca karya-karya pengetahuan yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, situs web di era digital sudah selayaknya menjadi etalase penerbit yang harus dikelola secara profesional dan berkelanjutan. Pasalnya, menyebarluasakan publikasi dalam lanskap digital adalah pentingnya meningkatkan 'kemampuan pencarian' untuk dapat ditemukan. Dengan demikian, persyaratan pengajuan ISBN dari Perpusnas dapat mendorong penerbit untuk memastikan bahwa situs web yang menampilkan produk buku dioptimalkan untuk mesin pencari, yaitu dengan menambahkan metadata ke deskripsi buku dalam memudahkan kemampuan untuk ditemukan melalui mesin pencarian (retrievability).
Momentum Pembenahan Regulasi
Kebijakan penerbitan buku dengan syarat “diterbitkan oleh penerbit anggota Ikapi”, tampaknya perlu melihat kembali apa yang disebut sebagai penerbit dan ruang lingkup penerbitan dari berbagai perspektif. Menurut Rambatan (2015) dalam buku Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019, definisi penerbitan sering kali disamakan dengan definisi percetakan. Menurutnya, pemahaman ini tidak hanya dimiliki oleh masyarakat awam, tetapi juga pelaku bisnis. Bahkan orang-orang di pemerintahan masih sulit membedakan proses bisnis di antara kedua kegiatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, Rambatan (2015) menjelaskan bahwa secara etimologis dan konseptual, penerbitan dan percetakan memiliki makna yang sangat berbeda, bahkan karakteristik proses dan model bisnisnya. Menurutnya, penerbitan merupakan kegiatan mengelola informasi dan daya imajinasi untuk membuat konten kreatif yang memiliki keunikan tertentu, dituangkan dalam bentuk tulisan, gambar dan/atau audio ataupun kombinasinya, diproduksi untuk dikonsumsi publik, melalui media cetak, media digital, ataupun media daring untuk mendapatkan nilai ekonomi, sosial ataupun seni dan budaya yang lebih tinggi.
Sementara itu, Hasan Pambudi, penulis buku Dasar dan Teknik Penerbitan Buku (1981), mendefinisikan kegiatan menerbitkan sebagai kegiatan yang “mempublikasikan kepada umum, mengetengahkan kepada khalayak ramai, kata dan gambar yang telah diciptakan oleh jiwa-jiwa kreatif, kemudian disunting oleh para penyunting untuk selanjutnya digandakan oleh bagian percetakan.” Namun, jika hanya satu saja dari serangkaian kegiatan tersebut, menurutnya tidak dapat disebut sebagai penerbit. Demikian juga dalam ISBN Users' Manual, Edisi Ketujuh, penerbit didefinisikan sebagai individu atau perusahaan yang bertanggung jawab atas semua tahap dalam pembuatan, produksi, diseminasi dan pemasaran publikasi digital atau cetak. Penerbit bertanggung jawab atas konten dan risiko keuangan apa pun yang terlibat dalam proses tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan defenisi yang ada, apa yang ditawarkan oleh penerbit-penerbit instan tadi menjadi rancu. Aktivitas dalam penerbitan lebih dititikberatkan pada proses pengemasan dan penyebaran informasi, yaitu membuat informasi tersedia untuk publik. Fokus penerbit adalah menciptakan konten bagi konsumen. Sementara itu, aktivitas pada percetakan lebih bersifat pada produksi dan replikasi hasil karya berisikan muatan konten tersebut. Dengan demikian, penerbitan dan percetakan memiliki aktivitas utama yang berbeda, walaupun sama-sama menghasilkan keluaran berupa produk informasi untuk masyarakat. Dengan kata lain, dalam alur proses penerbitan sendiri sudah terdapat kegiatan percetakan sehingga penerbitan tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan produksi karya, tetapi lebih kepada proses penciptaan konten berkualitas meliputi kegiatan pengurasian, penyuntingan, pengoreksian, pendesainan, dan penyebarluasan atau pendistribusian.
