Dispensasi Perkawinan Anak?

Lisa Noviana
Penyuluh Hukum Ahli Muda Kemenkumham
Konten dari Pengguna
24 Juli 2021 5:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lisa Noviana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh https://pixabay.com/id
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh https://pixabay.com/id
ADVERTISEMENT
Tanggal 23 Juli ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN) sejak mantan Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 44 Tahun 1984. Penentuan tanggalnya diselaraskan dengan pengesahan Undang-Undang Kesejahteraan Anak tanggal 23 Juli 1979.
ADVERTISEMENT
Peringatan HAN di tahun ini menjadi pemantik untuk lebih memerhatikan pencegahan terjadinya perkawinan anak, bak semboyan “mencegah lebih baik dari mengobati.” Pemerintah, media, organisasi kemasyarakatan, dan keluarga wajib bersinergi menyosialisasikan larangan dan dampak perkawinan anak untuk mengubah pola pikir maupun budaya perkawinan anak.
Jangan sampai keputusan mengawinkan anak terjadi hanya karena ego orang dewasa saja, hingga menyebabkan anak kehilangan hak-haknya serta terkena dampak negatif atas peristiwa tersebut. Anak akan putus sekolah, mengalami eksploitasi, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan mental ibu dan anak akan terganggu, terjadi pola asuh yang salah terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, menjadi pekerja anak akibat kebutuhan hidup meningkat, dan dampak negatif lainnya.
Konvensi Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, menjelaskan bahwa anak adalah setiap orang yang berusia di bawah delapan belas tahun. Kemudian, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
ADVERTISEMENT
Pemecahan permasalahan perkawinan anak perlu diretas ulang dan harus dimulai dengan menggali akar masalah kenapa perkawinan anak bisa menjadi fenomena di lingkungan keluarga Indonesia tertentu. Wacana penggalian tersebut membutuhkan gagasan, kriteria, standard, ukuran, maupun arahan tentang ‘yang baik atau buruk’, dan seterusnya. Supaya wacana tidak berputar statis dalam bingkai konsep belaka, pihak-pihak terkait harus memiliki komitmen dan kesungguhan mengatasi permasalahan perkawinan anak.
Regulasi Indonesia sebenarnya sudah mengatur usia perkawinan, yaitu sembilan belas tahun. Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur sembilan belas tahun. Mengutip dari bappenas.go.id (5 Februari 2020), Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, praktik perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan sebanyak 3,5 persen. Penurunan tersebut masih tergolong lambat sehingga perlu upaya maksimal agar penurunannya bisa mencapai 8,74 persen pada 2024 dan 6,94 persen pada 2030.
ADVERTISEMENT
Lambatnya persentase penurunan praktik perkawinan anak menjadi tolak ukur bahwa perilaku tersebut masih eksis. Latar belakangnya beragam. Ada yang mengaku karena hamil di luar nikah, permasalahan ekonomi, bahkan dijodohkan. Peran keluarga, masyarakat, dan pemerintah merupakan unsur penting dalam memberikan solusi atas faktor pendorong terjadinya perkawinan anak.
Pengaturan batas usia perkawinan tampaknya diabaikan oleh sebagian masyarakat karena di lapangan masih banyak masyarakat mencari celah dengan meminta dispensasi agar bisa melangsungkan pernikahan di bawah batas usia diizinkannya kawin. Mengutip katadata.co.id (16 September 2020), sejumlah 34.000 permohonan dispensasi yang diajukan pada Januari hingga Juni 2020 ke Pengadilan Agama, 97% dikabulkan.

Tujuan Perkawinan

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah isi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Agama Islam juga mengatur hal-hal seputar perkawinan. Salah satunya ada pada surat An-Nisa Ayat 1, yaitu:
ADVERTISEMENT
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Artinya:
"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
Idealnya, perkawinan dilakukan untuk membentuk rumah tangga bahagia. Bukan semata-mata memenuhi hasrat duniawi. Dari sebuah perkawinan, akan muncul hak dan kewajiban suami, istri, keturunan, dan keluarganya. Itulah mengapa negara dan agama mengatur perihal perkawinan agar ada kepastian hukum yang diperoleh para pihak.
ADVERTISEMENT

Dispensasi

Penetapan usia sembilan belas tahun sebagai usia layak kawin tentulah telah melewati beragam kajian teoritik, praktik empiris, serta kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru. Intinya, di usia tersebut seseorang dinilai matang jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan secara baik dan berkualitas.
Namun, mengapa ketika usia telah ditetapkan masih ada permohonan dispensasi yang dikabulkan?. Penetapan usia perkawinan dan pemberian dispensasi itu dua hal berbeda.
Dikutip dari kbbi.web.id, dispensasi adalah pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus. Apabila terjadi penyimpangan usia yang telah ditentukan, orang tua pihak pria ataupun pihak wanita dapat mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama lainnya, disertai bukti-bukti pendukung.
ADVERTISEMENT
Banyak alasan dari pengajuan dispensasi kawin. Salah satunya karena hamil di luar nikah. Pemberian dispensasi kawin erat kaitannya dengan unsur sosial dan kemanusiaan. Bagaimana nasib bayi di kandungannya bila tumbuh tanpa ayah? Bagaimana status hukumnya? Bagaimana kesiapan mental si anak menerima cemoohan masyarakat yang akan berakibat pada kesehatan jiwa dan nyawa si anak? Dan lainnya. Dilema memang.
Karenanya, dalam proses persidangan dispensasi kawin, Hakim akan menimbang segala hal sebelum memutuskan. Kelengkapan bukti, mendengarkan pendapat kedua calon mempelai, memeriksa pihak yang mengajukan apakah memiliki hak untuk mengajukan permohonan dispensasi atau tidak, kedua calon mempelai ada hubungan darah atau tidak, serta menimbang dari sudut kemaslahatan atau kemudharatan.
Apabila dispensasi kawin dihilangkan dari regulasi, membuka peluang munculnya permasalahan sosial lain. Semisal, nikah sirri. Peristiwa nikah sirri itu sifatnya ilegal. Regulasi Indonesia tidak mengatur tentang nikah sirri sehingga para pihak yang melangsungkannya akan mengalami permasalahan sosial dan permasalahan hukum. Dampak yang ditimbulkan akan lebih besar.
ADVERTISEMENT
(Lisa Noviana, Penyuluh Hukum Ahli Muda BPHN).