ADVERTISEMENT
Salah satu tantangan dalam penerbitan buku adalah menjaga keseimbangan antara kebutuhan untuk menjamin ketersediaan buku dan akses yang luas, namun juga memastikan keberlanjutan keuangan operasi penerbitan. Terkait persoalan ini, tentu bukan ranah pemerintah untuk mengatur bagaimana bisnis penerbitan dijalankan karena itu menjadi ranah asosiasi. Dalam konteks ini, pemerintah diperlukan untuk meninjau praktik penilaian buku yang diterbitkan sebagai tolok ukur atau bukti kinerja.
Dengan kata lain, definisi apa yang disebut sebagai 'publikasi buku' yang dapat diajukan sebagai syarat kenaikan pangkat atau bukti luaran hasil kerja perlu dirumuskan kembali. Lahirnya Peraturan Menteri (Permen) Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) terkait ruang lingkup pengelolaan, pelaksanaan, dan penilaian kinerja bagi ASN menjadi momentum untuk merespons dan adaptif atas permasalahan penerbitan buku dalam konteks ini. Peraturan ini menuntut perubahan paradigma dalam menilai kinerja ASN, khususnya bagi ASN dengan jalur karier jabatan fungsional. Saat ini beberapa kementerian dan lembaga pemerintah selaku instansi pembina jabatan fungsional (jabfung) sedang dalam proses menggodok aturan terkait petunjuk teknis dan kriteria penilaian yang akan melekat pada sasaran kinerja pegawai (SKP) sesuai dengan aturan KemenPAN-RB tersebut.
ADVERTISEMENT
Perubahan layanan pengajuan ISBN oleh Perpusnas sekiranya menjadi momentum untuk mendefinisi¬kan kembali apa dan bagaimana publikasi buku yang dapat diterima sebagai bukti luaran hasil kerja oleh berbagai instansi yang mengatur jabatan fungsional ASN. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Frankel dkk. (2000) dalam artikelnya yang berjudul “Defining and Certifying Electronic Publication” bahwa kebutuhan untuk mendefinisikan apa yang merupakan 'publikasi' dalam ilmu pengetahuan di era elektronik sangat penting. Menurutnya, tanpa definisi publikasi yang mempertimbangkan berbagai bentuk tulisan ilmiah yang ditemukan di internet, kualitas, integritas, dan autentisitas informasi ilmiah yang dikomunikasikan secara elektronik akan sulit ditentukan. Pasalnya, publikasi adalah alat ukur utama dan pertama dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Selain untuk menetapkan prioritas penemuan, status publikasi merupakan faktor penting untuk menyelesaikan sengketa prioritas atau klaim kekayaan intelektual. Oleh karena itu, masa jabatan akademik dan keputusan promosi sebagian besar didasarkan pada publikasi di jurnal peer-review atau buku-buku ilmiah.
ADVERTISEMENT
Sekiranya jelas apa yang dikatakan Frankel dkk. (2000) walaupun tawarannya disampaikan jauh sebelum internet berkembang seperti sekarang ini. Selain untuk membuat hasil publikasi luaran hasil kerja bermanfaat untuk publik, upaya ini juga diharapkan dapat membangun tingkat kepercayaan publik, para penulis, dan institusi ketika mendapatkan jaminan tentang apa yang dianggap sebagai publikasi yang sah. Status dokumen elektronik yang diterbitkan semakin penting dalam lingkungan digital, ketika ledakan informasi menghasilkan kebutuhan yang mendesak akan sarana yang efisien dan andal untuk membedakan antara informasi yang berguna untuk menambah basis pengetahuan dan yang tidak. Di satu sisi, ilmuwan perlu mengetahui status informasi yang mereka hasilkan atau dapatkan, apakah mereka perlu merujuknya, mengkritiknya, atau mengembangkan untuk memajukan bidang ilmu mereka sendiri. Di sisi lain, publik secara umum perlu mendapatkan sumber informasi yang kredibel sebagai basis pengetahuan untuk peningkatan literasi.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dengan mengadopsi apa yang dikatakan Frankel dkk. (2000), sebuah publikasi (buku) setidaknya memiliki tiga tujuan utama, yaitu pertama, untuk mempromosikan kemajuan ilmu pengetahuan dan kebajikan sosial. Oleh karena itu, publikasi harus terdokumentasi secara andal dan dijamin keasliannya. Buku harus diperiksa kebenaran dan kebaikannya melalui proses penjaminan kualitas oleh penerbit. Kedua, untuk memberikan kontribusi pada pengembangan dan sistem pengelola informasi ilmiah dalam lanskap digital. Dalam hal ini, publikasi buku harus dapat diidentifikasi dengan baik. Keberadaan ISBN merupakan bagian dari sistem pengidentifikasi buku dalam konteks penyebarluasan dan pendistribusian. Nomor pengidentifikasi bertujuan untuk memudahkan proses peninjau dan me¬mas¬tikan bahwa buku dapat diakses dan ditemukan kembali (retrievability). Ketiga, untuk membantu menyelesaikan beberapa ketidakpastian tentang status, peran, dan fungsi publikasi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, publikasi buku harus tersedia untuk umum atau dapat diakses publik secara berkelanjutan (retrievability), baik dijual ataupun tidak.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Hikmat Kurnia, Ketua Ikapi Jakarta dalam Focus Group Discussion (FGD) Penerbit Kementerian/Lembaga dengan tema “Urgensi Penerbit Pemerintah dalam Penguatan Konten Literasi” yang diselenggarakan oleh Penerbit Perpusnas Press mengatakan “setidaknya sebuah buku diterbitkan dengan tiga tujuan utama. Pertama, buku harus mengandung kebenaran, mulai dari data, fakta, dan keasliannya; Kedua, buku harus mengandung kebaikan, yaitu berdampak, berdaya, dan bermanfaat; dan Ketiga, mengandung nilai keindahan melalui gaya penulisan dan penyampaian, judul yang memikat, desain sampul, dan tata letak termasuk penggunaan foto, ilustrasi, gambar, dan sebagainya. Menurutnya, ketiga tujuan inilah yang menjadi tanggung jawab penerbit melalui editornya yang menjalankan proses editorial dalam penerbitan sebuah buku.
Oleh karena itu, berbagai kebijakan yang terkait dengan pembinaan jabatan fungsional bagi ASN yang mewajibkan adanya buku ber-ISBN untuk penilaian kenaikan pangkat, sepatutnya dilihat dari kacamata yang berbeda. Perihal buku dalam konteks ini jangan sampai bertentangan dengan semangat menulis untuk menggairahkan budaya literasi seperti yang diuraikan di awal tulisan ini. Dalam konteks peningkatan kemampuan literasi, penerbit memainkan peran penting dalam mempertahankan dan menyebarkan budaya, sejarah, dan informasi yang berkontribusi pada pengembangan intelektual dan budaya masyarakat. Salah satu peran kunci penerbit buku dalam memberi informasi kepada pembaca adalah memicu rasa ingin tahu dengan muatan konten yang edukatif, inspiratif, dan atau rekreatif. Dengan kata lain, buku berfungsi sebagai sumber inspirasi dan pemberdayaan, memberikan pembaca pandangan dan ide baru yang dapat membentuk pandangan terhadap dunia.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, kita perlu memisahkan antara penerbitan buku sebagai upaya semangat membangun budaya literasi dengan penerbitan buku yang dimaksudkan sebagai bukti hasil kerja. Penerbitan buku sebagai keluaran hasil kerja memberikan implikasi kepada penulisnya berupa kenaikan jenjang, remunerasi, dan reputasi. Jadi, sudah selayaknya ada kriteria-kriteria yang wajib ditetapkan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas profesi dan reputasi yang melekat.
Ketika jenjang karier sebagai pakar maka rekam jejak publikasi sebagai bukti kepakarannya harus bisa ditelusuri untuk dipelajari. Seorang akademisi/peneliti selayaknya memiliki karya yang dapat dibaca, didiskusikan, diperdebatkan, bukan hanya ada di daftar panjang CV, namun karyanya tidak dapat ditemukan. Dengan demikian, publikasi buku bukan hanya menjadi masturbasi publikasi yang hanya ditulis sendiri, terbitkan sendiri, baca sendiri, dan tersimpan di laci.
ADVERTISEMENT